All Chapters of Mencuri Calon Suami Adikku: Chapter 71 - Chapter 80

Daisy’s Cake adalah toko yang tidak terlalu besar tapi terlihat sangat nyaman, karena memiliki penampakan yang membaur dengan bangunan museum di sekitarnya. Batu dan kayu yang menyusun bangunan itu tampaknya juga sudah berusia ratusan tahun.Saat membuka pintunya, Suri mencium aroma harum roti yang baru saja dipanggang—bercampur ada yang manis ada juga yang gurih. Lalu Suri langsung merasa berada seperti di rumah—atau rumah dalam bayangannya sebelum dirusak oleh keluarga Quinn.Selain dari aroma, interiornya memang tampak seperti rumah. Bahkan tempat duduk yang ada di bagian cafe—toko itu menyatu dengan cafe di bagian samping, memilih kursi empuk yang nyaman seperti sofa, dibanding kuris tegak yang biasa ada di cafe.Semua menampakkan kehangatan, dan masih dilengkapi tawa dari pengunjung yang sedang mengobrol dengan kasir. Seorang wanita cantik—sangat cantik, bahkan mungkin lebih cantik dari Luna, padahal penampilannya sederhana. Rambutnya panjang berkuncir—bukan Sarah yang pasti.Sara

“Siapa?” tanya Martell, sambil menyerahkan lagi tablet di tangannya pada Taylor. “Saya hanya mendengar namanya; Connor.” Taylor mengamati sampai selesai, tapi tidak menghasilkan apapun. Pertemuan Suri dengan pria berpenampilan nyentrik itu berlangsung beberapa jam, tapi Taylor tidak mendengar apapun yang dibicarakan mereka. “Wanita yang bernama Sarah ini sepertinya pernah bekerja di keluarga Quinn. Saya mendengar beberapa potongan saat dia bicara dengan Miss Quinn. Tapi setelah itu tidak tahu lagi.” Taylor menunjuk foto Sarah. “Yang ini.” Martell tidak mempermasalahkan yang wanita, ia menunjuk Connor lagi. “Saya akan mencari tahu, Sir.” Taylor mengangguk. “Mereka tampak sangat akrab atau bagaimana?” tanya Martell, sambil menyipitkan mata, mengamati foto saat Suri berpelukan dengan Connor. Taylor mengambilnya tepat waktu. “Akrab tapi sepertinya sudah lama tidak bertemu memang. Saya sempat mendengar yang pria mengatakan mengira tidak akan pernah bertemu dengan Lady Quinn l

“T–tidak. Aku suka.” Suri memakai tangannya sendiri untuk menghapus air matanya, ingin menghentikan tangis, itu tapi tidak bisa. Seharusnya tidak seperti itu. Suri tidak suka menangis tanpa rencana di hadapan Leland. Semua yang dilakukannya di hadapan Leland harus terkalkulasi dengan baik. Suri tidak ingin ada kacauan lagi setelah kehamilan yang harus mendadak ada. Ia tidak boleh membuat kesalahan lagi—dan menangis saat mendapat hadiah juga kesalahan.Seharusnya ia berterima kasih seperti tadi—memeluk Leland atau memberi ciuman malah, bukan menangis jelek sampai hidungnya penuh ingus. Suri sudah berusaha menghapus, tapi masih tidak berhasil.“Rain? Apa kau sakit? Ini menakutkan.” Leland tentulah semakin panik melihat Suri yang tidak berhenti menangis.“Hm…hm..” Bahkan untuk menjawab normal pun, Suri tidak bisa. Padahal seharusnya ia cepat menjelaskan.“Aku akan meminta Leila membuang semuanya kalau kau tidak suka.” Leland langsung mengambil langkah ekstrim, karena Suri juga menangis

“Tidak.” Martell memutuskan sambil menghela napas panjang, pandangannya kosong.“Aku tidak tahu bagaimana bisa nasib pada akhirnya menuntunku pada hal seperti ini. Anak itu seharusnya tidak pantas, tapi hanya dia yang ada.” Martell tersenyum getir.“Dan saat aku menemukannya…” Martell kembali menghela napas panjang—kali ini lebih sulit.Taylor bergegas mengambil tabung oksigen, tapi Martell menolak. Helaan napas sulit itu bukan karena penyakit. Ia hanya perlu melegakan lehernya yang tercekat.Kenyataan hidup yang menerpanya beberapa hari terakhir sangat membebani otaknya yang tua.“Aku beruntung masih bisa hidup sampai hari ini, tapi untuk menyaksikan apa? Drama demi drama hasil dari kesalahanku,” umam Martell sambil menyibak tirai di jendela, menatap taman yang akan menjadi tempat pesta diadakan.Berumur panjang tidak selalu berarti beruntung, terutama kalau umur panjang itu membuatnya menyadari kalau kesalahannya terkadang terlalu buruk.Taylor tidak berkomentar. Biasanya ia akan me

“Apa kau lelah?” tanya Leland, sambil membantu Suri untuk duduk. Ini karena Suri menghela napas yang menurutnya terlalu panjang. Tapi mereka memang baru mendapat kesempatan duduk setelah berkeliling untuk menyalami beberapa tamu yang tidak semuanya menyambut dengan ramah.Leland akan mengerti kalau suri muak. Tapi karena Suri sudah bisa menduga hal itu, ia tidak amat mengambil hati maupun terkejut.Suri menggeleng. “Ti–dak masa–lah.”“Aku sudah meminta mereka menyiapkan minuman dan makanan untukmu. Akan dibawa ke sini sebentar lagi.” Leland berpaling mencari pelayan yang tadi disuruhnya.“Abaikan yang itu,” kata Leland saat melihat mata Suri tertuju pada wanita seusia Lottie yang tengah menatapnya tajam. Penampilannya pun seperti Lottie, tipe wanita kaya yang tampak seperti permen di permukaan—tapi yang ini permen pedas karena jelas membenci Suri.“Siapa?” tanya Suri. Ia tidak sakit hati, hanya heran.Ia sudah menyalaminya tadi, dan tentu saja reaksinya tidak ramah. Hanya Suri lupa ia