All Chapters of PEMBALASAN DENDAM SANG DEWA DARI JURANG NAGA HITAM : Chapter 21 - Chapter 30

Teknik Bayangan Dingin Langit Kabut menebal, menelan siluet sosok yang berdiri di hadapan Yue Lian. Suara langkahnya pelan, tapi setiap jejaknya membuat suhu turun drastis. “Namamu?” tanya Yue Lian datar, matanya tak berkedip sedikit pun. “Orang mati tak perlu tahu siapa yang membunuhnya.” Sosok itu melepaskan penutup wajahnya. Wajahnya halus seperti porselen, tapi matanya biru tajam—beku, penuh kesombongan. “Aku disebut Bai Chan. Pemimpin cabang ke-3 Sekte Pilar Salju Abadi.” Yue Lian mencengkeram gagang salah satu dari delapan pisaunya. Kabut mulai berputar cepat di sekitarnya, membentuk lingkaran tak kasat mata. “Kau salah satu dari mereka… yang menyerang istana ibuku.” “Benar. Seluruh klanmu layak dihapuskan. Klan Qing He adalah parasit tua dalam dunia persilatan.” Bai Chan tersenyum tenang. “Kalau begitu…” suara Yue Lian mulai dingin, “…aku akan jadi

Langit di atas Tanah Bayangan menghitam dalam sekejap. Awan menggulung bagaikan monster raksasa yang baru bangkit dari tidur panjangnya. Di pusat pusaran itu, badai terbentuk—mengaum, mengguncang langit, dan menciptakan gema yang membuat tanah bergetar.Di tengah pusaran tersebut, Kaisar Petir Abadi berdiri angkuh, melayang di udara. Jubah putih-peraknya bergoyang tertiup angin petir, memancarkan kilat dari setiap helai benang. Di sekeliling tubuhnya, percikan listrik menari liar, menyambar udara.Matanya yang kuning menyala memandang ke bawah. Di tanah yang retak karena tekanan kekuatannya, berdiri seorang pemuda dengan tiga segel di dadanya—Li Yuan.Segel naga ungu, naga emas, dan mata hitam, bersinar bersamaan.“Begitu rupanya wajah anak Long Tian...” gumam sang Kaisar, suaranya seolah petir yang dibungkam. “Mirip… dan menyebalkan.”Li Yuan membalas tatapan itu dengan mata tajam. “Kau mengenal ayahku?”Petir menyambar di belakang sang Kaisar.Ia turun perlahan dari langit, dan seti

Langit di luar Lembah Tiga Cermin telah berubah rupa. Awan hitam menebal, menggulung seperti naga tidur yang terbangun. Kabut hitam menyelimuti punggung gunung, dan dari kejauhan terdengar suara yang menggema—seperti genderang perang ditabuh perlahan dari kedalaman dunia. Tanah di bawah kaki mereka bergetar ringan, seakan memberi peringatan kepada siapa pun yang masih berani bernapas.Li Yuan berdiri di atas batu karang tinggi, pakaian robek sebagian, namun matanya masih menyala pekat. Mata ketiga di dahinya berkedip lambat, seperti jantung yang hidup. Segel-segel di dadanya memudar perlahan, menyisakan bekas panas yang dalam seperti bara yang belum padam.He Sanming berdiri di belakangnya. Suaranya tenang tapi berat.“Sudah waktunya, Yuan. Dunia yang menolakmu kini bersiap memburumu.”Tiba-tiba, kabut di depan mereka terbelah. Dari celah itu, muncul sosok berjubah hitam. Ia berjalan pelan, tubuhnya tinggi dan kurus, langkahnya teratur namun membawa tekanan seperti pisau di tengkuk. A

Kuil Darah Dewa menggantung di langit seperti bangkai naga raksasa yang tak pernah membusuk. Dindingnya tersusun dari tulang naga purba, berurat darah hitam yang masih berdenyut pelan seperti nadi dunia yang tertinggal. Aura pekat menyelubungi setiap inci kuil itu, membuat udara terasa lebih berat dari batu, menekan jiwa siapa pun yang berani memandang terlalu lama.Li Yuan berdiri di depan gerbang utama kuil. Di sisinya, Pengurus Warisan dengan tongkat tengkoraknya, dan Feng Qiyan yang menatap ke sekeliling dengan tatapan waspada. Di belakang mereka, Yue Lian diam, wajahnya masih menyimpan ketegangan setelah kemunculan Kaisar Petir Abadi.“Tempat ini…” desis Feng Qiyan, mengeluarkan jimat pelindung dari dalam lengan bajunya.Begitu jimat itu terkena udara sekitar, ia langsung hangus terbakar sebelum disentuh siapa pun.“…tidak terikat oleh hukum dunia biasa.”Li Yuan tidak menjawab. Ia tahu, satu langkah ke dalam kuil ini bukan sekadar melangkah ke tempat baru—melainkan ke nasib baru

Tanah bergemuruh saat langkah kaki Li Yuan menginjak batas luar dari Wilayah Petir Abadi. Suara alam seolah menggema di dalam dada. Di hadapannya terbentang sebuah ngarai lebar berwarna abu keperakan. Dinding-dinding batu seperti disayat petir bertahun-tahun lamanya, sementara di tengah lembah itu, ratusan menhir logam berdiri menjulang, membentuk jalur zigzag menuju arah timur. Di atas menhir, sambaran kilat menyambar tanpa henti—seperti naga langit yang mengamuk namun dikurung dalam perjanjian gaib yang tak terlihat.Langit di atas lembah tampak lebih gelap dari langit lainnya. Awan pekat menggulung, seolah menahan hujan yang tak pernah jatuh. Cahaya petir menari-nari di angkasa, berkilauan dengan warna biru keunguan yang sesekali berubah menjadi keemasan. Suara ledakannya tak hanya menyakitkan telinga, tapi juga mengguncang jantung dan menekan jiwa.Feng Qiyan, berdiri di belakang Li Yuan, menelan ludah. Matanya menyipit, menatap lembah yang dulu hanya ia dengar dalam kisah dongeng