Naira duduk di kursi penumpang, diam, tangannya memeluk tas kecil di pangkuan. Setiap kilometer yang dilalui terasa seperti langkah mundur menuju jeruji halus yang bernama rumah tangga. Naira sadar, kembali ke rumah Pramudito bukanlah pilihan yang ia inginkan, tapi kebutuhan. Tempat itu masih menyimpan status, keamanan semu, dan pandangan masyarakat yang tak bisa ia abaikan begitu saja.Theo, yang duduk di belakang kemudi, memecah keheningan dengan batuk kecil. Ia mengenakan jaket abu polos, rambutnya masih sedikit basah oleh gerimis.“Bu Naira,” ucap Theo pelan, “nanti setelah sampai, saya antar langsung sampai depan pintu. Tapi mungkin saya tidak akan turun, biar tidak mencolok.”Naira menoleh sebentar, lalu mengangguk. “Terima kasih, Theo.”Suara itu nyaris tenggelam di antara rintik di kaca depan.Beberapa menit berlalu tanpa percakapan. Kota mulai berganti menjadi pinggiran dengan deretan pohon, lampu jalan berpendar lembut. Naira akhirnya membuka suara.“Theo…”“Ya, Bu?”“Boleh
Huling Na-update : 2025-10-19 Magbasa pa