Sudah seminggu Ray tidak pernah lagi mengganggu Prilan. Tidak ada godaan saat melewati lorong kelas, tidak ada panggilan iseng di kantin, bahkan senyum menyebalkannya pun tak terlihat lagi.Sebaliknya, Ray kini lebih sering terlihat di lapangan basket, dikelilingi para siswi yang tertawa-tawa melihat aksinya menggiring bola. Wajahnya yang tampan dan postur tingginya seperti magnet bagi para gadis. Tapi tidak bagi Prilan.Setidaknya, itu yang ingin dia yakini.Dari balik jendela kelas, Prilan memperhatikan Ray yang sedang tertawa bersama teman-teman basketnya. Keringat membasahi pelipisnya, tapi senyum itu—senyum yang dulu sering ditujukan padanya—kini tampak bebas, liar, dan milik semua orang kecuali dirinya.Entah kenapa, dadanya terasa sesak.“Huh, sok ganteng,” gumam Prilan pelan, sambil memalingkan wajah dari jendela.Namun, suara langkah kaki yang cepat membuatnya menoleh kembali. Seorang gadis berambut ikal sebahu, mengenakan rok abu dan jaket sekolah, berlari kecil ke arah Ray.
Terakhir Diperbarui : 2025-10-13 Baca selengkapnya