All Chapters of Istri Kecil Tuan CEO: Chapter 111 - Chapter 120

Malam itu hujan turun deras dan percikannya mengetuk jendela kamar seperti derap langkah tak sabar yang mengusik pikiran Nicholas. Ia berbaring di ranjang, memandangi langit-langit yang gelap, tapi matanya tak kunjung mau terpejam. Eliza sudah tertidur di sampingnya, wajahnya terlihat damai, seakan tak ada badai yang sedang mengancam hidup mereka.Namun di dada Nicholas, badai itu sedang berkecamuk.Tangannya terlipat di atas perut, menahan napas yang terasa berat. Setiap kali ia memejamkan mata, bayangan sidang dewan direksi tadi siang kembali menghantui. Wajah-wajah mereka yang serius, suara ketukan palu keputusan, dan kalimat yang menusuk hatinya—dua hari untuk membuktikan bahwa bayi itu anakmu, atau kau akan turun dari jabatanmu.Nicholas mengembuskan napas panjang, berusaha mengatur pikirannya. Kalau aku mau, aku bisa membuktikannya sekarang juga, bisiknya dalam hati. Ia tahu cara tercepat—mengungkapkan kebenaran bahwa pria yang bersama Eliza malam itu adalah dirinya.Tapi lidahn

Eliza duduk di ruang tamu mansion Nicholas dengan wajah pucat, matanya sembab. Tangannya tak berhenti menggenggam ujung sweaternya sendiri, seolah mencari pegangan di tengah badai yang tak henti. Suara televisi dari ruang lain masih menyiarkan berita tentang dirinya. Kata-kata pedas dari para komentator, headline yang berputar—semuanya menusuk.Anne masuk perlahan, membawa segelas air putih. “Liz…” panggilnya lembut.Eliza menggeleng cepat. “Gue nggak bisa, Anne… gue nggak sanggup dengar semua ini lagi. Kenapa mereka kejam banget? Seolah-olah gue perempuan paling hina yang nggak pantas hidup.”Anne duduk di sebelahnya, meletakkan segelas air itu di meja. Ia meraih tangan Eliza. “Hei, lihat gue. Lo bukan perempuan hina. Lo Eliza. Lo sahabat gue. Lo masih orang yang sama.”Eliza menunduk, suaranya bergetar. “Tapi mereka benar, Anne. Gue hamil… gue bahkan nggak bisa bilang siapa yang seharusnya bertanggung jawab. Dan Nicholas—gue menyeret dia masuk ke dalam semua ini. Dia sudah punya be

Nicholas melangkah masuk ke ruangan besar itu dengan napas yang teratur meski dadanya terasa bergejolak. Puluhan pasang mata wartawan, lensa kamera, serta kilatan lampu blitz langsung tertuju kepadanya. Suasana ruangan mendadak hening, hanya bunyi klik kamera yang terdengar.Di depan podium, ia berhenti sejenak, menundukkan kepala sebagai bentuk penghormatan pada semua yang hadir.“Selamat pagi,” sapa Nick, terdengar mantap, namun dalam hati, Nicholas sadar bahwa satu kata saja bisa menentukan masa depan perusahaannya, keluarganya, dan Eliza.Para wartawan mulai bersiap, pena terangkat, mikrofon diarahkan.“Saya Nicholas Dante Benedict, CEO Benz Group. Terima kasih sudah hadir. Hari ini, saya berdiri di sini untuk memberikan penjelasan yang sejujurnya mengenai rumor yang selama beberapa hari terakhir beredar luas. Rumor yang… melibatkan saya dan istri saya, Eliza.”Bisik-bisik langsung merebak di ruangan. Beberapa wartawan bahkan langsung mengangkat tangan, tak sabar menuntut jawaban.

Eliza menunggu di ruang tamu. Hatinya sudah terasa berat sejak pagi, ketika Anita menelpon dan mengatakan Elina ingin bicara langsung.Ketukan pintu terdengar di luar. Eliza bangkit, membukanya dan mendapati sosok Elina berdiri di sana—pucat, mata bengkak, tubuh gemetar. Di belakangnya Anita dan Andreas, keduanya menatap penuh cemas.“Mama… Papa.” Eliza menyapa pelan.Anita mengangguk. “Kami boleh masuk, kan?”Eliza mengangguk. “Masuklah, Ma, Pa.”Mereka duduk, tapi Elina tetap berdiri. Tangan adiknya gemetar, wajahnya menunduk.“Kak …” suara Elina serak. “Aku datang ke sini buat minta maaf.”Eliza menatapnya lama. Ada ribuan kata yang ingin ia lontarkan, tapi lidahnya kelu. Keheningan itu justru membuat Elina semakin gelisah.“Kamu tahu seberapa besar akibat perbuatanmu?” Eliza menatapnya lekat.Elina mengangguk cepat. “Aku tahu. Aku salah. Rekaman itu… seharusnya nggak pernah keluar. Aku emosi, aku ngomong tanpa pikir panjang. Dan Lily—dia manfaatin aku.”“Kenapa kamu bisa dekat sam

Pintu IGD berderit pelan, dan seorang dokter berseragam putih keluar dengan wajah serius. Semua orang yang menunggu di lorong serentak berdiri. Anita buru-buru mendekat, matanya masih basah oleh tangis.“Bagaimana keadaan anak saya, Dok?” tanyanya dengan suara gemetar.Dokter melepas masker sebentar, lalu bicara dengan nada tenang tapi tegas. “Untuk saat ini, kondisi putri Anda stabil. Tapi… pasien mengalami syok berat. Tekanan emosionalnya sangat tinggi hingga menyebabkan dia kehilangan kesadaran. Kami sudah memberi infus dan obat penenang ringan. Setelah kondisinya benar-benar membaik, kami akan pindahkan dia ke ruang rawat.”Anita menutup mulut, air matanya kembali tumpah. Andreas meraih bahu istrinya, berusaha menguatkan.“Syok berat?” Elina bersuara, matanya melebar. “Berarti… kondisi Kak Eliza masih labil sekali, ya?”Dokter mengangguk. “Ya. Dan satu hal lagi—sementara ini, sebaiknya tidak semua orang boleh menemuinya. Tadi saat kami coba tanyakan, pasien menolak untuk bertemu d