Aula utama kampus perlahan sunyi kembali setelah penampilan Luna berakhir. Beberapa detik setelah bait terakhir dilantunkan, ruangan hening—hanya terdengar napas tertahan para penonton yang masih terbawa emosi. Lalu, tiba-tiba saja, tepuk tangan pecah dari sudut aula. Satu, dua, lalu ratusan. Luna masih duduk di depan piano. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena gugup, melainkan karena emosi yang masih menyisakan getaran di dada. Untuk pertama kalinya sejak kepergian ibunya, ia merasa suaranya didengar. Bukan hanya sebagai penyanyi, tapi sebagai seseorang yang jujur akan rasa. Ia berdiri perlahan, menunduk memberi hormat. Cahaya panggung menyilaukan matanya, tapi ia bisa melihat dengan samar wajah-wajah yang memberinya tepuk tangan. Beberapa temannya dari fakultas lain, dosen pembimbingnya, dan—yang paling ia cari—Adrian. Ia melihatnya berdiri di dekat pintu belakang aula, tersenyum lebar, kedua tangan masih bertepuk. Mata mereka bertemu sebentar, cukup untuk membuat dada Luna ber
Last Updated : 2025-05-21 Read more