All Chapters of Menjaga Kesucian Untuk Wanita Lain: Chapter 11 - Chapter 19

Begitu keluar dari klub, William langsung menerima telepon dari kakaknya. Begitu membaca isi pesannya, dia langsung melotot kaget."Kak, jangan bilang ... jangan bilang Kakak mau jadi orang tua kolot yang melarang aku cari cinta sejati? Ini pertama kalinya aku benar-benar suka sama seseorang, jangan halangin aku lagi ya! Aku sudah 19 tahun! Ini bukan cinta monyet!"William mulai mengoceh panjang lebar. Pasalnya, Kakaknya memang punya rekam jejak. Sejak kecil, dia dijaga sangat ketat, dilarang pacaran, dilarang bolos, dan harus jadi murid teladan.Setelah kuliah sekarang, pacar teman-temannya semua dari zaman SMA, sedangkan dia sendiri masih menjomlo. Akhirnya dia menemukan seseorang yang benar-benar disukainya, masa haarus dihancurkan oleh orang tua yang kejam?Akan tetapi, Richard tidak menanggapi ocehannya. Sebaliknya, dia hanya mengirimkan sebuah foto lukisan yang tadi dilihatnya di rumah Damar, lalu menulis.[ Coba kamu lihat ini, lukisan ini mirip nggak sama karya si pelukis yang

Saat itu aku sedang duduk di tribune penonton menyaksikan pertandingan William. Suasana di arena sangat meriah, orang-orang di sekeliling bersorak riuh untuk pembalap favorit mereka.Hari ini adalah hari terakhir penentu juara. Jadi, atmosfernya jauh lebih panas dari sebelumnya. Karena terlalu fokus menonton, aku sama sekali tidak menyadari sosok seseorang yang perlahan-lahan berjalan ke arahku dari sudut tempat duduk.Sampai akhirnya, saat Sinta dengan perut besarnya tiba-tiba berlutut di depanku, aku terkejut dan langsung berdiri."Kamu ngapain di sini?" Aku sama sekali tidak pernah memberi tahu siapa pun soal keberadaanku, bagaimana dia bisa menemukan aku?Belum sempat aku berpikir lebih jauh, Sinta sudah menangis sambil berusaha memelukku. Aku refleks langsung mundur ke belakang untuk menghindar.Setelah dicelakakan satu kali, traumanya bisa membekas sampai 10 tahun! Apalagi, sekarang Sinta sedang hamil. Kalau aku sampai terlibat kasus dengannya, sampai mulut berbuih pun tidak akan

Tatapanku langsung tertuju pada Damar dengan penuh keterkejutan. Bahkan dokter yang tadi pun tampak sangat kesal. Dia langsung menepis tangan Damar yang masih mencengkeram kerah jasnya, lalu berkata dengan suara dingin, "Jangan omong kosong seperti itu."Setelah berkata demikian, dia pun segera berbalik dan kembali masuk ke ruang operasi. Tadi dia keluar hanya untuk menyampaikan kabar saja.Lalu, kulihat Damar mulai mengentak-entakkan tangannya ke pintu ruang operasi dengan penuh kepanikan. "Selamatkan anaknya! Kalian dengar nggak?! Selamatkan anaknya!"Melihat kelakuan seperti itu, aku tak bisa menahan keterkejutanku dan bertanya, "Kamu ini setidaknya lulusan S2, masa hal dasar begini saja nggak tahu? Mau kamu bilang apa pun ... menurut hukum, yang harus diselamatkan duluan adalah ibunya."Tubuh Damar langsung menegang. Namun, kemudian dia berbalik menatapku dengan ekspresi sok romantis dan berkata, "Kamu sendiri bilang kamu nggak suka Sinta, bukan? Kalau kita cuma pertahankan anaknya

Waktu berlalu begitu cepat. Baru beberapa hari kemudian aku tahu tentang gosip-gosip di internet. Namun, aku sama sekali tidak merasa pusing karenanya. Hal seperti itu bisa dibersihkan dengan klarifikasi selama ada uang.Berita di internet itu penuh dengan yang benar dan yang palsu, siapa juga yang akan terus-menerus peduli pada urusan kecil yang tidak penting?Rencana Damar untuk menekanku lewat opini publik jelas gagal total. Namun, tindakannya justru memicu ledakan emosi dari Sinta.Sinta bersandar di ranjang rumah sakit sambil menatap layar ponselnya, isi hatinya penuh kebencian yang mendidih. Akhirnya, dia tidak sanggup lagi menahan diri. Ponselnya pun dilempar ke atas ranjang dan dia menggertakkan gigi sambil mengumpat penuh dendam."Ayu! Kamu sudah bunuh anakku, sekarang kamu mau rebut priaku juga? Aku benci kamu!"Seorang perawat yang baru masuk untuk mengganti perbannya, sempat mendengar teriakan itu dan melirik dengan jijik.Awalnya dia hampir percaya dengan drama wanita ini.

Lamaran yang mendadak dan tanpa ancang-ancang ini membuatku tertegun seketika. Detik demi detik berlalu, entah sudah berapa lama waktu berjalan. Yang kuingat hanyalah diriku berdiri seperti patung di tempat, menatap wajah William yang waswas.Tampak jelas dia menggigit bibir, seolah telah mengambil keputusan besar. Meskipun hatinya dipenuhi kegelisahan dan ketakutan, dia tetap mengumpulkan keberanian untuk mengutarakan kata-kata itu.Akhirnya, di bawah tatapannya yang dipenuhi harap dan ketegangan, aku perlahan mengangguk dan memaksakan diri berkata, "Iya."Jawaban sederhana ini terasa seperti menguras seluruh tenaga dalam tubuhku. Setelah menerima lamarannya, hatiku perlahan tenang dan mulai memikirkan kehidupan kami di masa depan.Selama ini, setelah melewati begitu banyak hal, aku mulai memahami banyak hal dalam hidup. Aku tahu, selama aku bisa menjadi kuat dan mandiri, aku tidak perlu lagi takut pada luka yang mungkin dibawa oleh cinta.Kurasa, meskipun aku akan hidup bersamanya se