“Ibu, mau aku temankan?” tanya Erwin yang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan langsung bergabung dengan Ratna.
“Lah, Nak Erwin disini?” tanya Ratna.“Kebetulan tadi lagi benerin sound untuk acara anak palygroup dan melihat ibu tidak ada pasangan laki-lakinya,” jawab Erwin.“Memangnya Nak Erwin nggak mengajar?” tanya Ratna.“Ibu nggak usah pikirkan itu. Aku free kok,” jawab Erwin.Hati Ratna pun lega karena akhirnya ia punya pasangan untuk mengikuti lomba keluarga. Athala yang sedari tadi cemberutpun sudah mulai tersenyum.“Kak Erwin temankan aku, pengganti ayah?” tanya Athala.“Iya, Kak Erwin akan temankan kamu lomba. Kita akan menang. Mau?”“Mau, Kak,” jawab Athala.Acara berlangsung dengan meriah. Semua lomba yang diadakan, hampir semuanya harus diikuti ayah dan ibu. Athala pun mengikutinya dengan bahagia dan begitu menikmati setiap acara lomba yang di"Mas, sepertinya kita harus ngobrol,” ucap Linda memulai pembicaraan. Robi melirik sekilas tanpa menurunkan ponselnya. "Ngobrol apa lagi, Lin? Kamu mau bahas masalah aku yang ambil uangmu? Aku kan sekarang udah nggak pernah ambil lagi." "Bukan itu, Mas." "Terus apa lagi? Aku capek." "Aku tahu kamu capek, tapi ini penting. Ini soal cicilan rumah, Mas. Kalau cuma mengandalkan gajimu, kita nggak akan cukup." Robi tertawa kecil, nada suaranya terdengar meremehkan. "Gajiku memang nggak cukup. Tapi gajimu kan cukup. Uangmu kan banyak,” ujar Robi. “Tapi aku penasaran, memangnya gaji kerja di warung itu berapa Lin?” “Nggak usah bahas itu. Kita lagi bahas masalah cicilan, Mas.” “Apa yang perlu di bahas? Kamu aja mampu membayarnya sendiri. Bahkan kamu masih bisa menabung.” "Aku sekarang udah nggak kerja, Mas." Robi akhirnya menurunkan ponselnya dan menatap Linda dengan alis terangkat. "Kenapa?" "Karena aku sakit-sakitan, Mas. Sudah seminggu aku nggak masuk kerja, jadi
"Pak, tolong antarkan ibu saya ke puskesmas ya. Kepala adik saya terluka dan perlu dijahit segera," pintanya dengan nada mendesak. Tukang ojek itu mengangguk sigap. "Iya, Mbak. Saya antarkan sekarang. Tapi Mbak yang tadi gojek sama saya belum bayar.” “Nanti saya bayar sekalian Pak. Yang penting sekarang antarkan adik saya ke puskesmas dulu,” ujar Andini sambil mengambil uang 100 ribuan dan memberikan pada tukang ojek tersebut. “Ini ya Pak,” ucap Andini. “Terimakasih banyak ya Mbak,” ucapnya. “Ibu bawa uang kan?” tanya Andini pada ibunya. “Untuk bayar ke puskesmas.” “Ibu bawa uang kok Kak,” jawab Ratna. Ratna, yang berdiri di samping Andini, menatapnya panik. "Linda gimana, Kak? Dia masih pingsan!" Andini menghela napas, mencoba menenangkan dirinya meski hatinya juga gelisah. "Ibu, jangan pikirkan Tante Linda dulu. Aku yang akan mengurus dia. Sekarang bawa Athala ke puskesmas supaya lukanya segera ditangani," tegasnya, memastikan ibunya memahami prioritas. Ratna mengangguk rag
"Bu, mulai minggu depan aku pulangnya sore. Ada les tambahan di sekolah," cerita Andini sambil menggigit bolunya.“Sudah mulai les ya.”“Iya Bu. Untuk menghadapi try out pertama.”Ratna menghentikan gerakan tangannya yang sedang mengelap meja. "Terus, yang jemput Athala siapa?" tanyanya dengan nada khawatir.Andini menghela napas pelan. "Itu dia, Bu. Kalau aku jemput, pasti telat terus. Kasihan Athala kalau harus nunggu lama."Athala, yang mendengar percakapan itu, langsung menyahut tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas gambarnya. "Jangan telat terus, Kak. Aku jadi nggak ada temannya kalau nunggu lama."Andini tersenyum kecil. "Terus gimana dong? Mau minta tolong siapa?""Minta tolong Kak Rio aja, Kak," usul Athala polos.Andini terdiam sejenak, mempertimbangkan. "Oh ya, Rio. Dia mau nggak ya?""Dicoba aja, Kak," sambung Ratna. "Besok kamu tanya dia. Kalau dia bisa, kan masalah selesai."Sejenak, suasana dapur sunyi. Hanya terdengar bunyi langkah kecil Athala yang kembali ke kurs
