LOGIN“Kenapa nggak menginap saja?” Geo memandang heran Taylor yang bersikeras pulang malam-malam.“Besok aku ke sini lagi kok.”“Justru itu! Ngapain bolak-balik, sih?” Geo mengerutkan kening.“Umm... ada sesuatu yang harus aku lakukan di perkebunan.” Taylor beralasan.Tidak mungkin kan ia bilang kalau ia memaksa pulang malam-malam karena sudah berjanji membawakan tanaman baru untuk Alika. Geo pasti akan menahannya.“Tapi ingat, besok sore, kita ada rapat.”“Iya, aku ingat.” Taylor mengangguk. “Aku berangkat sekarang, ya.”“Tunggu!” Geo menahan langkah Taylor.Lelaki itu bicara dengan ponselnya. Lalu, berkata pada ada Taylor. “Pakai supirku. Biar dia menginap di perkebunan dan besok mengantarmu kembali ke sini.”“Hah? Nggak usah.... “Taylor langsung terdiam saat melihat Geo menatapnya tajam tanda lelaki itu tidak mau dibantah.“Baiklah.” Taylor mengangguk. Dalam hati mendesah bahwa artinya besok Geo akan tau ia membawa banyak tanaman di dalam mobil.“Pergi lah.” Tanpa menunggu balasan Tayl
Akhirnya, Alika sudah diperbolehkan pulang. Meski begitu, anak perempuan manis itu belum bisa banyak beraktifitas. Kepalanya masih diperban dan tangan serta kakinya masih luka baret yang belum kering.Diam-diam, Taylor sering mengunjungi rumah sakit. Ia banyak membantu Dini menjaga Alika. Terutama jika Dini harus mengajar.Seperti hari ini, Taylor sudah datang pagi-pagi sekali untuk menggantikan Dini menemani Alika. Dini sudah siap dengan pakaian kerja.“Sebenarnya kamu nggak usah repot-repot, Taylor. Aku bisa menyewa jasa pengasuh anak dari yayasan terpercaya."“Nggak papa. Aku memang mau temani Alika kok.”“Maaf, ya. Jadi merepotkan. Jatah cuti mengajarku sudah habis.” Dini mengembuskan napas dengan ekspresi sedih.“Sudah kubilang, jangan sungkan begitu.” Taylor mendorong pelan tubuh Dini untuk segera keluar. “Pergi lah sekarang. Jangan sampai terkena macet dan terlambat.”Sejak hari kecelakaan itu dan ia mendonorkan darahnya apa Alika, Taylor tak lagi bisa bersikap acuh.Setiap kal
“Maaf.” Dini mengurai pelukan dan menunduk santun pada Bianca. “Sepertinya saya terlalu emosional.”“Itu wajar.” Bianca mengambilkan selembar tisu untuk Dini.Alika masih tertidur pulas dengan boneka kelinci pemberian Bianca di pelukannya. Dini mengamatinya dengn senyum lembut di wajah.“Akhirnya saya bisa duduk tenang hari ini,” ujar Dini sambil tersenyum lelah. “Tiga hari terakhir benar-benar terasa panjang.”“Anak-anak memang bisa membuat dunia kita jungkir balik,” sahutnya ringan. “Tapi… mereka juga alasan kita kuat.”Dini tertawa kecil. “Betul sekali. Alika itu... seperti matahari buat saya. Dia suka bangun pagi, lalu langsung ke dapur minta sarapan pancake — padahal saya cuma bisa masak seadanya.”Nada suaranya penuh kasih saat bercerita. “Dia suka warna ungu, suka menggambar bunga matahari, dan... kalau hujan, selalu nyanyi lagu yang sama. ‘Rain, rain, go away.’”Bianca tersenyum, menatap Alika dengan penuh lembut. “Lucu sekali. Blue juga suka menggambar, tapi lebih sering robo
“Kamu boleh tidur di sini.” Bianca berkata setelah keluar dari kamar mandi.Geo tersenyum senang. “Oke.”“Jangan senang dulu. Aku masih kesal. Kamu boleh di sini karena siapa tau aku membutuhkan bantuan.” Bianca merengut dan naik ke ranjang.“Mengerti.” Geo mengangguk.Bianca tidur memunggungi Geo. Meski istrinya masih dingin, Geo tetap bersyukur. Ia tidur menghadap Bianca.“Sayang, mau aku pijetin pinggangnya?”Bianca tidak menjawab, tetapi Geo melihat kepala Bianca mengangguk. Lelaki itu bergeser mendekati tubuh sang istri.Geo mulai memijat pinggang Bianca. “Segini cukup atau perlu lebih keras lagi?”“Cukup.”“Oke.”Saat Geo melihat Bianca sudah kembali tidur pulas, ia baru berhenti memijat. Lengannya melingkari pinggang dan mengelus-elus perut sang istri. Bianca biasanya merasa mulas saat menstruasi dan ia mencoba menenangkan bagian tersebut.Akhirnya Geo merasa ngantuk juga. Ia tertidur sambil memeluk tubuh Bianca dan berharap besok pagi sang istri sudah tidak marah lagi.Esoknya
Geo keluar dengan wajah memberengut. Persis anak kecil yang baru kena omel ibunya. Di depan pintu kamar, ia terpaku sejenak, bingung mau ke mana.Ke kamar Blue dan Grey tidak mungkin. Dua anak jenius itu pasti bertanya dan bisa langsung menyimpulkan bahwa orang tuanya bertengkar. Dan yang pasti, si kembar sulung akan membela mommy-nya.Kamar Sky dan Luna juga tidak bisa karena setiap dua jam sekali, akan ada suster yang masuk dan memeriksa keadaan Sky dan Luna.Kamar tamu? Geo menggeleng. Pelayan akan mengadu ke Mommy Marissa bahwa ia minta disiapkan kamar. Sudah pasti, Mommy dan Daddy jadi tau bahwa Bianca tidak mau tidur dengannya malam ini.Akhirnya Geo melangkah ke ruang kerja. Paling tidak ada sofa di sana. Ia akan mengunci pintu seolah sedang bekerja lembur.“Kak Geo?”Geo berhenti. Taylor mendekatinya dengan wajah bingung. “Mau ke mana, Kak?”“Mau tidur di ruang kerja.” Geo membalas lemah.Taylor menaikkan alis. “Kakakku diusir dari kamar sendiri?” tanyanya sambil menahan tawa.
Geo sampai menyewa suster pribadi untuk membantu Dini. Paling tidak ada yang menemani wanita yang terlihat masih shock itu. Juga agar Geo dapat membawa pulang Taylor.“Aku di sini saja, Kak.” Taylor masih tampak enggan pergi.“Pulang!” Geo menyahut tegas. “Kita bicarakan di mansion.”Akhirnya Taylor berpamitan pada Dini. Dengan langkah berat, lelaki itu mengikuti Geo yang mempercepat langkah ke mobil.Keluarga Willson duduk melingkar di ruang keluarga, suasananya menegang meski lampu chandelier memancarkan cahaya lembut. Taylor duduk di hadapan mereka, masih dengan pakaian kencan yang agak berantakan.“Aku kebetulan sedang jalan-jalan setelah makan malam dengan Denita. Ada kerumunan orang di pinggir jalan, pikirku cuma keributan biasa. Tapi waktu dengar ada anak kecil jadi korban tabrak lari, aku ikut lari ke sana. Baru sadar kalau itu Alika setelah melihat wajahnya.”“Dan kamu langsung bantu bawa ke rumah sakit?” tanya Marissa.Taylor mengangguk. “Ya. Dokternya bilang dia kehilangan







