Suami Pengganti dari Toko Online のすべてのチャプター: チャプター 81 - チャプター 90

Cahaya pagi menyelinap melalui tirai jendela, menerangi wajah Ian yang pucat dan tak berdaya di atas bantal putih. Monitor di samping tempat tidurnya memancarkan grafik dan angka yang stabil, sebuah kenyataan yang bertolak belakang dengan kekacauan dalam diri Venus.Duduk di samping ranjang, Venus menatap kosong ke arah jendela. Di tangannya, ponselnya terasa berat. Dia baru saja mencoba menghubungi Dokter Argus untuk kesekian kalinya, dan untuk kesekian kalinya pula, yang dia dengar hanyalah nada sambung yang monoton sebelum akhirnya diarahkan ke kotak suara.Tut. Tut. Tut.“Ada apa ini?” gumamnya, suara parau oleh kelelahan dan kekhawatiran. “Sejak dia mengirim paket itu, aku belum mendapat kabar apa pun darinya.” Firasat buruknya semakin menjadi. “Apa dia dalam bahaya?”Pandangannya beralih ke Ian yang terbaring tak berdaya. Dengan Ian dalam kondisi seperti itu, tidak bisa bicara, bahkan belum sadarkan diri, Venus kehilangan

Cahaya jingga dari senja yang turun perlahan menyapu ruangan, mengecat wajah Ian yang pucat dengan warna hangat yang menyejukkan mata. Venus bersandar di sisi brankar, kepalanya tertunduk lesu di dekat tangan Ian yang dingin. Bunyi bip bip dari monitor yang stabil menjadi lagu pengantar monoton bagi kekacauan dalam pikirannya.“Sebenarnya apa yang terjadi sama kamu di luar sana, Ian?” bisiknya.Suaranya serak berpadu dengan bunyi deru mesin oksigen. Jarinya dengan lembut menyentuh punggung tangan Ian yang terpasang selang infus. “Apa aku membawamu dalam bahaya?”Pertanyaan itu menggantung, tanpa jawaban. Ian hanya terbaring, seperti sebuah patung yang rapuh dari pria yang biasanya begitu kuat dan penuh misteri.Pikirannya kembali pada Benny. Pada tawarannya yang menjijikkan. Pada angka lima ratus miliar yang mustahil. Dan pada pilihan yang lebih mustahil lagi.Menjadi pemuas hasrat pria itu?Rasa mua

Pintu kayu mahoni ruangan itu terbuka perlahan, memunculkan wajah Benny yang berdiri di baliknya dengan senyum lebar dan penuh kemenangan. Matanya menyapu tubuh Venus dari ujung kepala sampai kaki, sebuah tatapan yang membuat kulitnya merinding.“Venus,” sambutnya, suaranya dibuat serak, menggoda. “Aku tahu kau akan datang.”Venus melangkah masuk tanpa sepatah kata pun. Ruangan itu mewah, berpanel kayu gelap, dan terasa seperti sangkar yang mahal. Begitu dia sepenuhnya masuk, Benny dengan cepat mengunci pintu di belakangnya. Bunyi klik kunci yang diputar dalam mode terkunci terdengar nyaring, seperti palu yang memaku peti matinya.Venus tidak menoleh. Dia hanya berdiri di tengah ruangan, punggungnya masih menghadap Benny, menatap lukisan abstrak besar di dinding seberang tanpa benar-benar melihatnya. Tubuhnya terasa kaku, napasnya pendek dan dangkal.Benny mendekat, langkahnya tenang dan percaya diri. Dia berhenti sangat dekat,

Siang itu, cahaya matahari menyelinap melalui celah tirai tebal, menerangi partikel debu yang menari-nari di udara. Venus terbangun dengan tubuh yang terasa berat dan hancur. Sensasi dingin aneh di kulitnya, tetapi hangat di bawah selimut tebal yang menutupi tubuhnya yang telanjang, membuatnya segera tersadar.Kenangan semalam menyergapnya seperti air  yang dingin dan menjijikkan. Tangan-tangan Benny yang menggapai, desahannya di telinga, rasa tak berdaya yang mutlak saat dia diperlakukan seperti boneka.Kata-kata yang diucapkan Benny sendiri membuat perutnya mual. Dia telah menjadi objek, sebuah mainan yang dipakai dan kemudian dibuang untuk sementara.Venus menarik selimut lebih tinggi, seolah bisa menyembunyikan diri dari kenyataan yang terjadi pada tubuhnya. Lalu, dengan hati-hati penuh ketakutan, tangannya meraba perutnya yang masih rata.“Semoga kamu baik-baik saja, Sayang,” bisiknya pada janin dalam kandungannya.

Udara di antara mereka terasa pengap. Nova mendekap bayinya lebih erat, wajahnya campur aduk antara terkejut, tidak percaya, dan sedikit harap saat mendengar ucapan Venus.“Aku akan bercerai dari Eric,” ucap Venus.Dia berbicara seolah Keputusannya sudah bulat.Nova terbelalak. “Apa? Kamu yakin? Kamu nggak bercanda?” Bayi di gendongan Nova menggeliat, seolah merasakan ketegangan.“Aku udah janji,” jawab Venus, menatap langsung ke mata Nova. “Begitu anak itu lahir, aku akan mengurus perceraian dengan Eric.” Janji itu, yang dulu diucapkan dalam keputusasaan untuk menenangkan Nova, untuk memenangkan hati Eric, kini dia tepati. Venus memenuhi janji itu bukan untuk Nova, melainkan untuk dirinya sendiri. Untuk kebebasannya. Untuk Ian.“Ta-tapi ..." Nova tampak bingung dengan perubahan drastis itu. “Tapi Eric bilang, dia menyuruhku menjauh dari hidup kalian.” Ucapan itu seperti pengakuan, sebuah pengakuan