جميع فصول : الفصل -الفصل 200

Bianca pulang kuliah lebih awal karena ada janji dengan kepala sekolah Blue dan Grey. Untungnya ia bukan lagi mahasiswa beasiswa yang absennya pun harus sempurna.Kala Geo menjemput, mobil langsung menuju sekolah di mana Blue dan Grey satu minggu ini sudah melakukan trial class. Bianca mengamati lingkungan sekolah kala mereka mulai memasuki gerbang.Pohon-pohon besar berderet rapi di sepanjang jalan masuk, sementara anak-anak berseragam cerah berlarian di halaman hijau luas. Bianca memandang sekeliling dengan mata berbinar. Tempat ini tampak sempurna — aman, modern, dan penuh warna.“Kita turun di sini.” Geo menunjuk pintu utama sekolah.Geo berjalan di samping Bianca dengan satu tangan menggenggam tangan Bianca dan tangan lainnya masuk ke dalam saku celana. Penampilannya santai namun elegan. Kemeja putih dan celana cream. Sementara Bianca mengenakan rok span selutut dan blus feminim. Perhiasan yang ia gunakan hanya anting-anting berlian pemberian Marissa, cincin kawin dan gelang ini

“Blue? Kenapa keluyuran malam-malam?” Bianca mengatasi keterkejutannya dengan menghampiri sang putra.Blue yang memakai piyama dan mata setengah terpejam menatap kedua orang tuanya. “Aku baru ingat sesuatu.”“Ya ampun. Kan, bisa besok pagi kamu bilang ke Mommy.”Kepala Blue menggeleng. “Blue maunya bilang sekarang. Tadi aku ke kamar utama, Mommy dan Daddy tidak ada.”“Ya sudah. Ayo kita kembali ke kamarmu. Ngobrol di sana saja.” Geo meraih tangan Blue dan berjalan bersama ke kamar anak.Di ranjang, Geo menyelimuti Blue. Bianca duduk di sisi kiri ranjang yang tidak pernah ditiduri Blue.“Ada apa?” Geo bertanya.“Besok, tolong bilang sama guru di sekolah agar tidak memisahkan aku dan Blue. Kasihan Grey.”Geo dan Bianca saling bertatapan mendengar permintaan Blue. Bahkan wajah putra mereka seperti memohon agar keinginannya dikabulkan.“Memangnya siapa yang bilang kalian akan dipisahkan?” Geo mengusap kepala Blue.“Nggak ada. Tapi, aku ngerasa kayanya kami akan dipisah kelas. Aku harus ng

Esok paginya, Geo dan Atrick sudah memiliki rencana. Mereka akan mengajak Blue dan Grey berkegiatan di tempat berbeda. Blue akan ikut Geo rapat sedangkan Grey akan ikut bermain golf bersama Atrick. Suasana pagi itu tampak seperti keluarga ideal dalam iklan. Namun hari ini sedikit berbeda — karena dua bocah kembar keluarga Willson sedang bersiap berkegiatan masing-masing pertama mereka.“Grey, topimu mana?” seru Marissa dari balik meja makan. Wanita elegan itu tampak lebih sibuk dari biasanya, memegang satu tangan ponsel dan satu tangan menyodorkan sarung tangan golf kecil ke arah cucunya.Grey yang berlarian di antara kursi menjawab dengan napas terengah, “Ada di tas, Grandma! Aku nggak lupa!” Wajahnya berseri, mengenakan polo putih dan celana golf krem. Ia berdiri tegap dengan gaya seperti pemain profesional yang siap ke lapangan.Marissa tersenyum puas. “Nah, begitu dong. Pemain golf sejati harus rapi dan disiplin. Jangan seperti kakekmu yang dulu sering terlambat latihan,” godanya

Setelah mengantar Geo ke mobilnya, Josh kembali ke ruangan. Ia masih menatap layar laptop untuk membuat catatan rapat barusan.Ia baru hendak mematikan komputer ketika ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Seno, kepala pengawal pribadi yang ditugaskan menjaga Bianca dan anak-anak. “Tuan Josh, kami perlu bicara sebentar. Kami punya laporan terbaru.”Alis Josh terangkat. Ia segera membalas.“Aku masih di kantor. Datang saja ke ruangku sekarang.”Tak lama kemudian, dua pengawal masuk dengan langkah mantap namun wajah serius. Seno membawa map hitam dan sebuah tablet.“Laporan pengawasan hari ini, Tuan,” ucapnya pendek. “Semua rute keluarga Willson aman. Tidak ada kendaraan yang mencurigakan mengikuti mereka.”Josh mengangguk. “Baik. Ada hal lain?”Seno saling pandang dengan bawahannya, lalu menggeser tablet itu ke arah Josh. Di layar, tampak foto hasil tangkapan kamera keamanan di area sekitar kampus tempat Bianca kuliah. Gambar itu diambil dari jarak agak jauh — menampilkan seoran

“Bianca… akh lepas!Bianca membalik tubuh. Di depannya, Amara sedang meronta dipegangi dua pengawal.“Bianca, aku hanya mau bicara denganmu. Tolong.” Amara memohon, bahkan dengan air mata menetes di pipi.Naluri kemanusiaan Bianca terpanggil. Tangannya memberi kode pada pengawal untuk melepaskan Amara. Namun, pengawal menggeleng.“Bianca…. “ Amara kembali merintih.Bianca menatapnya dengan kewaspadaan yang dalam. Ia mengangguk perlahan, “Baiklah, tapi kita bicara di sini saja. Tidak di tempat tertutup.”Para pengawal menegaskan posisi mereka sedikit menjauh namun tetap awas, memastikan Amara tidak berbuat macam-macam.Amara menarik napas gemetar, kedua tangannya bergetar saat mencoba mengusap air mata. “Aku… aku hancur, Bianca,” ujarnya dengan suara serak. “Mansionku... hampir roboh. Semua pelayan pergi. Aku tak punya apa-apa lagi. Bahkan untuk makan saja aku harus menjual perhiasan yang tersisa.”Bianca diam, membiarkan Amara meluapkan isi hatinya. Ia mengamati penampilan Amara yang