All Chapters of Magang Di Pelukan CEO: Chapter 111 - Chapter 120

Bandara Soekarno-Hatta terasa lebih panas dari Seoul dan lebih padat tentu saja. Tapi Shaquelle justru menyukai hiruk pikuk ini—entah kenapa, suasana Jakarta yang sumpek itu seperti pelukannya Aurelie dalam bentuk kota.Ia menolak dijemput sopir, memilih naik taksi biasa dan langsung meluncur ke tempat tujuannya pertama yaitu sebuah toko perhiasan kecil di daerah Kemang, milik sahabat lama mama Kejora.Pemiliknya, seorang wanita paruh baya bermata tajam bernama Tante Wilona, menyambutnya dengan senyum penuh rahasia. “Akhirnya! Anak CEO sejuta ide ini datang juga nyari cincin!”Shaquelle terkekeh. “Tolong jangan ekspos aku kayak gitu, Tante. Aku malu.”Wilona menunjuk ke etalase. “Yang ini baru masuk. Simpel, timeless, tapi kalau dipakai cewek cerdas dan keras kepala, efeknya maksimal.”Shaquelle mengamati cincin dengan berlian mungil berbentuk oval. Tidak mencolok, tapi berkelas. Seperti Aurelie.“Yang ini,” ucapnya mantap. “Aku pesan sepasang dengan inisial nama kami.” Shaquell

Aurelie meletakan teh hangat di meja di depan mami Nadira yang sedang membaca artikel tentang kesehatan di iPad.Mami Nadira mendongak begitu Aurelie duduk di sampingnya.Aurelie tersenyum menatap lekat sang mami.“Apa? Pasti kamu ingin minta sesuatu yang di luar nalar,” tebak mami Nadira asal membuat Aurelie tergelak.“Enggak kok … aku cuma ….” Aurelie menghentikan kalimatnya.“Cuma apa?” kejar mami Nadira meletakan iPad di atas meja kemudian menyeruput teh hangat buatan Aurelie.“Kalau aku nikah sama Shaqulle nanti, Mami sapa siapa?” tanya Aurelie tapi matanya berkaca-kaca mengingat semenjak kepergian sang papi—hanya ada mereka berdua, saling menguatkan, saling mendukung.“Ada si Bibi … lagian kita masih tinggal satu kota, kan?” Aurelie terdiam sebentar. “Gimana kalau Shaq ajak aku ke Jerman? Menggantikan posisi papanya dan papanya pindah ke Jakarta untuk menghabiskan masa tua?” Mami Nadira tampak berpikir. “Itu hanya pikiran kamu aja atau Shaquelle yang kasih tahu kamu t

30 menit kemudian…Konvoi keluarga besar Gunadhya sampai di rumah mami Nadira.Para vendor wedding organizer langsung siaga. Beberapa buru-buru membetulkan barisan karpet merah di depan pintu, sementara fotografer sibuk mengatur ulang cahaya agar saat rombongan keluar mobil, hasil foto terlihat seperti red carpet gala premiere.Aurelie, yang sudah berdiri di dekat pintu bersama Mami Nadira dan beberapa kerabat dekat, menggenggam tangan maminya kencang.“Rel… kamu tenang. Ini cuma 22 orang rombongan, bukan parade kampanye,” bisik mami Nadira.Pintu terbuka. Satu per satu anggota keluarga Shaquelle turun dari mobil. Wajah-wajah konglomerat itu tampak mencolok bukan karena mereka berusaha tampil mewah—tapi karena aura mereka memang extra by default.Sementara itu kakek Narendra yang baru saja turun menggunakan tongkatnya memindai sekitar. Beliau tidak bicara banyak, tapi kalimat pertamanya saat keluar dari mulutnya adalah:“Kenapa Shaquelle enggak langsung nikah? Ini boros logisti

Pekan setelah pesta pertunangan yang megah itu, suasana di kantor Neuverse Technologies lantai 17 dan 21 terasa berbeda. Bukan karena perubahan dekorasi atau penambahan mesin kopi baru di pantry. Tapi karena CEO mereka tak lagi menyembunyikan perasaannya.Dan ya—everyone saw it coming.Pagi itu, Aurelie datang ke kantor dengan blus putih dan celana tailored pastel mint. Rambutnya dikuncir rendah, make-up minimalis, tapi tetap terlihat seperti CEO mini startup yang bisa pitching sambil multitasking ngecek inventory.Begitu lift terbuka, ruangan seakan diam selama dua detik. Tentunya bukan karena penampilan Aurelie, tapi karena di belakangnya Shaquelle ikut turun dari lift.Dan tidak hanya itu. Tangannya—menenteng tote bag berisi makanan.“Jangan dibuka sekarang ya, nanti baunya ganggu Rika,” bisik Shaquelle sambil menyodorkan tas makan ke tangan Aurelie.“Emangnya baunya kenapa?” Aurelie mengerutkan alis, menerima tas itu.“Lauk buatan mami kamu. Ikan teri balado dan sambel ijo.

Sore itu, rumah mode Maison d’Arielle yang biasanya sepi dan penuh ketenangan mewah, berubah menjadi arena gladiator antara selera personal dan ekspektasi keluarga elite.Shaquelle duduk bersilang kaki di sofa kulit putih sambil menyeruput espresso—dengan ekspresi seperti sedang menyaksikan pertandingan final Wimbledon. Sementara Aurelie berdiri di tengah ruangan, dikelilingi desainer, penjahit senior, dan tiga manekin berbalut kain bridal dari berbagai dunia.“Rel, baju ini … terlalu banyak bordir. Kamu akan susah jalan pas masuk pelaminan,” bisik Shaquelle dari kejauhan.“Shaq, diam. Kamu tahu apa soal gaun pengantin?” balas Aurelie yang sedang mengenakan gaun fiting pertama dengan veil panjang dan ekor sepanjang dosa masa lalu Shaquelle.Tiba-tiba, suara video call terdengar dari tablet yang ditaruh di atas meja desain. Wajah Mama Kejora muncul dengan latar belakang dapur mewah di Frankfurt—dan sepertinya dia sedang membuat sourdough sambil menilai sketsa gaun.“Menurut Mama,