Semua Bab Satu Malam dengan Raja Naga: Bab 41 - Bab 50

Langit pagi terbungkus awan tipis, seperti seseorang yang tak ingin benar-benar terlihat,tapi juga tak siap menghilang sepenuhnya.Udara beraroma tanah basah, dan embun masih menggantung di ujung daun-daun kecilyang bergetar… bukan karena angin,tapi karena dunia pagi itu terlalu jujur untuk tidak membuat siapa pun gentar.---Rhia menuruni lereng barat Teman Sunyi,langkahnya perlahan, seperti menahan waktu agar tidak berjalan lebih cepat dari yang dibutuhkan jiwa.Hari ini, ia hendak menemui lelaki yang datang tanpa nama,tanpa permintaan,dan tanpa luka yang bisa dilihat.Namun dari cara duduknya yang terlalu tegak,dan cara matanya memandang kosong ke tanah yang tak berdebu,semua tahu:ia sudah lama tak punya tempat untuk pulang.---Lelaki itu tinggal di gubuk kecil yang ia bangun sendiri di dekat ladang bunga liar.Atapnya dari jerami,dindingnya dari potongan kayu yan

Asap itu tidak tebal.Tapi cukup untuk mengganggu.Cukup untuk membuat Rhia menahan napas dan Kara memicingkan mata.Dan cukup bagi lelaki itu untuk tahu: ini bukan api biasa.Karena dunia tidak memberi isyarat sekecil itu tanpa alasan.Ia berdiri perlahan.Suara rerumputan yang terinjak terasa lebih sunyi daripada biasanya.Anak kecil yang semula duduk menggambar, kini diam dan hanya menatap asap itu, seolah ia tahu:ada sesuatu dari masa lalu yang tak seharusnya menemukan tempat ini… tapi berhasil juga sampai.Kara bicara lebih dulu.“Kau mencium itu?”Rhia mengangguk.“Kayu pinus tua… dicampur dengan abu dari kulit hewan. Itu pembakaran ritual. Tapi tidak suci.”Lelaki itu memejamkan mata.Ia tidak bertanya.Karena ia tahu bau itu.Tahu siapa yang menggunakannya.Dan tahu, betul,apa artinya api itu menyala kembali setelah sekian lama.“Namanya Osvan,” katanya datar.“Dul

Kegelapan bukan hal baru bagi lelaki itu.Tapi kegelapan ini…berbeda.Ia bukan ketiadaan cahaya.Ia seperti ruang yang menolak didefinisikan.Tak ada langit.Tak ada tanah.Hanya rasa berat,seperti seluruh dunia berputar di luar tubuhnya,sementara ia sendiri terjebak di titik nol—tempat di mana arah tak pernah diciptakan.Langkahnya tak menghasilkan suara.Napasnya tak menciptakan kabut.Bahkan detak jantungnya pun terasa asing,seolah berdetak bukan untuk hidup…melainkan untuk mengingat bahwa ia masih ada.---Lalu, perlahan… sesuatu mulai terbentuk.Bukan benda.Bukan makhluk.Tapi kenangan.Satu per satu, potongan masa lalu muncul di sekelilingnya,melayang seperti serpihan kaca dari cermin yang pernah ia pecahkan.Sebuah jalan berbatu di hutan saat hujan.Tawa seorang anak kecil yang ia bawa kabur dari medan pertempuran.Ciuman yang ia

Langit merah terbelah seperti rahim dunia yang hendak melahirkan sesuatu yang tak pernah diundang.Dari celah-celah itu, tidak keluar cahaya,melainkan kegelapan yang bergerak.Ia bukan kabut.Ia bukan bayangan.Ia… kesadaran.Tua.Lapar.Dan penuh kebencian.Lelaki itu menggenggam tangan Anara lebih erat,seolah menyadari bahwa apa pun yang datang…tidak hanya akan memisahkan tubuh mereka,tetapi bisa menghapus segala makna dari keberadaan mereka.Anara menatapnya, suara napasnya bergetar.“Ini bukan bagian dari segel mana pun yang kita kenal.”Ia mengangguk.“Aku tahu. Ini bukan sekadar tempat terbuang—ini adalah akar dari dunia itu sendiri.”Mereka berdiri di pangkal realitas,di mana hukum sihir, waktu, dan kehidupan hanya bersifat opsional.Dan di sini…siapa pun yang merasa paling benar akan jadi mangsa pertama.---Dari pusaran kegelapan itu,muncul satu sosok.Tinggi.Tanpa wajah.Tanpa suara.Tapi kehadirannya…mengusir logika.Ia melangkah—dan setiap langkahnya membuat ruang

Malam turun lebih cepat dari biasanya. Langit tidak sepenuhnya gelap, tapi tidak juga terang. Seolah waktu kehilangan arah— dan semua jam dunia berdetak dengan ritme yang tak dikenal. Anara duduk bersila di samping api unggun, mantranya berputar pelan di udara. Cahaya dari jari-jarinya menari lembut, menjaga ruang mereka tetap tertutup dari pengintaian sihir. Lelaki itu berdiri sedikit jauh dari lingkaran api. Matanya menatap langit. Tapi pikirannya… jauh lebih dalam dari bintang mana pun. Karena mereka datang. Faksi kedua. Yang tidak pernah menyerang dengan pedang. Tidak juga dengan pasukan. Faksi Kegelapan Abadi. --- Mereka datang sebagai kabut. Tidak terlihat. Tidak berbentuk. Namun perlahan menyusup ke dalam bayan