All Chapters of Menikah Karena Visa: Chapter 221 - Chapter 230

Daniel panik bukan main saat melihat Elena tiba-tiba mengayuh sepedanya lebih cepat, meninggalkan dirinya di belakang setelah pengakuannya yang jujur barusan. “Elena! Hei—tunggu dulu!” serunya sambil mengayuh kuat, tapi Elena hanya menoleh sebentar lalu tertawa kecil, menambah kecepatan seperti sengaja membuatnya bingung. “Kenapa dia malah senyum?” gumam Daniel, setengah ngos-ngosan, antara bingung dan khawatir. “Bukannya marah, malah kayak habis menang lotre…” Elena terus mengayuh hingga melewati taman, menyusuri jalan setapak menuju area pasar jajanan yang ramai di dekat tepi kota. Aroma manis dan gurih langsung menyambutnya begitu ia berhenti. Ia menurunkan sepedanya perlahan, masih dengan senyum yang tak bisa hilang dari wajahnya. Daniel menyusul beberapa detik kemudian, napasnya terengah. “Elena! Bisa jelasin—kenapa kamu kabur gitu?” katanya sambil menepuk dadanya, mencoba menstabilkan napas. Namun Elena hanya menatapnya dengan senyum geli. “Aku nggak kabur, aku cuma… l

Elena berusaha menenangkan diri sebelum mulai bicara. Ia duduk di kursi depan meja besar kayu gelap, di sebelah Daniel yang duduk tegak dengan ekspresi waspada. Di seberang mereka, seorang pria tinggi berjas hitam, tampak tenang namun tajam matanya, menatap setiap gerakan mereka dengan penuh perhatian. Ia adalah Kepala Divisi Imigrasi Molgrad, orang yang memegang keputusan akhir terhadap status visa Elena. Suasana ruangan terasa kaku. Hanya suara jam dinding dan ketukan pena di atas meja yang terdengar. Mr. Callahan berdiri di sisi ruangan, membawa map coklat berisi berkas yang sudah ia siapkan. Ia menatap Elena seperti seorang guru yang tengah menunggu muridnya berbuat salah. “Baik,” ujar pria tinggi itu perlahan, “Nyonya Elena Santoso, bisakah Anda menjelaskan secara langsung, dengan jujur, tentang pernikahan Anda dengan Tuan Daniel Harper serta pesta pernikahan kalian?” Elena menatap sekilas ke arah Daniel, menarik napas dalam, lalu menjawab, “Kami memang menikah secara res

Usai sidang imigrasi dinyatakan berakhir dan keputusan resmi telah diumumkan, suasana di aula utama kantor imigrasi Molgrad berubah hangat. Para jurnalis yang sebelumnya hanya menunggu di luar mulai mendekat untuk meminta keterangan dari Elena dan Daniel. Lampu kamera menyorot wajah Elena yang tampak tenang, tapi di balik matanya masih tersisa emosi besar yang ia tahan sejak lama. Salah satu reporter wanita maju ke depan, mikrofon di tangan.“Nyonya Elena, bagaimana perasaan Anda setelah keputusan hari ini diumumkan? Apakah ini akhir dari semua tuduhan yang sempat muncul sebelumnya?” Elena menatap Daniel sekilas, lalu menatap para wartawan. Senyumnya kecil, tapi ada keyakinan yang kuat di sana.“Hari ini memang kemenangan besar buat kami. Tapi bukan hanya soal visa atau pernikahan. Ini juga tentang kebenaran yang akhirnya bisa dilihat dengan jelas.” Kamera-kamera menyorot lebih dekat. Elena menarik napas dalam, lalu berkata lagi dengan suara mantap,“Selama ini banyak yang salah

Daniel menatap ayahnya cukup lama, mencoba mencerna kabar itu. Pindah ke Maple Hollow? Kota tempat semuanya dimulai — dan juga tempat semua kenangan masa lalu tertinggal. Elena menunduk, memikirkan banyak hal yang akan berubah jika mereka benar-benar menerima tawaran itu. Namun, sebelum suasana menjadi terlalu berat, Daniel akhirnya tersenyum kecil. "Yah… kalau itu memang yang terbaik untuk pengembangan taman kota dan proyek baru, aku akan pikirkan,” katanya tenang. “Tapi kali ini aku nggak mau meninggalkan Molgrad sepenuhnya. Aku masih punya mimpi yang belum selesai di sini.” Ayahnya menatap anaknya dengan tatapan bangga."Ayah sudah tebaik kamu akan jawab apa"Elena menoleh ke Daniel, "Kamu beneran mau milih tinggal di Molgrad?" “Iya. Aku bisa mengelola usaha pembibitan keluarga dari jarak jauh. Lagipula, sekarang semua bisa dilakukan online. Ada manajer di sana, aku bisa kontrol dari sini,” jelas Daniel dengan mantap. Elena menatapnya, tersenyum lebar.“Itu artinya kamu bi

Sore itu, langit Molgrad mulai berwarna jingga saat para karyawan beranjak pulang dari kantor. Elena sempat menoleh ke arah meja Daniel yang kosong.“Kamu nggak pulang bareng?” tanyanya sebelum berpisah. Daniel tersenyum tipis, menatap layar laptopnya. "Aku ada urusan sedikit, kamu duluan aja. Jangan lupa makan, ya.” Elena mengangguk. “Baiklah. Tapi jangan pulang kelamaan.” “Janji,” jawab Daniel dengan senyum kecil. Namun janji itu ternyata membuat Elena menunggu hingga malam. Waktu terus berjalan. Pukul delapan malam, Daniel belum juga pulang. Telepon yang Elena lakukan hanya berakhir di nada sambung tanpa jawaban. Hatinya mulai tak tenang.“Dia jarang begini…” gumamnya cemas sambil menatap layar ponsel. Pukul sepuluh lewat, baru sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal."Halo?” Suara di seberang terdengar tergesa, distorsi samar di antara deru angin. “Anda Elena, istri Daniel Harper?” “Iya, benar. Ada apa ini?” “Mohon maaf, kami butuh Anda segera datang ke a