Tous les chapitres de : Chapitre 41 - Chapitre 50

Malam masih menyisakan luka di hati Harsa. Pertengkaran hebat yang terjadi antara dia dan Rajendra meninggalkan sisa-sisa luka yang menganga. Seisi kamar menjadi saksi bisu dari segala kecurigaan, tuduhan, hingga kemarahan yang tumpah ruah seperti banjir di musim badai. Lalu kini, pagi pun datang tanpa kehangatan.Langkah Harsa terdengar perlahan menuruni tangga. Wajahnya sayu, tetapi tetap tenang. Dia masuk ke ruang makan dengan kepala tegak, mencoba bersikap seakan tidak ada apa-apa, seakan hatinya tidak retak semalam. Di meja, Rajendra sudah duduk, ditemani Ny. Ratri yang tengah menyantap buah-buahan.“Pagi,” ujar Harsa pelan, duduk di seberang suaminya tanpa banyak menatap.Rajendra hanya mengangguk. “Pagi.”Hening merayap masuk.Sendok bertemu piring. Gelas kaca bergemerincing saat Ny. Ratri menuangkan teh ke dalam cangkirnya. Harsa mencoba menahan napas panjang saat wanita itu mulai membuka suara.“Kamu masih bisa makan, Harsa?” tanyanya lembut, nyaris seperti perhatian. “Setela

Harsa menatap kosong ke arah jendela kamar yang buram, seperti hatinya. Langit mendung dan hujan turun tanpa suara. Seakan tau, tangisnya tidak lagi perlu terdengar karena luka batin yang ia rasakan sudah terlalu dalam untuk dijelaskan. Tubuhnya memang masih di rumah itu. Namun jiwanya? Sudah berulang kali ingin pergi. Tapi langkahnya tertahan karena satu alasan yang membuatnya tetap bernapas. Bayi kecil dalam rahimnya. Titik terang yang masih tersisa dalam kegelapan hidupnya bersama Rajendra.Wanita itu duduk di pinggir ranjang, menatap koper yang belum jadi dibawa pergi. Malam sebelumnya ia sudah berkemas, ingin meninggalkan semuanya. Ini kedua kalinya, ia ingin pergi. Namun, Rajendra lagi-lagi menahannya. Hanya saja kali ini, bukan dengan pelukan, bukan dengan pengertian, tapi dengan kalimat dingin dan tangan yang mencengkeram lengan tanpa kelembutan."Kalau kamu pergi sekarang, jangan pernah kembali." Kalimat Rajendra terus terngiang. Bukan ancaman, tapi pengusiran secara halus.“

Lampu-lampu kota berkerlip di kejauhan, seperti bintang-bintang yang jatuh terlalu dekat tapi tidak cukup terang untuk menerangi kegelapan yang merambat dalam dada Rajendra. Hening menguap di antara mereka. Tidak ada percakapan, hanya suara detak jam dinding dan desahan lembut AC yang mengisi kekosongan. Anindira duduk perlahan di sisi ranjang, membiarkan gaun tipis yang menempel di tubuhnya membentuk siluet indah di bawah cahaya lampu. Aroma sabun dan vanila yang menyelimuti tubuhnya menguar pelan, menelusup ke udara, lalu menusuk ke dalam kesadaran Rajendra—membuat pikirannya sejenak terlepas dari beban yang menekannya hari-hari terakhir ini. Dia menatap wajah wanita itu. Cantik, hangat dan yang terpenting—tidak memintanya menjelaskan apa pun."Rajen," bisik Anindira, tangannya terangkat, menyentuh pipi pria dari masa lalu itu dengan gerakan sehalus bisikan malam.Rajendra menatap matanya, dalam dan lama, seolah mencoba mencari secercah pengampunan di sana atau mungkin, pelarian. "A

Suara notifikasi email memecah keheningan sore di ruang kerja Rajendra. Dia baru saja menutup berkas laporan ketika layar ponselnya menyala. Sebuah nama yang nyaris membuat jantungnya berhenti berdetak, Harsa. Namun bukan pesan manis, bukan panggilan video, bukan kabar bahagia bahwa wanita itu telah pulang. Hanya sebuah email. Dingin. Formal. Tanpa suara. Dengan tangan bergetar, Rajendra membuka pesan itu.> Kepada Rajendra Admadja,Saya mengajukan permohonan cerai. Dokumen lengkap akan dikirimkan melalui kuasa hukum Saya dalam waktu dekat.Mohon tidak menghubungi Saya lagi.HarsaHanya itu. Tidak ada sapaan. Tidak ada alasan. Tidak ada permintaan maaf. Tidak ada emosi. Rajendra terdiam. Kedua bola matanya membeku menatap huruf-huruf di layar. Dunia seakan hening. Nafasnya tercekat di tenggorokan. Dia membaca ulang. Tiga kali. Lima kali. Tetapi tetap saja, tidak menemukan sesuatu yang bisa ditafsirkan sebagai harap atau bahkan penjelasan.“Anda baik-baik saja?” tanya asistennya yang m

Suasana apartemen malam ini penuh dengan aura ketegangan yang bisa dipotong dengan pisau. Lampu gantung menggantung redup, menyisakan bayangan samar di sudut-sudut ruangan. Rajendra berdiri di dekat rak buku, tubuhnya tegap tapi rahangnya mengeras. Sementara itu, Anindira berdiri di tengah ruangan, dengan mata merah dan suara yang sudah serak karena terlalu sering beradu argumen belakangan ini.“Aku lelah, Rajen!” teriak Anindira, tangannya mengepal. “Aku bukan boneka! Aku punya hati dan kamu terus datang hanya saat butuh pelarian!”Rajendra membuang napas, kepalanya menunduk. “Aku tidak pernah memintamu menggantikan Harsa. Kamu yang menawarkan semuanya.”“Karena aku mencintaimu!” balas Anindira dengan gemetar. “Karena aku pikir kita masih punya kesempatan setelah dia pergi! Tapi kamu hanya pakai aku untuk mengisi kosongmu. Kamu tidak pernah benar-benar di sini.”“Jangan bawa cinta kalau akhirnya kamu yang mainkan.” Rajendra balas dengan dingin, meskipun suaranya lirih. “Aku pun kehil