Memiliki suami narsistik yang gemar mabuk dan kerap melakukan KDRT adalah neraka tak berujung bagi Yessa. Ia bertahan bukan untuk dirinya, melainkan demi sang ibu yang sudah memantapkan pilihannya pada Kaveer sebagai menantu. Tekanan semakin mencekik ketika dua keluarga terus menuntutnya hamil, sementara sudah dua tahun berlalu pernikahan, tak ada secuil janin di rahimnya. Di tengah kehampaan itu, hadir Isandro—sahabat Kaveer yang ternyata adalah senior Yessa di rumah sakit. Isandro menyimpan tatapan penuh rahasia—tatapan yang menelanjangi Yessa tanpa sentuhan, membakar darahnya setiap kali mereka berduaan. Yessa mencoba menjaga jarak, namun Isandro tak pernah mundur. Semakin ia menolak, semakin Isandro mendekat—mencuri waktu, perhatian, hingga akhirnya mencuri tubuhnya. Di antara dinginnya pelukan suami, Yessa menemukan panas yang memabukkan di pelukan lelaki lain. Sebuah rahasia yang menjadi candu—dan jika terbongkar, akan menghancurkan segalanya.
Voir plus“Bu, saya mau beli tomatnya sepuluh ribu, ya?”
“Iya, sebentar ya, Mbak.” Yessa lantas merogoh saku celananya untuk mengambil uang dari dompet, bersamaan dengan itu ponsel di dalam sakunya berdering panggilan masuk dari sang suami—Kaveer. Ia cepat-cepat meraih ponselnya dan menggeser ikon hijau dilayar, lalu menempelkan benda pipih itu ke samping telinga. Suara keras sang suami terdengar di seberang sana. “KEMEJA PUTIH AKU MANA GOBLOK?!” Yessa refleks menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu mengusap telinganya pelan sebelum kembali menempelkan ponselnya lagi ke telinga. “Mas, ada apa?” tanya Yessa dengan suara lembutnya yang berbisik pelan, sambil perlahan menjauh dari kedai tomat yang dia singgah tadi. “Ada apa? ADA APA KAMU BILANG?!” bentak Kaveer lagi membuat jantung Yessa berpacu cepat. “Kan kamu yang nyuruh aku kerja terus. Sekarang giliran aku mau cari kerja, kamu gak siapin kemeja putihnya. Emang istri kurang ajar ya kamu!” hardiknya dengan tajam. “Mas, aku udah siapin. Udah aku gantung di lemari, dan udah disetrika juga. Coba kamu cari dulu, jangan langsung marah-marah kayak gini,” suaranya terdengar getir meski dia mencoba tetap tenang. “Gak ada sialan, gak ada! Pulang kamu sekarang, cari kemejanya.” Yessa memejamkan matanya sejenak, mencoba tetap tenang dan tak terpancing. Ia memegangi dadanya yang terasa sesak, lalu menghela napas panjang. “Mas, coba kamu cari pelan-pelan di lemari ada udah aku simp—“ “AKU BILANG PULANG SEKARANG!” bentak Kaveer lagi, kali ini nadanya lebih tinggi dari sebelumnya membuat Yessa hampir menjatuhkan ponselnya. “Kalau kamu gak pulang sekarang, aku acak-acak seisi rumah.” “Mas, jangan!” seru Yessa. Nada bicaranya naik, menahan amarah. “Oke, aku pulang sekarang.” “Jangan lama-lama! Atau aku akan kasih tahu ke Mama kamu, kalau kamu gak becus jadi istri!” Panggilan diputus secara sepihak. Yessa segera berlari meninggalkan pasar. Padahal dia baru saja tiba, bahkan tomat yang sudah disiapkan penjual tadi dia biarkan karena ingin segera sampai ke rumahnya. Langkahnya begitu tergesa sampai dia memilih melewati jalan pintas—yakni melewati bangunan proyek dimana sudah banyak tukang yang mulai bekerja. Sampai ada salah satu tukang yang meneriakinya. “Hei, jangan lewat di sini, banyak orang kerja.” “Jangan lari, pelan-pelan