Pagi itu, aroma kopi hangat dari kedai sebelah apartemen Luna tercium samar hingga ke lorong menuju dapurnya. Udara Kyoto masih sejuk, langit pucat bak kertas sketsa, dan bunga sakura perlahan rontok, menebar kelopak kecil di lantai balkon. Sebuah fragmen keindahan musim semi yang terasa kontras dibandingkan semilir mendalam di hatinya. Luna berdiri di depan cermin, mengenakan jaket panjang dan syal tipis. Ia menatap dirinya sendiri, dengan mata yang terlihat lelah tapi masih menyimpan semangat. Setelah hari-hari kosong tanpa balasan dari Adrian, Luna tahu ia harus mengambil langkah—bukan untuk menuntut, tapi untuk menjelaskan. Ada terlalu banyak hal tak terucap di antara mereka. Ia membawa ponsel, mengetik pesan pendek: “Adrian, bisa video call? Aku butuh bicara...” Jantungnya berdebar. Ia tahu, mungkin jawabannya menyakitkan—atau bahkan tak ada sama sekali. Setelah menekan kirim, Luna menunduk, meraba-raba sejumput keberanian. Tiba-tiba, layar ponselnya berkedip: panggilan masuk
Terakhir Diperbarui : 2025-05-28 Baca selengkapnya