Suara monitor jantung bayi berirama cepat, seperti ketukan drum yang memacu adrenalin.Shaquelle berdiri di sisi ranjang, memegang tangan Aurelie, sementara tim medis bersiap di ujung kaki.“Bu, tarik napas dalam terus buang … ya… bagus,” kata dokter sambil tersenyum memberi semangat.Tapi Aurelie malah melotot ke arah Shaquelle.“Kalau nanti ini sakitnya enggak worth sama semua ngidam aku, Shaq… aku sumpahin kamu harus ngidam juga!”Shaquelle hampir tertawa, tapi wajahnya tegang. “Rel, fokus napas, sayang. Ngidam nanti kita debat lagi.”Dorongan pertama.Aurelie meringis, wajahnya memerah. Shaquelle mengusap keningnya menggunakan handuk dingin.“Bagus, Bu, mereka udah mau keluar,” ujar sang dokter kembali.Aurelie mendesah lelah. “Kalau yang keluar duluan cowok, kamu harus janji dia nggak boleh pacaran sampai umur tiga puluh.”“Rel, ini bukan waktu yang tepat buat kontrak pranikah versi bayi!” sahut Shaquelle dengan suara tercekat p
Hari itu, langit Jakarta mendung, tapi suasana di lantai 21 kantor SamaSama.id malah super cerah.Tim R&D baru saja menyelesaikan milestone penting, dan tim strategi sedang merayakan dengan makan kue talas Bogor di pantry. Aurelie, yang sudah masuk minggu ke-38 kehamilan kembarnya, duduk di kursi khususnya—kursi ergonomis dengan bantal tambahan di punggung, hadiah dari Shaquelle.Jam menunjukkan pukul 10.42 ketika perut Aurelie mengeras tiba-tiba. Ia berhenti menulis di tablet. “Hmm… aneh…,” gumamnya.Raina menoleh. “Kenapa, Rel?”“Ada yang… nyubit dari dalam. Kenceng banget. Eh—aduh!”Raina langsung panik, setengah berteriak ke arah open space. “Dipo! Bu Mira! Ada yang enggak beres!”Dipo berlari dari meja dengan wajah pucat seperti baru lihat laporan keuangan minus. “Kontraksi?”“Aku enggak tahu, ini baru pertama kali hamil kembar!” jawab Aurelie sambil mencoba berdiri, tapi malah meringis.Mira, Reza, dan Rika dari tim R&D yang sedang disku
Privat jet sudah menunggu di landasan. Begitu mobil hitam mereka berhenti, pramugari berseragam krem langsung menyambut dengan senyum hangat.Shaquelle turun lebih dulu, meraih tangan Aurelie untuk membantunya melangkah keluar. Udara dingin menggigit kulit, membuat pipi Aurelie merona. Ia menoleh sekali ke arah Pegunungan Alpen yang samar-samar terlihat di kejauhan—seakan ingin menyimpan pemandangan itu di sudut ingatan.Begitu mereka masuk kabin jet, kehangatan langsung menyelimuti. Interiornya elegan: kursi kulit krem, meja marmer kecil, lampu ambient kekuningan. Pramugari menawarkan teh herbal untuk Aurelie dan espresso untuk Shaquelle, lalu bergegas mempersiapkan kabin untuk penerbangan.Begitu pesawat mengudara, lampu kota Zurich perlahan mengecil, tergantikan lautan awan putih di bawah mereka. Aurelie bersandar di kursi lebar, selimut kasmir membalut tubuhnya. Shaquelle duduk di sebelah, jemarinya tak berhenti mengelus punggung tangan istrinya.“Kamu capek?” tanyanya.“Sedi
Salju turun deras di luar chalet privat mereka di Zermatt, membuat dunia seperti tertutup selimut putih yang sunyi.Di dalam, hanya ada bunyi kayu terbakar di fireplace, memantulkan cahaya oranye yang menari di dinding kayu dan kulit mereka.Aurelie duduk di dekat jendela besar, sweater tebal menutupi tubuhnya, pipinya merona oleh dingin.Shaquelle mendekat dari belakang, dengan aroma wangi sabun mandi, gerakannya tenang tapi penuh intensi. Tangannya melingkari pinggang Aurelie, menarik pelan hingga punggung mungil itu menempel pada dada bidangnya.Aroma vanilla body lotion yang hangat berpadu dengan wangi salju yang masih menempel di rambut Aurelie membuat Shaquelle menunduk, bibirnya menyapu pelan dari pelipis ke rahang. Setiap sentuhan seperti percikan api kecil yang melelehkan sisa udara dingin di ruangan.Ia memutar tubuh Aurelie, menatapnya dengan mata yang berat oleh keinginan. “Kamu tahu … salju di luar kalah indah sama kamu,” bisiknya, lalu tanpa menunggu jawaban, bibirn
Pukul 02.47 dini hari.Shaquelle sedang tidur nyenyak, wajahnya menenggelam di bantal, selimut menutupi separuh tubuh. Tiba-tiba… Bugh ! Sebuah guling mendarat di punggungnya.“Shaq .…” Suara Aurelie terdengar pelan tapi tegas.Shaquelle membuka satu mata. “Hmm?”“Aku ingin … sup iga salju.”Kening Shaquelle berkerut. “Maksudnya sup iga… yang dimakan pas lagi salju turun?”Aurelie mengangguk penuh keyakinan. “Iya. Kayak di film yang kemarin kita tonton, yang mereka lagi honeymoon ke Swiss, terus makan sup iga di restoran kecil di pinggir jalan, terus di luar salju turun pelan-pelan….”Shaquelle menelan ludah. “Rel, sekarang di Jakarta … salju cuma ada di kulkas.”Aurelie menggenggam tangannya. “Aku tahu… makanya ayo kita ke tempat yang ada saljunya.”Biasanya, suami akan menjawab, “Besok aja ya,” atau “Kita cari versi KW-nya di restoran.”Tapi Shaquelle bukan suami biasa. Dia adalah Shaquelle Folke—CEO muda, pewaris konglomerat, dan
Tiga bulan setelah pengumuman bahagia itu, SamaSama.id mengalami musim “waspada tsunami” setiap kali lift terbuka dan Aurelie keluar dengan perut buncitnya.Dress maternity pastel, sneakers putih, tote bag kain, dan tatapan yang sulit ditebak—itu tanda bahwa hari ini bisa berjalan damai … atau berubah jadi misi pencarian makanan langka di jam kerja.Pagi itu, Celica baru menaruh kopi latte di mejanya ketika Aurelie muncul di depan pintu ruang CEO sambil membawa sticky note.“Mbak Celica, tolong catet… aku pengen siang ini makan nasi liwet tapi ayamnya harus dibakar sama arang kelapa, bukan arang biasa. Sambalnya harus sambal ijo yang cabe-nya direbus dulu baru diulek. Oh, dan daun kemangi harus fresh, bukan yang udah layu di kulkas.”Celica berkedip pelan. “Itu… kayaknya harus pesen dari kampung, Bu.”Aurelie menghela napas dramatis. “Ya udah… jemput dari kampung kalau perlu. Enggak ada yang enggak bisa kalau dikerjakan dengan niat.”Celica merotasi bol