All Chapters of Pengantin Dadakan Sang Mafia: Chapter 131 - Chapter 140

Beberapa hari kemudian menjadi sangat melelahkan bagi Felix. Anna terus menagih soal uang hasil taruhannya seperti penagih utang yang gigih. Dia tidak mau peduli jika itu perlu waktu lama dan prosedur tertentu untuk transfer uang sebanyak itu ke sebuah rekening pribadi. Setiap pagi, Anna akan datang dengan wajah penuh harap, menanyakan apakah uangnya sudah masuk. Setiap sore, dia akan kembali dengan pertanyaan yang sama namun dengan nada yang sedikit lebih kesal.Lagi pula sebenarnya itu bukan urusan Felix. Dia hanya perantara dalam taruhan bodoh antara Anna dan Beatrix. Tapi Anna terus beralasan jika itu adalah urusan Felix juga karena Beatrix adalah mantan tunangannya."Kau pasti memiliki nomor teleponnya," kata Anna suatu hari sambil mengikuti Felix ke ruang makan. "Atau kau tahu di mana dia tinggal sekarang. Telepon saja dan suruh dia segera transfer uangnya."Felix menggeleng sambil meminum kopinya. "Itu bukan cara kerjanya.""Lalu bagaimana caranya? Aku menang taruhan, aku berha

Anna tiba di restoran yang disebutkan Gabriel tepat jam tujuh malam. Itu membuat satu keluarga yang berkumpul di ruang pribadi menjadi cemas selama beberapa menit. Aria bahkan sempat menyalahkan suaminya karena tidak menjemput saja Anna dari apartemennya."Kenapa kau tidak menjemputnya saja?" Aria menggumam sambil sesekali melirik ke arah pintu. "Bagaimana kalau dia tersesat atau terjadi sesuatu di jalan?"Gabriel menggeleng sambil merapikan dasi hitamnya. "Dia bukan anak kecil lagi, Aria. Anna bisa menjaga dirinya sendiri.""Tapi—"Suara pintu yang terbuka membuat percakapan mereka terhenti. Anna muncul di ambang pintu dengan senyum cerah di wajahnya. Di belakangnya, ada seorang gadis lain yang telah mereka kenal sebelumnya."Maaf terlambat," ucapnya pada semua orang. Tapi tak ada sedikit pun perasaan bersalah di wajah itu.Anna melihat sekeliling. Ada pasangan suami istri yang sepertinya merupakan teman dekat pamannya. Pria paruh baya yang berbadan gemuk dengan istri yang selalu ter

Di depan pintu ruangan, Silvia berhenti sejenak. Dengan satu tarikan napas panjang, Silvia membuka pintu dengan kasar.Suara dentuman pintu mengejutkan semua orang di dalam. Lima pasang mata langsung tertuju padanya. Gabriel dan Aria duduk di sofa, wajah mereka masih terlihat santai meski sedikit memerah karena alkohol. Pasangan suami istri yang lain sudah terlihat sangat mabuk, tertawa dengan suara keras pada sesuatu yang tidak jelas. Junia duduk sendiri di sudut, matanya sayu menatap kosong ke arah gelas di tangannya.Silvia menatap semua orang di ruangan itu, terutama Gabriel dan Aria. Matanya dingin seperti es."Anna menghilang."Suaranya keras dan tegas, memotong tawa yang ada di ruangan.“Jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, jika ternyata ini ada hubungannya dengan kalian, aku pastikan keluarga Sawyer akan lenyap dalam hitungan jam.”Kata demi kata dari Silvia mencengangkan pasangan Sawyer.Suami istri itu saling pandang sesaat. Wajah Aria berubah pucat. Gabriel tetap tenang

Erick berdiri tegak di sisi meja kerja Felix. Dia telah pula melihat videonya dan tidak bisa tidak ikut mengerutkan kening.Mereka telah terbiasa melihat kengerian dan kekejaman. Tapi apa yang terjadi dalam video itu benar-benar membuat bulu kuduknya berdiri.Gadis itu bergerak cepat seperti bayangan. Tiba-tiba saja semua orang di sekitarnya telah terkapar dalam genangan darah. Gerakan-gerakannya terlihat sempurna, seolah telah dilakukan ribuan kali sebelumnya. Tidak ada keraguan, tidak ada jeda. Hanya eksekusi yang sempurna dan mematikan."Ini bukan gerakan orang biasa," gumam Erick pelan. Matanya menyipit menatap layar. "Ini adalah hasil pelatihan bertahun-tahun."Felix tidak menjawab. Dia hanya terus menatap layar dengan ekspresi yang sulit dibaca.Ponsel Felix berbunyi menandakan sebuah panggilan masuk. Matanya masih tak lepas dari layar laptopnya saat menekan ikon terima."Ya?""Halo, Tuan. Nyonya sudah bangun. Sepertinya dia tidak mengingat apa pun." Suara Garret terdengar gugup

Panggilan dari Anna datang tepat saat Felix selesai mengikuti rapat. Dalam perjalanan kembali ke kantornya, dia menjawab panggilan itu sambil melonggarkan dasinya yang terasa sedikit sesak."Aku tidak mengerti kenapa kau memecat Silvia." Suara Anna langsung menerobos pendengarannya dengan nada tinggi yang tidak biasa.Lorong yang sepi membuat suaranya bahkan bisa didengar Erick yang berjalan beberapa langkah di belakang. Erick melirik punggung atasannya sekilas, lalu mengalihkan pandangan ke samping. Suara itu kini terdengar berbeda baginya."Aku tidak memecatnya." Felix menanggapi ucapan Anna dengan santai. "Hanya mengirimnya untuk pelatihan agar bisa meningkatkan kemampuannya dalam bertugas.""Itu pasti cuma alasanmu saja." Anna tidak terdengar terpengaruh dengan penjelasan suaminya. "Dia akan lama di sana. Bukankah itu sama saja dengan memecatnya? Lalu bagaimana dengan aku?"Alis Felix mengernyit. Dia memperlambat langkahnya, mencoba memahami ke mana arah pembicaraan ini. "Maksudm