Lahat ng Kabanata ng Ibu Susu Polos Pak Boss: Kabanata 141 - Kabanata 150

Beberapa jam lalu, Dari celah pintu, Nayla dapat melihat sosok Leo yang sedang membantu Mak Rinah memindahkan galon-galon air mineral dari teras ke dapur. Wajah pria itu tampak lelah, tapi tak bisa menolak permintaan tolong dari seorang wanita paruh baya. Malah ia masih sempat tertawa menanggapi cerita Mak Rinah yang sangat bersemangat. Biasanya, di rumah itu tak pernah memesan galon air mineral. Mak Rinah sehari-hari tinggal berdua dengan Aji, lebih sering merebus air sumur, lalu mengisinya ke wadah-wadah plastik. Khusus malam itu berbeda, rumah mereka kedatangan tamu... dari kota besar. Mak Rinah sengaja memesan beberapa galon dari depot tetangga mereka. Katanya, biar Leo tidak sakit perut karena belum terbiasa minum air rebusan teko. "Aduh, ibu repot-repot banget," ucap Leo, mengangkat satu galon ke pundaknya dengan mudah. “Di rumah, saya juga sering kok rebus air buat bikin teh.” Mak Rinah menepuk lengan kekar Leo. "Iya... tapi airnya pasti dari galon, kan? Bukan dari sumur. M

Leo menatap Nayla yang menatapnya, gerakan bibir dan tatapan lembut penuh arti wanita itu langsung tertangkap jelas olehnya.“Aku nggak jago main bola,” bisiknya di telinga Nayla.Nayla menatapnya tanpa berkedip. “Ini cuma sepak bola kampung, Leo. Yang penting bolanya ketendang terus masuk gawang. Kesian Aji…” pintanya.Leo menghela napas panjang, bersandar di kursi. “Nay… terakhir aku main bola itu waktu SMA, itu juga—"Leo belum sempat melanjutkan, tiba-tiba Aji berseru keras dari luar, “Om Leo! Om kan pakai kaos bola... Manchester United! Berarti Om bisa main bola! Om harus temenin Aji biar nggak diledekin temen-temen lagi!”Leo terbengong menunjuk dadanya. Nayla menutup mulut menahan tawa.“Aji! Nggak boleh gitu!” sahut Mak Rinah buru-buru. “Pak Leo itu tamu. Jangan kamu suruh-suruh gitu.”“Nggak mau!” Aji menggeleng kuat-kuat, pipinya memerah kesal. “Kalau Om Leo nggak mau ikut main bola, Aji mau mogok sekolah aja! Aji nggak mau diledekin temen-temen lagi, Bu… huuuu…” rengeknya d

Aji berjalan dengan langkah lebar-lebar, berusaha mengimbangi langkah Leo sambil tertawa keras, suaranya menggema di sepanjang jalan kampung.“Tendangan Abang Leo keren banget! Pas gooollll itu—Aji lompat paling tinggi! Semua orang tepuk tangan! Pak RT nyampe nanya, ‘Ji, itu abang kamu pernah ikut klub bola di mana, ya?’ Hahaha!” serunya bangga, menepuk dadanya sendiri. "Siapa dulu, abangnya Aji!"Tak cukup sampai di situ, Aji berlari ke depan, menendang udara dengan gaya yang nyaris membuatnya oleng. “Abang tadi nendangnya kayak gini!” ujarnya sambil mengayunkan kaki tinggi. “Gooollll!!” teriaknya lantang, sampai membuat seekor ayam di pinggir jalan kabur.Leo tersenyum kecil, ikut tertawa melihat kelakuan bocah itu. Yah, setidaknya, ia berhasil membuat Aji ceria lagi. Tapi, di balik senyum itu, pikirannya masih tertahan pada obrolannya bersama Prima di tepi lapangan tadi.“Vila itu belum bersertifikat… pajaknya belum dibayar bertahun-tahun… dan sekarang semua dokumen sudah habis ter

Semua mata di ruangan itu sontak membulat. Putra, Surti, terlebih lagi Nayla—tiga-tiganya terpaku menatap Leo dengan ekspresi nano-nano. Kalimat yang baru saja keluar dari bibir pria itu menggema keras di kepala Nayla, seolah memenuhi seluruh ruangan. Ia tidak menyangka Leo akan seberani itu, sejujur itu, bahkan di depan orang lain. Ucapannya yang tampak ringan justru menambah beban di dada Nayla.Sebelum ada yang sempat melontarkan pertanyaan atau candaan yang bisa membuat suasana semakin canggung, Nayla cepat-cepat mengambil alih situasi.“Oh ya, Ti... tolong keluarin semua kantong belanja di meja, ya,” katanya, suaranya dibuat setenang mungkin.Surti yang masih melongo buru-buru mengangguk, lalu beranjak menurunkan kantong-kantong belanjaan berisi makanan, minuman, dan beberapa bungkusan kecil lainnya.“Waduh, makasih banget, Bu...” seru Putra, matanya langsung berbinar seperti anak kecil yang baru dapat bingkisan lebaran. “Tau aja kalau saya suka keripik-keripik gitu...”“Sama-sam

Pagi datang dengan cahaya hangat menembus tirai.Nayla membuka mata dengan napas panjang, mencoba menata hatinya. Hari ini ia ingin kuat, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia ingin terlihat pantas.Ia memandangi Matteo yang masih tertidur, lalu perlahan turun dari ranjang.Setelah menyiapkan air hangat dan memandikan bayinya, Nayla duduk di depan cermin. Wajahnya tampak pucat dan sedikit bengkak. Ia menepuk-nepuk bedak ke pipinya, menambahkan sedikit blush on agar terlihat segar. Bibirnya ia poles lipstik merah muda, dan sebelum berdiri, ia menyemprotkan parfum di leher, pergelangan tangan, dan ujung rambutnya.Di pantulan cermin, sosok itu terlihat begitu berbeda—anggun, tenang, meskipun matanya masih menyimpan duka.Nayla tersenyum tipis. “Seraphina harus lihat ibunya cantik hari ini,” bisiknya pelan.Ia kemudian membalut Matteo dengan pakaian terbaiknya. Tubuh mungil itu kini wangi dan segar, senada dengan pakaian Nayla. Dengan langkah pelan tapi mantap, Nayla keluar k