Lahat ng Kabanata ng Gairah Terlarang: Sahabat Suamiku, Nafsu Rahasiaku: Kabanata 171 - Kabanata 180

Tangisan bayi memecah keheningan di ruang tengah rumah Aurora. Siapa lagi kalau bukan anaknya yang baru lahir sekitar tiga minggu yang lalu. Luke berjalan mondar-mandir, menimang bayi mungil yang terus menangis di gendongannya. Wajahnya tampak lelah, tapi setiap kali si kecil merengek, tangannya sigap menepuk-nepuk pelan punggung bayi itu, mencoba menenangkan. “Shh … Papa di sini, Nak. Tenang, ya?” suaranya lembut, jauh dari sosok dingin yang biasa dikenal orang. Namun ketenangan kecil itu lenyap seketika ketika suara sepatu hak tinggi terdengar menjejak lantai marmer. “Pemandangan yang memalukan.” Luke menoleh. Di ambang pintu berdiri Yura, dengan gaun elegan berwarna merah marun dan raut wajah penuh cibiran. Tatapannya menusuk pada Luke dan bayi di pelukannya. “Sudah jatuh, tertimpa malu pula,” lanjutnya sinis sambil melipat tangan di dada. “Lihat dirimu sekarang. Mantan CEO perusahaan besar, sekarang malah jadi pengasuh bayi.” Luke menunduk sebentar, lalu mendongak tenang,

“Sa, kita punya tetangga baru,” seru Fika begitu melihat Yessa yang masih mematung di ujung halaman. Yessa hanya tersenyum paksa untuk menanggapi keantusiasan temannya itu. Matanya kemudian melirik pada Isandro yang mengulas senyum tipis ke arahnya. Ia lantas mendekat, berdiri di antara mereka berdua dengan sikap setenang mungkin agar Fika tidak curiga. “Oh ... ini Pak dokter pemilik klinik itu, ya?” sapa Yessa sambil tersenyum kecil. Isandro dengan cepat mengangguk, lalu mengulurkan tangan kanannya pada Yessa. “Perkenalkan, saya Isandro. Tetangga baru Anda.” Yessa mengerjap pelan, menatap tangan besar yang terulur ke arahnya itu. “Saya Yessa,” jawabnya tanpa membalas jabatan tangan Isandro. Tapi pria itu tak mau menyerah, ia kembali menatap uluran tangannya agar dibalas. “Yessa!” panggil Fika sambil melirik tajam, mengkode agar Yessa segera membalas uluran tangan Isandro. Akhirnya setelah segala pertimbangan, Yessa akhirnya membalas jabatan tangan itu. “Yessa,” jawabnya seka

“Apa, tante?” seru Ella kaget, setelah mendengar ucapan Shofia barusan padanya. “Isandro hampir satu minggu di perbatasan, belum balik ke sini?” tanyanya penasaran. Shofia yang duduk di hadapannya hanya mengangguk singkat. “Apa tante yang salah, ya? Tante yang minta Papanya suruh cepetin dia jadi direktur rumah sakit.” “Gak, itu bukan salah tante. Emang udah bagusnya usia Isa yang menginjak tiga puluh satu tahun jadi direktur rumah sakit termuda sekarang,” balas Ella sambil tersenyum lebar. “Iya sih, maksud tante ... harusnya tunggu dia sampai sembuh total kali ya? Baru setelah itu dilantik,” ucapnya sedikit menyesal dengan keputusannya sebelumnya. “Sekarang karena posisinya ini, dia jadi harus pergi ke perbatasan. Di sana kampung. Seumur-umur Isandro gak pernah pergi ke kampung,” lanjutnya lirih. Ella menghela napas panjang. “Lagian kenapa bikin kliniknya jauh banget sih, tan?” Bahu Shofia merosot. “Papanya Isa, dia bilang mau membantu warga kecil di perbatasan. Padahal ya, gak

Ruang perawatan siang itu terasa lengang. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar samar di antara aroma antiseptik dan cahaya putih dari lampu. Yessa duduk di kursi dekat meja administrasi, kedua tangannya menggenggam erat pulpen, tapi matanya kosong. Pandangannya tak benar-benar fokus pada berkas-berkas pasien yang tergeletak di hadapannya. Kata-kata Isandro terus bergema di kepalanya—‘Ada syaratnya.’ Nada suaranya terlalu tenang untuk diabaikan, tapi juga terlalu dingin untuk tidak membuat jantungnya berdegup cepat. Syarat? Apa yang dimaksud Isandro dengan, syarat? Yessa menggigit bibir bawahnya. Bayangan wajah pria itu terlintas jelas di benaknya—tatapan tajam, senyum miring yang seolah menyimpan sesuatu. Ia tahu, Isandro tidak akan pernah memberi sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Entah kapan pria itu akan memberitahunya. “Yessa?” panggil salah satu perawat lain, membuatnya tersentak kecil. “Eh? Iya?” “Dari tadi kamu melamun. Ada pasien yang minta kamu ba

“Ah, maaf. Saya ... maksud saya, kalau kamu tidak suka tidak apa-apa. Em, mau saya cari nama lain?” tanya Isandro sedikit kikuk, karena menyarankan namanya mirip dengan nama Yessa. Fika sedikit tercengang, nama ‘Yessy’ yang direkomendasikan oleh Isandro sama sekali tidak buruk. Toh, aslinya kan ini memang anaknya Yessa. Isandro ingin mengumpat dirinya dalam hati, entah kenapa dia keceplosan memberikan nama Yessy karena membayangkan itu anak Yessa dan dirinya. Dia hampir gila rasanya. “Fika, mungkin ... panggil saja namanya Eci? Panggilan saja, kan? Kalau ayahnya suatu saat kembali, kamu bisa menggunakan nama pemberian ayah kandungnya.” Kata Isandro lagi. Fika langsung tersenyum lebar. “Gak, dok. Udah bagus kok. Yessy, terus panggilannya Eci, ya?” “Tapi ...,” Isandro menghela napas ringan, merasa tak enak. “Namanya sedikit mirip nama teman kamu, Yessa.” “Nggak apa-apa, ini kan juga anaknya Yessa. Kami berbagi. Anakku, anak Yessa juga, dan begitu juga sebaliknya,” balas Fika penu