All Chapters of Satu Malam dengan Raja Naga: Chapter 51 - Chapter 60

Gerbang Arang.Dua pilar batu menjulang tinggi seperti taring naga purba yang sudah lama membatu.Tempat itu dulu jadi batas antara wilayah api dan tanah bebas.Sekarang, ia menjadi saksi bisu kebangkitan yang tak seharusnya mungkin.Pasukan berjubah gelap terus keluar dari celah itu.Langkah mereka pelan,tapi teratur.Dan setiap jejak kaki yang menyentuh tanah…meninggalkan bekas bara hangus,seolah dunia harus mengingat mereka kembali.Lelaki itu berdiri diam,mata menatap lurus ke depan.Namun di dalam dirinya,segala sesuatu mulai retak pelan.“Bagaimana bisa dia hidup?”Suara Anara lirih,tapi tegas.Seakan kalimat itu ditujukan bukan hanya pada lelaki itu,tapi juga pada langit.Lelaki itu tidak menjawab.Tangannya mengepal.Nafasnya tenang,namun sorot matanya menyimpan letupanyang belum sempat meledak.---Dari barisan pasukan yang panjang,

Tombak itu melesat,menembus udara yang padat oleh sihir kuno,dan menghantam langit yang telah bergetar sejak jantung naga pertama berdenyut kembali.Tapi tidak pecah.Tidak juga berhenti.Tombak itu masuk.Bukan seperti benda yang menabrak,tapi seperti sesuatu yang menemukan pintu yang sudah menunggunya sejak lama.Retakan langit terbuka perlahan.Namun yang terlihat di baliknya bukan bintang.Bukan juga kegelapan.Tapi sesuatu yang tidak bisa dijelaskan—ruang tanpa bentuk.Tanpa suara.Namun penuh pengingat.Satu demi satu, sembilan bayangan itu berhenti.Tubuh mereka bergetar.Seolah mengenali tempat itu.Bukan sebagai rumah,tapi sebagai sumber hukuman.Makhluk bersayap gelap mencengkeram dadanya.Jantung naga di dalam tubuhnya meronta.Bukan memberontak…tapi ketakutan.“Bodoh…” desisnya,“kau membuka jalur pemulangan.Bukan hanya bagi mereka—

Menara itu sunyi.Tak ada jendela,tak ada cahaya.Namun dari kolam sihir di tengah ruangan,pancaran kelam menyala lembut…bagaikan bara yang menunggu di dasar arang.Seorang anak berdiri sendiri di sana.Tubuhnya kecil,tapi bayangannya panjang—terlalu panjang untuk cahaya sekecil itu.Ia menatap ke dalam air.Bayangan wajah sang Raja bergetar di permukaan,dikelilingi kilau perak dan emas yang meredup namun stabil.“Mereka menyebutmu penjaga,”bisik anak itu,suaranya jernih,tapi dingin seperti batu yang belum pernah disentuh matahari.“Kau mengunci jantung naga,menolak Pemulih,dan memeluk luka seolah itu mahkota.”Ia mengangkat tangannya.Air di kolam mulai bergelombang.Bentuknya berubah—membentuk wajah Anara, Kaevan,dan terakhir… dirinya sendiri.“Tapi siapa yang menjaga orang seperti aku?”---Di tempat lain—jauh dari menara

Langkah demi langkah itu bukan berasal dari makhluk hidup.Tak ada nafas.Tak ada tubuh.Hanya gema masa lalu yang disuarakan ulang oleh tanah.Anara menggenggam ujung jubah sang Raja.Bukan karena takut,tapi karena ia tahubahwa apa pun yang muncul sekarang…bukan sesuatu yang bisa ia lawan.Di depan mereka, siluet makhluk bayangan berdiri diam.Wajahnya perlahan mulai membentuk sesuatu.Bukan wajah orang asing.Tapi wajah yang dikenalnya sendiri.Wajahnya.Wajah sang Raja.Namun dengan tatapan kosong,tanpa arah,tanpa ampun."Aku adalah keheninganmu," ucapnya."Yang kau tekan di setiap malam.Yang kau ingkari agar kau bisa terus jadi penyelamat."Sang Raja tak bergerak.Tapi napasnya mulai berat."Kau datang untuk apa?"Makhluk itu tak menjawab.Namun dari balik celah kabut,satu demi satu bayangan muncul.Mereka bukan makhluk.M

Fajar datang tanpa warna.Biasanya, cahaya jingga muncul di balik pegunungan,menghangatkan punggung para penjaga benteng timur.Tapi hari ini, langit hanya memutih.Seolah matahari pun ragu untuk terbit,karena tahu:apa yang akan terjadi hari inibukan sekadar perang,tapi pembalasan dari luka-luka yang terlalu lama didiamkan.Sang Raja berdiri di balkon tertinggi istana.Di bawahnya, pasukan siaga.Tak ada yang bicara.Tak ada yang bertanya.Mereka tahu,ini bukan perang yang bisa dimenangkan dengan pedang.Kaelira belum mengirimkan serangan,tapi ancamannya terasa di setiap bayangan,di setiap getaran tanah,di setiap mimpi buruk yang muncul sebelum tidur dan tidak hilang saat bangun.Anara menghampiri pelan,membawa dua cangkir teh pahit yang biasanya jadi rutinitas mereka di pagi hari.Tapi kali ini, hanya satu cangkir yang ia ulurkan.Sang Raja tak menoleh.