"Maaf, Lin. Aku," ucapan Robi terhenti ketika Linda memotongnya tajam."Kamu apa? Kamu pakai uang itu buat judi, kan?" "Nggak, Lin. Sumpah, aku nggak," Robi berusaha membantah.Linda tertawa sinis. "Nggak, ya? Aku sengaja nggak ganti password biar tahu siapa yang sering buka ponselku. Dan ternyata, orang itu suamiku sendiri. Kamu pikir aku nggak tahu?""Terus siapa Hendri?" tanya Linda tiba-tiba, nadanya penuh selidik."Hendri itu cuma teman, Lin," jawab Robi."Teman? Jadi kamu transfer uangku ke temanmu? Kamu gila!" Linda mendengus marah. "Aku banting tulang kerja setiap hari, uangnya malah kamu kasih ke orang lain!""Bukan gitu, Lin. Hendri cuma perantara. Uangnya aku yang pakai, kok.""Kamu pakai uang itu buat apa? Jawab, Mas! Buat judi, kan?" Linda semakin emosi."Bukan, Lin. Aku nggak judi," Robi mengelak lagi.Linda sudah di ujung kesabaran. Dia meraih bingkai foto di meja dan melemparkannya ke lantai.Prang! Kaca pecah berhamburan."Linda, jangan ribut! Kalau orang rumah denga
"Eh, enak aja sesuka hati kalian mau buka tas saya!" sergah Linda dengan nada tajam, tangannya refleks melindungi tas yang sedang dibahas.Andini menatap Linda tanpa gentar. "Bu, makanan yang ibu pesan dan teman ibu pesan itu dimasak bersamaan. Bumbunya sama, bahan-bahannya sama. Mustahil punya teman ibu rasanya enak, sementara punya ibu asin," ujar Andini dengan tegas, meski tetap menjaga sopan santun. "Kalau ibu datang ke sini hanya untuk membuat onar, maaf, saya nggak bisa diam. Semua pelanggan di sini sudah mendengar keributan ini. Saya harus menyelesaikannya."Sambil mengarahkan pandangannya ke Rena, Andini menegaskan, "Buka tasnya, Mbak Rena."Rena menoleh ke Linda, mencoba tetap sopan. "Maaf ya, Bu, boleh saya pinjam tasnya sebentar?""Nggak mau!" jawab Linda dengan nada tinggi, matanya menyipit penuh perlawanan."Kasih saja lah. Semua orang di sini udah ngelihatin kita," bisik Tanti yang duduk di depan Linda."Tapi, Tan—" Linda terdiam, kalimatnya terputus."Kalau memang ibu n
Linda diliputi amarah. Andini telah menghancurkan segalanya, membongkar rahasia yang selama ini ia jaga dengan susah payah. Namun, bukan hanya Andini yang menjadi sasaran dendamnya. Anisa, kakak iparnya, juga telah mengkhianatinya dengan membuka mulut.Sejak kejadian itu, Linda lebih sering mengurung diri di kamar. Ia tak lagi duduk di depan televisi seperti biasa, menghindari tatapan dan bisikan sinis dari anggota keluarga lainnya. Rasa malu dan takut disindir membuatnya enggan berlama-lama di ruang keluarga.Pagi itu, saat hendak berangkat kerja, Linda berpapasan dengan Anisa di depan pintu. Keduanya jarang bertemu belakangan ini, karena Anisa yang juga lebih sering di kamar dan Linda juga sama, akhir-akhir ini lebih suka menyendiri di kamar."Mau berangkat, Lin?" tanya Anisa dengan ragu, mencoba berbasa-basi.Linda menatapnya tajam, ekspresinya penuh kemarahan. "Jangan sok akrab, Mbak! Kamu sudah ingkar janji." Suaranya ding