All Chapters of Menikah Karena Visa: Chapter 181 - Chapter 190

Elena duduk di meja kerjanya, matanya kosong menatap layar komputer. Sejak Daniel pergi, dia tidak bisa benar-benar fokus. Ponselnya berdering, dan di layar muncul nama Eva. “Eva?” Elena segera mengangkat. “Kenapa tiba-tiba nelpon?” Suara Eva terdengar agak terburu-buru di seberang. “Elena, kau sudah tahu belum? Daniel ke Maple Hollow bukan sekadar urusan keluarga biasa. Tanah pusaka nenek Rose sedang terancam diambil pengembang.” Elena tercekat. “Apa? Kenapa dia ngga bilang? “Ya, dia memang begitu. Dia pikir bisa menyelesaikan sendiri. Tapi aku bisa lihat dia kewalahan, Elena. Aku rasa dia butuh seseorang di sisinya, meskipun tuh anak ngga mau ngaku.” Elena menggigit bibirnya, hatinya terasa panas dan sedih sekaligus. “Dan bahkan aku serasa ngga dianggap bagian dari keluarganya….” “Elena,” suara Eva melunak, “kalau kau benar-benar peduli pada Daniel, jangan tunggu dia memanggil. Datang. Setidaknya dia tahu dia tidak sendirian.” Ada hening sejenak sebelum Elena akhirny

Rumah keluarga Daniel tampak lebih ramai dari biasanya. Di meja makan, semua orang berkumpul, wajah-wajah mereka dipenuhi senyum lega setelah kabar baik tentang lahan pusaka. Ayah Daniel menepuk pundaknya dengan bangga. “Kau sudah buktikan kalau darah keluarga Harper ngga mudah dikalahkan.” Daniel hanya mengangguk, sedikit canggung. “Aku tidak sendirian ada Elena yang membantu.” Seketika semua mata tertuju pada Elena. Wajahnya memanas, ia hanya tersenyum kikuk. “Hanya melakukan apa yang bisa dilakukan.” Lily yang sedari tadi menunggu momen itu, tiba-tiba berdiri dari kursinya dan memeluk Elena erat. “Akhirnya kau datang lagi! Aku rindu sekali, Kak Elena!” Elena terkejut, tapi kemudian tertawa kecil sambil membalas pelukan itu. “Aku juga rindu, Lily. Kau sekarang makin dewasa ya.” “Aku sering menunggu kabarmu,” ujar Lily polos, membuat semua orang di meja makan tertawa. Ibu Daniel ikut tersenyum, tatapannya lembut kepada Elena. “Terima kasih, Elena. Tampaknya Daniel lebih

Suasana pasar tradisional ramai dengan suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka. Aroma rempah, sayur segar, dan buah-buahan bercampur jadi satu. Elena berjalan di samping Ibu Daniel, membantu membawa keranjang belanja. “Maaf ya, Elena,” ujar Ibu Daniel sambil memilih tomat merah segar. “Sebelum kalian kembali ke Molgrad, Ibu ingin masak makanan enak untuk kalian. Rasanya belum puas kalau tidak sempat memasakkan sesuatu.” Elena tersenyum tulus. “Tidak perlu repot, Tante. Aku malahan senang bisa ikut ke pasar kayak gini. Rasanya hangat banget… sudah lama ngga berbelanja di tempat ramai begini.” Ibu Daniel menoleh, menatap Elena dengan mata yang lembut. “Kau benar-benar gadis baik. Daniel jago banget milih" Elena sedikit tertegun, lalu menunduk malu sambil pura-pura sibuk merapikan keranjang. “Ah… Tante terlalu memuji.” Sambil berjalan ke lapak sayur berikutnya, Ibu Daniel melanjutkan, “Nenek Rose juga bilang begitu. Katanya, sejak kehadiranmu membuat Daniel jadi lebih ku

Matahari sudah naik, sinarnya menembus jendela ruang makan. Aroma sarapan masih tercium, tapi suasana tetap agak tegang. Daniel berdiri di dekat pintu, kemejanya rapi tapi wajahnya serius. “Aku akan ke kantor polisi pagi ini. Sekaligus minta akses CCTV di sekitar pasar kemarin. Kalau kita beruntung, kita bisa dapat petunjuk siapa orang-orang itu.” Ayah Daniel mengangguk mantap. “Bagus. Lakukan itu, Nak. Kita perlu petunjuk.” Nenek Rose menatap cucunya dengan khawatir. “Tapi jangan pergi sendiri. Apa ngga sebaiknya Elena ikut?” Daniel melirik sekilas ke arah tangga. “Tidak, Nek. Elena lebih baik di sini. Lily masih belum bicara apa-apa. Mungkin dia bisa membantu membuka hati Lily.” Ibu Daniel menambahkan pelan, “Benar. Lily dekat dengan Elena, mungkin dia lebih mau cerita kalau Elena yang menemaninya.” Daniel menarik napas dalam, lalu menatap Elena. “Aku titip Lily. Aku ngga tahu jam berapa selesai, mungkin butuh waktu lama buat urus ini.” Elena menatapnya dengan lembut

Daniel dan Elena turun dari mobil, menyusuri halaman kampus dengan alasan ingin menjemput Lily pulang kuliah. Namun sesungguhnya, mereka berdua ingin memastikan wajah Clara—sosok yang Lily sebut semalam. Dari kejauhan, mereka melihat Lily tertawa kecil sambil berjalan dengan seorang gadis. Clara. Senyum Clara tampak hangat, bahkan sesekali ia merangkul lengan Lily seolah mereka sahabat dekat. Daniel menyipitkan mata. “Itu Clara?” bisiknya pada Elena. Elena mengangguk, matanya penuh rasa ingin tahu. “Mungkin. Padahal Lily bilang seminggu lalu Clara sempat marah karena Arvin. Sekarang… lihat aja, dia terlihat biasa aja dengan Lily.” Tak lama Lily menghampiri mereka dengan gembira. “Kak Elena!” serunya sambil melambaikan tangan. Clara pun ikut tersenyum sopan. “Oh, ini kakak kamu, ya?” Daniel tersenyum tipis. “Iya, Ah kami kebetulan mau ajak Lily makan siang, sekalian berbincang. Kamu bisa ikut.” Clara tampak terkejut sejenak, lalu cepat mengangguk. “Baiklah, kemana Lily ak