All Chapters of Ku Bayar Derita Ibuku sebagai Menantu: Chapter 71 - Chapter 80

Andini duduk di kursi depan televisi sambil menggulir layar ponselnya. Hatinya masih gelisah memikirkan kejadian hari ini.Semalam ia sudah mengingatkan ibunya, jika Hera datang menemui ibunya untuk meminjam uang, jangan dipinjamkan. Andini takut keluarga ayahnya akan memanfaatkan ibunya, setelah tahu kalau ibunya adalah pemilih warung makan.Taoi Andini tahu kelemahan ibunya, yang selalu tidak tega dan merasa kasihan. Sebab itulah Andini begitu penasaran apakah tantenya, Hera, datang menemui ibunya atau tidak. Andini menatap ibunya yang sedang sibuk menulis di sebuah buku."Bagaimana, Bu? Tante Hera hari ini datang menemui Ibu nggak?" tanyanya, mencoba menekan nada khawatir dalam suaranya.Ratna berhenti menulis sejenak, lalu mendesah pelan. "Ya. Padahal Ibu sengaja nggak datang ke warung cabang. Tapi ternyata dia datang ke warung pertama."Andini mengerutkan kening. "Kok bisa Tante Hera tahu kalau Ibu punya dua warung?"Ratna meletakkan pulpennya, lalu memijat pelipisnya. "Paling Fi

Anisa berdiri di tengah ruang keluarga dengan tatapan tajam. Wajahnya merah menahan emosi. "Kenapa kalian diam?" suaranya bergetar, penuh tuntutan. "Mana kartu ATM kalian? Atau yang pakai M-Banking, aku lihat langsung dari HP kalian."Tidak ada yang bergerak. Hanya keheningan yang memenuhi ruangan.Alvin menelan ludah. Jika Anisa melihat isi rekeningnya, habislah dia. Saldo rekeningnya hanya beberapa ratus ribu rupiah—tidak pantas untuk seseorang yang mengaku bos. Jika ketahuan, pasti Anisa mulai bertanya-tanya, dan itu bisa menghancurkan citranya. Bukan hanya malu, bisa-bisa Alvin akan menjadi bulan-bulanan orang rumah."Maaf, Mbak Anisa," akhirnya Alvin angkat bicara, suaranya terdengar berat. "Aku kurang setuju. Keuangan itu privasi. Kita punya hak untuk menolaknya."Hera segera menimpali, wajahnya tetap tenang, tetapi matanya berkilat waspada. "Aku juga tidak setuju." Tangannya mengepal erat di pangkuannya. Bagaimana jika Anisa melihat mutasi rekeningnya? Dia baru saja menyetor ua

Andini sedang duduk di kantin bersama teman-temannya ketika ponselnya tiba-tiba berdering. Ia segera merogoh saku dan melihat layar. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal.“Halo,” sapa Andini hati-hati.“Halo, Mbak. Saya dari konter Janu. Ini ada mbak-mbak yang mau jual ponsel seperti yang Mbak posting. Nomor IMEI-nya pun sama persis dengan yang Mbak tulis,” ujar suara seorang pria di ujung telepon.Jantung Andini berdegup lebih cepat. Tangannya refleks menggenggam ponsel lebih erat. “Dia seorang wanita? Sedang hamil, Mas?” tanyanya, firasatnya semakin menguat.“Iya, Mbak. Betul,” jawab pria itu.Andini menarik napas dalam, menenangkan diri. “Tolong tahan dia sebentar, Mas. Saya akan mengirim teman saya ke sana.”“Baik, Mbak. Tapi jangan lama-lama, ya. Saya bingung juga kalau harus menahannya terus.”“Iya, Mas. Tolong kirimkan alamat lengkapnya.”Begitu pesan berisi alamat masuk, Andini segera meneruskannya ke Rio. Ia sudah bercerita pada Rio tentang ponsel Athala yang hilang, dan s

“Aduh, capek banget,” ucap Andi sambil melepaskan kemeja kerjanya.Anisa sedang duduk sambil bersandar di sandaran belakang ranjang, menatap suaminya lekat.Andi yang baru saja duduk di samping Anisa,angsung mendapat pertanyaan tajam dari istrinya, Anisa, yang tampak gelisah sambil menatap matanya."Mas, gimana kabar emas yang kamu gadaikan untuk bayar rumah sakit ibu? Kan udah dua hari ibu pulang, kenapa belum ditebus?" tanya Anisa dengan nada getir, jelas menyimpan kekecewaan.Andi menghela napas panjang sambil mencoba menenangkan situasi, "Sabar dong, Sayang. Kamu lagi hamil, harus lebih tenang. Aku janji, emas itu bakal aku tebus."Matanya Anisa menyala, bukan hanya karena kelelahan, tapi juga karena kerinduan akan kejelasan dan tanggung jawab yang belum terpenuhi. "Aku nggak mau marah, Mas, tapi kamu harus ngerti. Aku cuma ingin tahu, apa kamu sudah berbicara sama ibu soal uang itu? Kamu nggak bilang ke ibu, kalau uang untuk bayar rumah sakit itu pakai perhiasanku?"Andi mengalih

Robi menghela napas panjang di atas motornya. Matahari siang ini terasa menyengat, menambah panas kepalanya yang sudah dipenuhi beban. Tangannya meremas setang motor, pikirannya melayang pada angka-angka yang terus menghantuinya, judi online sudah menjadi hobi nya. Bukan hanya itu, ada juga yang membuatnya lebih pusing, cicilan motor yang menunggak dua bulan, tagihan pinjaman online yang tak henti-henti menagih, dan saldo rekeningnya yang nyaris kosong.“Demi apa pun, aku harus dapat penjualan hari ini. Kalau tidak, aku akan kena marah kaya kemarin.”Sejak pagi, dia sudah berkeliling, menawarkan barang ke beberapa toko dan pelanggan lama. Tapi hasilnya nihil. Wajah-wajah yang ia temui penuh penolakan, ada yang beralasan stok masih cukup, ada yang langsung menolak tanpa mendengarkan penawaran Robi terlebih dahulu.Lamunannya buyar ketika suara klakson keras membahana di belakangnya. Robi tersentak, menoleh, dan seketika dadanya mencelos. Dua pria berjaket hitam dengan logo leasing mend