nanti nabrak orang!” Namun Yessa seolah tuli, tak mendengarkan ucapan para tukang tersebut. Dia terus berlari agar lebih cepat sampai ke rumahnya ketimbang melewati jalan yang biasanya dia lewati. Sampai ... “Awas, ada paku!” “AKH!” Terlambat sudah, Yessa yang tak memperhatikan jalan di hadapannya tak sengaja menginjak paku yang sudah agak karatan. Ia menutup mulutnya menahan rasa sakit dan perih yang menjalar ke pembuluh nadinya. “Nah, kan, apa saya bilang ... jangan lari. Lihat sekarang, nginjek paku, kan!” ujar salah satu tukang yang segera menghampirinya untuk membantu. Namun Yessa seperti wonder woman, meski darah bercucuran mengalir dari telapak kakinya—dia tak menangis ataupun mengeluh sakit. Bukan karena malu, namun rasa sakit ini tak sebanding dengan perlakuan dingin suaminya. “Biar saya bantu, neng.” “Gak usah, Pak. Makasih,” sahut Yessa sambil mengangkat kakinya dan melepaskan paku yang menancap di telapak kakinya itu. Darah mengalir lebih banyak dari sebelumnya, para tukang yang melihat sampai meringis. Tapi Yessa? Dia terlihat biasa saja. Karena pekerjaannya sebagai perawat suatu hal yang biasa baginya melihat darah. “Mau saya antar pulang, neng?” tawar salah satu tukang. “Nggak, Pak. Makasih atas tawarannya. Tapi saya masih bisa jalan, kok,” tolak Yessa halus. “Aduh neng, jangan sok kuat. Biar saya antar ke rumah naik motor, mau?” Yessa menggeleng pelan, masih enggan menerima bantuan sampai para tukang menyerah. Ia kembali berjalan dengan langkah terseok-seok melewati pasir yang berserakan di sekitar bangunan proyek tersebut. Begitu tiba di rumahnya, dia segera mengambil kain dari jemuran di depan rumahnya untuk mengikat luka di kakinya agar darahnya tak semakin mengalir—meski sudah cukup telat. “Mas ....” Saat masuk ke dalam rumah, dia mendengar suara barang dilempar ke lantai dari arah kamarnya. Buru-buru Yessa membawa kakinya melangkah menuju kamar, dan mendapatkan suaminya sudah mengacak kamar. “Mas, ya ampun!” seru Yessa melihat kamarnya sudah seperti kapal pecah. “Jelas-jelas kemeja putihnya masih tergantung di sana. Kamu tuh sebenernya nyari apa sih, Mas?” Kaveer mengalihkan tatapannya pada sang istri, tajam dan menusuk. Ia kemudian melangkah mendekat dan langsung memojokkan tubuh Yessa ke dinding, sementara tangan besarnya mencengkram rahang kecil istrinya. Yessa menahan tangan sang suami agar tidak sampai mencekiknya, “Lepas, Mas!” “Aku heran sama kamu, ya? Selalu maksa aku kerja sampe ngadu ke Mama aku. Kenapa? Kamu takut aku numpang hidup sama kamu? Kamu takut aku habisin uang hasil kerja kamu, iya?” seru Kaveer dengan nada tajam. Yessa tak menjawab, sebaliknya cengkraman di rahangnya semakin kuat membuatnya sampai kesulitan membuka mulut. Sementara tangannya masih mencoba melepaskan tangan sang suami. “JAWAB YESSA!!!” bentak Kaveer, entah sudah yang keberapa kalinya. “Apa kamu lupa, awal kita menikah semua kebutuhan kamu aku yang tanggung. Setelah dapet pekerjaan, kamu sok jadi dewa begitu? Huh? Sekarang gantian, kamu yang biayain hidup aku.” “S-sakit, Mas!” lirih Yessa berusaha membuka suara. Tapi Kaveer tak peduli, ia terus mencengkram kuat sampai pada akhirnya dia melepaskannya tanpa alasan. “Aku gak mau kerja, gak akan pernah kerja. Cari uang? Itu tugas kamu. Gantian kamu yang harus biayain