All Chapters of Waspadalah, Nyonya Tak Sudi Lagi Ditindas: Chapter 51 - Chapter 60

Di ibu kota, perhelatan yang diadakan marquis Chengping jadi perbincangan. Sebabnya ini merupakan perayaan kelima puluh sang marquis. Pagi-pagi sekali, Lin Yue sudah datang menghadap Ming Lan. Wajahnya terlihat lembut dan malu-malu. "Ibu, saya membuat kue kacang almond. Maukah anda mencobanya?"Dibawah tatapan majikannya, Anggrek maju dan menusukkan jarum perak pada kue-kue tersebut. Ketika melihat tidak ada reaksi apapun, dia kembali berdiri di sisi Ming Lan. "Da xiaojie benar-benar membuat kemajuan." Ming Lan mengambil sebuah dan memasukkannya dalam mulut. "Rasanya cukup enak. Setidaknya, lebih baik dari pada buatan adikmu."Senyum Lin Yue makin lebar saat mendengar keramahan ini. Sebab itu, dia makin berani. "Ibu, soal pesta di kediaman marquis Chengping, bisakah saya ikut dengan anda?"Masih dalam gerakan anggun, Ming Lan meletakkan sisa gigitan kue, lalu mengusap tangan dengan kain basah. Dalam undangan tersebut, jelas-jelas hanya

"Jadi ini adalah Chu furen yang terkenal?" Kedua kalinya Ming Lan mendengar pertanyaan serupa tetapi dari orang yang berbeda. Wanita terakhir tampil bermartabat, dengan tatapan setajam pisau. Entah ada dendam apa di antara mereka yang membuatnya bertindak begitu. "Kalau anda mengenalnya karena Yunxi Lou, maka benar. Dia adalah keponakan keluarga Xie kami, juga furen dari perdana menteri Chu, Hua Ming Lan." Penjelasan Xie furen yang panjang lebar membuat Ming Lan sadar tujuan sebenarnya. Bibinya sedang menggertak orang ini agar tidak macam-macam. Dibelakangnya ada tiga keluarga besar ibu kota. "Salam pada Wang furen. Ming Lan senang bertemu anda." Senyum wanita itu tidak menyentuh matanya sama sekali. Dia duduk dengan angkuh, dekat nyonya tua kediaman marquis. Dari informasi yang diterima Ming Lan lewat bisikan pelayan utama bibinya, nyonya ini adalah istri dari sekretariat Wang, sekaligus paman kerajaan. Putri sulung mereka adalah selir agung Shu (Shu fei), yang merupaka

Perhatian yang sempat teralih, kembali utuh. Pelayan yang hilir mudik, sampai menghentikan kegiatan mereka. Di sela kesibukan bekerja, gosip kehidupan para bangsawan adalah yang paling menarik diceritakan. Pantulan lentera di ruang perjamuan menimbulkan liukan-liukan aneh di dinding, namun tidak mengurangi rasa penasaran setiap orang akan masalah pelik yang kini melibatkan beberapa keluarga. "Hmph, pantas saja sampai tua pun tidak berubah. Tetap barbar." Nyonya Wang yang tadi menunduk malu, ikut mencemooh. Rui wangfei menyesap teh-nya dengan tenang. "Meimei," ujarnya sambil lalu pada putri Rongle. "Bukankah istri pejabat yang tidak tahu aturan harus menghadap ibunda ratu?" "Tentu saja. Sebagai ibu dari seluruh dunia, beliau adalah sosok yang paling tepat untuk mendidik wanita yang tak punya etika." Pada saat ini, beberapa nyonya bangsawan kelas tinggi membersihkan tenggorokan mereka dengan teh yang masih mengepul hangat sambil menatap satu sama lain. Seolah ratu adalah y

Setelah kepergian putri Rongle diikuti barisan dayang dan pengawal, Ming Lan menarik nafas lega. Pertaruhan yang dibuatnya berhasil. Berdasarkan aturan yang dibuat badan rumah tangga Kekaisaran, dua kali dalam sebulan sang penguasa harus meluangkan waktu untuk mengunjungi kamar permaisuri. Sepertinya, malam ini salah satu diantaranya. "Berhubung waktu makan malam akan tiba dan kau juga sudah membawa koki, mengapa tidak menunjukkan rasa terima kasih pada wangfei dan juga Zhou lao furen?" Teguran bibinya membawa Ming Lan kembali ke dunia nyata. "Saya dengan senang hati akan melakukannya." Ming Lan menoleh pada Zhou furen yang kebetulan sudah bergabung dengan mereka. "Furen, bisakah saya meminjam dapur anda?" "Dengan senang hati. Aku akan menunjukkan jalannya." Keduanya berjalan beriringan menuju dapur yang letaknya di bagian belakang mansion. Selayaknya keluarga terhormat, kediaman marquis tertata dengan bai

Derit roda kereta yang menggesek jalanan, memecah keheningan malam. Sudah sangat larut ketika pesta di kediaman marquis akhirnya selesai. Ming Lan menyandarkan tubuh penatnya seraya menatap tajam sosok yang mengkeret di pojokan. Dia sedang tak mau berdebat, mertua yang tak tahu situasi, justru memancingnya lebih dulu. "Heran, di mana-mana selalu membuat keributan," ujarnya. "Memangnya apa yang saya lakukan? Saya bahkan tak berani bernafas."Tawa nyonya tua rendah, mengejek terang-terangan. "Omong kosong apa itu? Kalau tak bikin keributan, mana mungkin ada perdebatan di aula tadi. Aku sampai malu melihat orang."Rintik hujan pelan-pelan menerjang atap dan dinding kereta, menimbulkan suara tak beraturan yang menganggu telinga. Bagi Ming Lan, hal ini masih jauh lebih baik dibanding kicau nyonya tua. Cara berpikir mertuanya sungguh di luar nalar, sampai dia tak habis pikir bagaimana bisa seorang ibu yang sangat bodoh bisa melahir