All Chapters of Dinodai adiknya, dinikahi kakaknya: Chapter 131 - Chapter 140

Bagas duduk di dalam mobilnya, bersandar dengan tubuh tegang, menatap lurus ke arah depan sejak beberapa waktu lalu. Pandangannya tidak pernah lepas dari sebuah rumah yang berdiri di ujung jalan, rumah besar dengan pagar kokoh yang menaungi kehidupan keluarga kecil di dalamnya—rumah milik Sadewa dan Alika. Udara di dalam mobil terasa pengap, meskipun jendela sedikit terbuka untuk memberi celah bagi asap rokok yang keluar perlahan. Bagas masih menyalakan sebatang rokok di antara jemarinya, mengisapnya dengan tempo lambat seakan ingin menikmati setiap tarikan nikotin yang menenangkan sarafnya. Namun, perasaan yang ia simpan jauh di dalam dada sama sekali tidak menenangkan; ada rasa gelisah yang kian menebal, seperti kabut yang sulit diusir.Sudah sejak tadi Bagas mengawasi rumah itu. Dari sini, ia bisa melihat aktivitas-aktivitas kecil yang berlangsung: seorang pengasuh sibuk menggendong putri kecil Alika, suara samar aktivitas rumah tangga, dan tanda-tanda kehidupan biasa yang justru t

Di sisi lainJantung Letta berdetak kencang, seolah hendak meloncat keluar dari rongga dadanya, ketika mendengar kabar yang baru saja disampaikan oleh laki-laki yang duduk di hadapannya. Kata-kata itu menancap begitu dalam, menusuk sanubari, dan mengguncang isi pikirannya.“Bagas mencoba bertemu dengan Alika di klinik hewan…” suara itu terdengar jelas, berat, dan lambat.Hanya satu kalimat sederhana, namun kalimat itu cukup untuk membuat darah Letta berdesir deras, seperti arus sungai yang tiba-tiba meluap setelah hujan panjang.Bayangkan bagaimana perasaan seorang ibu mendengar hal semacam itu. Sebagai seorang ibu yang selama ini menaruh harapan besar pada anak lelakinya, Letta seolah menemukan secercah cahaya di tengah kegelapan yang panjang. Kebahagiaan itu meledak dalam dirinya, membuncah tanpa bisa dikendalikan, meluap-luap hingga ke ujung nadinya.Baginya, ini adalah tanda, sebuah pertanda baik yang sudah lama ia tunggu. Inilah langkah yang tepat. Inilah bukti nyata bahwa Bagas

Alika menatap Bagas lama, begitu lama hingga seolah-olah waktu di sekeliling mereka melambat. Pandangan itu tidak sesederhana tatapan kosong yang biasa dilakukan orang-orang ketika kehilangan kata-kata. Pandangan Alika kali ini mengandung beban, mengandung keraguan yang begitu tebal, seakan-akan ia sedang meneliti, memastikan, menguliti setiap detik dari kehadiran Bagas di hadapannya. Ada sesuatu yang ia cari—mungkin kebenaran, mungkin kejujuran—atau mungkin hanya sekadar ingin tahu apakah yang baru saja keluar dari mulut laki-laki itu benar-benar milik Bagas, atau hanya bayangan semu dari seseorang yang dulu pernah ia kenal.Bagi Alika, kata-kata Bagas tadi terdengar asing, tidak berpijak di dunia yang pernah ia tempati bersama laki-laki itu. Kata-kata yang meluncur barusan bagaikan suara dari seseorang yang sama sekali lain, seseorang yang bukan Bagas yang dulu tega meninggalkannya di jurang paling gelap kehidupan. Bagas yang dulu ia kenal adalah Bagas yang dengan enteng melepaskan

Suasana ruang periksa itu kembali dipenuhi ketegangan yang begitu pekat, seolah-olah udara di dalamnya menjadi lebih berat, menekan ke setiap sudut ruangan hingga sulit bernapas. Lampu putih di atas kepala memancarkan cahaya terang yang menusuk, tetapi terasa dingin, kaku, dan sama sekali tidak membawa kehangatan. Suara detak jam dinding terdengar jelas, memecah kesunyian yang kian menyesakkan, seperti menghitung setiap detik yang berjalan begitu lambat.Alika melangkah pelan, seolah setiap gerakannya terukur dengan hati-hati agar tidak runtuh oleh emosi yang masih bergemuruh di dadanya. Ia lalu meletakkan Choco, kucing mungil kesayangannya, di atas meja periksa dengan penuh kelembutan. Kedua tangannya bergerak halus, jemarinya menyentuh bulu cokelat lembut itu, seakan memberi rasa aman pada makhluk kecil yang sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi. Choco menguap kecil, memperlihatkan gigi mungilnya, kemudian meringkuk dengan nyaman sambil mengeluarkan dengkuran lirih. Suara i

Bab: Jerat Obsesif BagasRuang periksa itu diliputi keheningan yang begitu menekan. Hanya ada dengung monoton mesin pendingin di langit-langit yang sesekali terdengar beradu dengan detak jarum jam di dinding. Bau antiseptik yang tajam menusuk hidung, bercampur dengan aroma obat-obatan yang menempel pada udara. Suasana itu kaku, dingin, seolah menyelimuti setiap sudut ruangan dengan ketegangan yang tak terlihat.Alika duduk bersandar lemah di kursi periksa, tubuhnya tampak ringkih meski ia berusaha menegakkan bahu agar tidak terlihat kalah. Wajahnya pucat, rahang tegang menahan rasa pusing yang semakin menusuk kepala. Kelopak matanya terasa berat, pandangannya mulai berkunang-kunang, seperti dunia di sekelilingnya sedang goyah. Nafasnya sedikit lebih cepat, dadanya naik turun dengan ritme yang tidak stabil, namun ia tetap mencoba mengatur diri agar terlihat tenang di depan pria yang kini berdiri di hadapannya.Pria itu, Bagas, berdiri tidak jauh. Sorot matanya tak pernah lepas dari tub