aku mulai sekarang. Aku bosan kerja, aku capek kerja.” Setelah mengatakan itu, Kaveer memilih pergi meninggalkan kamar. Meninggalkan Yessa seorang diri dengan luka di kaki, ditambah sakit cengkraman di rahangnya—dan lebih menyakitkan sakit luka di hatinya. Brak! Suara gebrakan terdengar dari luar, pintu rumah dibanting dengan sangat keras oleh Kaveer. Yessa tersentak, bersamaan dengan itu—air matanya luruh membasahi kedua buah pipinya. Tubuhnya melorot ke lantai dingin kamar yang sudah berantakan seperti kapal pecah. Menangis dalam diam, tak bersuara—namun rasa sakitnya tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Yessa ingin menyerah, ingin bercerai—tapi Kaveer sama sekali tidak mengindahkannya dan yang dia dapatkan hanyalah pukulan. KDRT kerap dia dapatkan, dan dia sudah pernah mengadu pada sang ibu. Tapi jawaban ibunya, “Suami gak akan marah kalau istrinya berguna, kerja yang becus, melayani dia dengan baik. Kalau Kaveer sampai marah segitunya sama kamu, ya wajar Yes—Mama tahu kelakukan kamu dari kecil, kan kamu emang pemales dan keras kepala.” Bahkan ibu kandungnya sendiri sama sekali tidak membelanya meski dia memperlihatkan luka di tubuhnya. Entah kepada siapa dia minta tolong. Bahkan Tuhan sekalipun tidak pernah mengabulkan doanya. Padahal dia selalu membuatkan makanan untuk suaminya, mencuci pakaian, membersihkan rumah. Itu dia lakukan sambil bekerja sebagai perawat di salah satu rumah sakit. Tapi tetap saja salah dimata Kaveer. “Apa salah dan dosaku, Tuhan?” suaranya tercekat di tenggorokan.Sore itu saat perjalanan pulang ke rumah dengan naik ojek online, Yessa terus memikirkan dan membayangkan yang dilakukan Isandro padanya pagi tadi. Bahkan ia tak bisa fokus bekerja setelah kejadian itu.Bayangan Isandro yang mendekat, wajahnya hanya sejengkal dari Yessa. Suaranya turun menjadi bisikan hangat yang membelai telinga. Lalu bisikannya yang terdengar tegas namun tetap sensual.“Wanita itu … rapuh, Yessa. Mereka tidak diciptakan untuk menahan sakit, apalagi dari orang yang katanya mencintai. Kamu pantas dipeluk, dijaga, dimanjakan, bukan disakiti.”Tangannya mengusap pelan pipi Yessa, jemarinya menelusuri rahang kecil wanita itu hingga ke lehernya.“Kamu tahu kenapa saya peduli sama kamu? Karena saya bisa lihat di mata kamu, kalau kamu sudah terlalu lama menahan diri. Kamu cuma butuh seseorang yang mengerti kamu. yang tahu cara membuat kamu lupa semua luka itu. Dan saya, saya bisa jadi orang itu, Yessa. Kalau kamu mau.”Yessa menggigit bibirnya kuat, tatapannya kosong ke jal
“Dok …?” lirih Yessa, suaranya bergetar.“Hm?” sahut Isandro singkat, matanya tetap menatapnya dalam.“I-ini ….” Yessa menelan ludah, menatap pria di hadapannya yang berdiri terlalu dekat. Sangat dekat, bahkan tak ada jarak sedikit pun.Bahkan saat tadi Isandro mencium sudut bibirnya, ada perasaan aneh menjalar di seluruh tubuhnya—campuran antara takut, gugup, dan sesuatu yang selama ini tak pernah ia dapatkan dari Kaveer.Isandro tidak menjawab, hanya mendekatkan wajahnya lagi. Kali ini bibirnya benar-benar menyapu bibir Yessa, menuntut, menguji. Jemarinya menyusuri lengan Yessa, turun ke pinggang, lalu menarik tubuh itu hingga menempel rapat padanya.Ciuman itu lambat namun dalam, membuat napas Yessa tersengal. Pikirannya berteriak ini salah, tapi sentuhan lembut di punggungnya membuatnya lemah, tak kuasa menolak. Kaveer tidak pernah mencium atau menyentuhnya seperti ini—tidak pernah selembut ini.Yessa bahkan tidak ingat kapan terakhir kali dia diperlakukan selembut dan seintens in
