Semua Bab Jangan Pegang, Coach: Bab 61 - Bab 70

Selasa Malam – Jam 10 – KantorDua puluh empat jam setelah “honest conversation” mereka, Mey mulai sadar kalau mengakui attraction itu ternyata nggak sesimple yang dia kira.“Financial projection slide ini perlu adjustment,” kata Rafael, geser laptopnya ke arah Mey. “ROI-nya terlalu optimis.”“Realistisnya berapa?”“120% instead of 150%. Lebih konservatif tapi believable.”Mey condong ke layar, bahunya sempat nyenggol lengan Rafael. Sentuhan kecil yang dulu bikin canggung, sekarang udah nggak bisa dihindari. Bukan lagi denial, tapi keberadaan yang mereka sama-sama akui. Ironisnya, itu malah bikin makin berat.“Oke, adjustment done,” kata Mey. “Timeline implementation?”“Phase 1 tetap 3 bulan. Phase 2 kita panjangin jadi 8 bulan.”“Alasannya?”“Market research butuh waktu. Consumer behavior nggak bisa dipaksain buru-buru.”Percakapan mereka tetap profesional, fokus ke strategi. Tapi di bawah sem

Kantor yang biasanya dingin dan steril malam itu terasa lain. Lampu meja jadi satu-satunya sumber cahaya, bikin ruangan kebanjiran bayangan keemasan yang lembut.Mey masih berdiri dekat Rafael setelah ciuman pertama itu. Napasnya belum stabil, jantungnya berdegup kencang sampai rasanya seluruh tubuhnya ikut bergetar.“Rafael…” suaranya lirih, setengah masih ragu, setengah menyerah pada tarikan kuat yang udah lama dipendam.Dia nggak jawab. Tangannya masih di tangan Mey, lalu perlahan naik ke lengan, ke bahu, sampai akhirnya berhenti di rahang. Tatapannya intens, seakan minta izin sekali lagi.Mey nggak mundur. Itu sendiri udah jadi jawaban.Rafael maju lagi, kali ini ciumannya lebih dalam. Meja kerja yang penuh kertas dan laptop seolah hilang dari radar mereka. Dunia mengerucut jadi dua orang yang akhirnya berhenti pura-pura.Mey melingkarkan tangannya ke leher Rafael, tubuhnya menempel erat. Sensasi familiar tapi juga baru, kare

Kamis Sore - 4 PM - Flat MeyMey nggak bisa fokus sama sekali. Udah coba ngerjain proyek lain, baca buku, beberes flat, semuanya mentok.Pikirannya cuma muter di situ-situ aja:*Sekarang Rafael lagi ngomong apa sama Priya?Gimana reaksi dia?Ini bakal ngehancurin kerja sama profesional kita nggak?Atau malah ngehancurin kita?Semalem itu salah… atau justru keputusan yang akhirnya harus diambil?*HP bunyi jam 4 sore. Nomor internasional yang nggak dikenal.“Hello?”“Mey? This is Priya.”Jantung Mey langsung drop.“Priya. Hi.”“I think we need to talk.”“Of course. Did Rafael..”“Yes. He told me. Everything.”*Everything? Everything itu sejauh apa?*“I’m sorry, Priya. I know this is… complicated. And painful.”“It is. But I’m not calling to blame you.”Mey kaget.“You’re not?”“I’m calling because I need to understand somet

Sabtu Pagi – 9 AM – Flat RafaelMey membuka mata karena cahaya matahari London yang masuk dari sela gorden. Butuh beberapa detik buat sadar, ini bukan kamarnya. Tempat tidurnya juga bukan. Tapi ada lengan Rafael melingkar di pinggangnya, hangat dan berat dari belakang.Right. This is real now.“Morning,” suara Rafael serak, napasnya terasa di tengkuknya.“Morning.” Mey pelan berbalik dalam pelukannya. Rambut Rafael berantakan, matanya masih setengah tertutup, tapi senyumnya tulus.“Tidur enak?” tanya Rafael."Mmmm" angguk Mey. "Raf..""Mmmm?" “Ini rasanya kayak déjà vu.”“Déjà vu yang enak atau yang bikin was-was?”"Dua-duanya. Aku keinget sesuatu." jawab MeyRafael langsung buka mata, serius. “Keinget apa?"“Sebelum kita makin jauh, mungkin kita perlu bahas apa yang sebenarnya terjadi dulu waktu itu.”Dia duduk agak tegak, bersandar di headboard. “Yang mana? Bagian

Senin Pagi - 8:30 AM - Kantor Bersama LondonMey sengaja datang lima menit lebih awal dari Rafael. Dia butuh waktu buat settle dulu sebelum ngetes gimana dinamika baru mereka di kantor.Kopi udah ready, laptop nyala, dokumen Garuda follow-up rapi di meja. Mode kerja: on.Rafael masuk dengan kemeja navy andalannya. Langkahnya percaya diri, tapi tatapannya lain—hangat, ada familiar vibe yang cuma mereka berdua ngerti.“Pagi,” katanya, suaranya biasa, tapi ada sesuatu di baliknya.“Pagi. Kopi udah siap.”“Thanks.”Interaksi kelihatan profesional, tapi di bawah permukaan ada subtext yang cuma mereka rasa. Persis kayak yang mereka omongin weekend kemarin.Rafael duduk, nyalain laptop. Tapi beberapa kali nyuri pandang ke Mey, kasih senyum kecil yang jelas-jelas bukan senyum standar kantor.“Agenda hari ini?” dia balik ke mode bisnis.“Refinement Garuda presentation, call sama Singapore project jam du