All Chapters of Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu: Chapter 51 - Chapter 60

“Ibu, mau aku temankan?” tanya Erwin yang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan langsung bergabung dengan Ratna.“Lah, Nak Erwin disini?” tanya Ratna.“Kebetulan tadi lagi benerin sound untuk acara anak palygroup dan melihat ibu tidak ada pasangan laki-lakinya,” jawab Erwin.“Memangnya Nak Erwin nggak mengajar?” tanya Ratna.“Ibu nggak usah pikirkan itu. Aku free kok,” jawab Erwin.Hati Ratna pun lega karena akhirnya ia punya pasangan untuk mengikuti lomba keluarga. Athala yang sedari tadi cemberutpun sudah mulai tersenyum.“Kak Erwin temankan aku, pengganti ayah?” tanya Athala.“Iya, Kak Erwin akan temankan kamu lomba. Kita akan menang. Mau?” “Mau, Kak,” jawab Athala.Acara berlangsung dengan meriah. Semua lomba yang diadakan, hampir semuanya harus diikuti ayah dan ibu. Athala pun mengikutinya dengan bahagia dan begitu menikmati setiap acara lomba yang di

"Kamu ngapain ke sini?" suara Anisa tertahan, berusaha tidak terdengar panik. "Kamu kan sudah janji nggak akan datang lagi. Kalau suamiku tahu, gimana?"Farhan mengangkat bahu, memasukkan satu butir kacang ke mulutnya sebelum menjawab santai, "Kenapa? Aku ke sini bukan karena kamu. Linda yang panggil aku, jadi nggak ada masalah, kan?"Mata Farhan beralih menatap Anisa lekat, seolah menantangnya. "Kamu pura-pura aja nggak kenal aku," lanjutnya."Kamu bisa kenal Linda dari mana?""Nggak sengaja aja. Ternyata dia temannya sepupu aku.""Awas ya, Farhan. Kalau kamu ngomong yang aneh-aneh ke Linda tentang kita, aku nggak akan pernah mau ketemu kamu lagi," ancam Anisa dengan suara pelan tapi tajam."Jangan gitu dong, Cantik. Aku kan nggak bisa kalau nggak ketemu kamu dan calon anak kita," ucapnya dengan suara menggoda. "Oh ya, uang yang aku transfer udah habis belum? Kalau sudah, bilang aja. Biar aku kirim lagi."Anisa tak menjawab. Ia memilih berdiri, menghindari tatapan Farhan, dan masuk k

[Rio, ada waktu nggak? Aku mau minta tolong jemputkan Athala nanti sore.]Ia mengirim pesan itu sambil bersandar di kursinya. Saat ini, ia masih di kantor dan akan segera mengikuti meeting penting. Kemungkinan besar, rapat itu akan selesai menjelang Maghrib.[Kalau untuk jemput adik ipar, pastinya bisa dong. Kamu selesaikan saja urusanmu. Athala biar jadi tanggung jawabku.]Andini menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. Rio memang selalu begitu, suka menggoda dengan sebutan ‘istri’ dan ‘adik ipar’ untuk Athala. [Siap, suami.] Balas Andini, ikut menimpali gurauan Rio.[Mamah mertua mau dijemput sekalian nggak?] tanya Rio lagi.[Nggak usah. Dia nanti pulang pakai ojek online katanya.][Oke.] Balasan Rio kali ini singkat, menandakan percakapan selesai.Dua jam berlalu, meeting pun berakhir bertepatan dengan waktu Ashar. Setelah menunaikan salat di musala kantor, Andini keluar sebentar untuk membeli kopi di warung seberang jalan.Begitu sampai di sana, matanya menangkap sosok Robi,

Setelah Andini pulang, Bu Rodhiah meminta semua anak-anaknya berkumpul di ruang tamu. Suasana terasa tegang. Tidak ada yang berani bersuara, hanya suara napas dan detak jam dinding yang terdengar jelas. Wajah Bu Rodhiah tampak tegang, matanya menyapu satu per satu orang di hadapannya dengan sorot penuh kekecewaan."Semuanya duduk!" perintahnya tegas. Napasnya terdengar memburu. Wanita itu sudah menahan amarahnya sejak tadi.Tanpa membantah, semua orang menuruti perintah itu. Anak-anaknya, menantu-menantunya, merasakan ketegangan yang memenuhi ruangan.Bu Rodhiah menghela napas panjang sebelum akhirnya menatap Linda tajam. Suaranya parau ketika berbicara, mencerminkan luka yang teramat dalam."Linda, Ibu nggak pernah menyangka kamu akan seberani ini mencuri sertifikat rumah. Memangnya Ibu pernah ajarin kamu mencuri?" tanya Bu Rodhiah dengan tatapan yang sulit diartikan.Linda menunduk dalam, air matanya terus menet

Linda diliputi amarah. Andini telah menghancurkan segalanya, membongkar rahasia yang selama ini ia jaga dengan susah payah. Namun, bukan hanya Andini yang menjadi sasaran dendamnya. Anisa, kakak iparnya, juga telah mengkhianatinya dengan membuka mulut.Sejak kejadian itu, Linda lebih sering mengurung diri di kamar. Ia tak lagi duduk di depan televisi seperti biasa, menghindari tatapan dan bisikan sinis dari anggota keluarga lainnya. Rasa malu dan takut disindir membuatnya enggan berlama-lama di ruang keluarga.Pagi itu, saat hendak berangkat kerja, Linda berpapasan dengan Anisa di depan pintu. Keduanya jarang bertemu belakangan ini, karena Anisa yang juga lebih sering di kamar dan Linda juga sama, akhir-akhir ini lebih suka menyendiri di kamar."Mau berangkat, Lin?" tanya Anisa dengan ragu, mencoba berbasa-basi.Linda menatapnya tajam, ekspresinya penuh kemarahan. "Jangan sok akrab, Mbak! Kamu sudah ingkar janji." Suaranya ding