Yessa membuka matanya, lalu refleks mendorong Isandro dengan kuat. Kali ini dia berhasil membuat pria itu mundur beberapa langkah ke belakang. Tangannya terangkat menutup mulutnya.Isandro melirik tumbler hitam di tangan Yessa lalu merampasnya dengan cepat, membuat Yessa tak sempat menahannya.“Dok!” seru Yessa hendak merebut tumblernya.Namun pria itu mengangkatnya tinggi, membuat Yessa kesulitan meraihnya.“Sejak kapan, kamu minum alkohol?” tanya Isandro dengan tatapan dingin dan menusuk.Yessa menelan ludahnya kasar, “S-saya ....” ia menggigit bibirnya kuat, tak bisa menjawab yang sebenarnya.“Apa masalah rumah tangga kamu sangat berat sampai kamu harus minum alkohol, bahkan dengan santainya minum di rumah sakit, Yessa?” suara Isandro naik satu oktaf, membuat Yessa tersentak dan tubuhnya gemetar.Isandro membuka tutup tumbler itu—seolah ingin memastikan benar atau tidaknya. Padahal dia sudah yakin kalau Yessa memang minum alkohol, sebab dia tahu pasti aromanya.Tangan Yessa terkepa
Bisik-bisik pagi itu memenuhi koridor Rumah Sakit Gloria Medika. Para perawat, baik laki-laki maupun perempuan, sibuk membicarakan kabar terbaru—anak direktur rumah sakit itu dikabarkan telah kembali ke Indonesia dan akan aktif bertugas di rumah sakit keluarganya. Namanya Isandro San Atticus. Sosok yang dikenal tegas, kompeten, ambisius, dan sedingin es. Tatapan matanya tajam, seolah mampu menelanjangi siapa pun yang berani menatap balik. Pria itu bukan hanya dokter bedah saraf, tapi juga pewaris tunggal Rumah Sakit Gloria Medika—posisi yang membuat namanya dibicarakan lebih banyak daripada pasien hari itu, karena akan menjadi penanggung jawab di masa yang akan mendatang. “Kenapa gak menetap aja sih jadi dokter di Singapura, kenapa masih balik ke sini lagi?” keluh salah satu perawat yang dulunya sudah pernah kena tegur Isandro karena datang terlambat. “Bener, mana katanya lebih galak dari bapaknya,” yang lain menyahut sambil bergidik ngeri membayangkan Isandro ikut andil mulai
“Bu, saya mau beli tomatnya sepuluh ribu, ya?”“Iya, sebentar ya, Mbak.”Yessa lantas merogoh saku celananya untuk mengambil uang dari dompet, bersamaan dengan itu ponsel di dalam sakunya berdering panggilan masuk dari sang suami—Kaveer.Ia cepat-cepat meraih ponselnya dan menggeser ikon hijau dilayar, lalu menempelkan benda pipih itu ke samping telinga. Suara keras sang suami terdengar di seberang sana.“KEMEJA PUTIH AKU MANA GOBLOK?!”Yessa refleks menjauhkan ponselnya dari telinganya, lalu mengusap telinganya pelan sebelum kembali menempelkan ponselnya lagi ke telinga.“Mas, ada apa?” tanya Yessa dengan suara lembutnya yang berbisik pelan, sambil perlahan menjauh dari kedai tomat yang dia singgah tadi.“Ada apa? ADA APA KAMU BILANG?!” bentak Kaveer lagi membuat jantung Yessa berpacu cepat. “Kan kamu yang nyuruh aku kerja terus. Sekarang giliran aku mau cari kerja, kamu gak siapin kemeja putihnya. Emang istri kurang ajar ya kamu!” hardiknya dengan tajam.“Mas, aku udah siapin. Udah
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires