All Chapters of Hasrat Terlarang Paman Suamiku: Chapter 131 - Chapter 140

Musik lembut yang sebelumnya mengalun di ballroom mewah itu tiba-tiba berubah menjadi latar hening ketika suara Neil menggema, menghentikan tawa para tamu dan menghentikan gerakan kamera fotografer yang siap memotret pengantin. “Selena tidak ada sangkut pautnya dengan masalah ini,” kata Neil tegas, suaranya terdengar jelas meskipun ia tampak berusaha menahan diri agar suaranya tidak bergetar. Para tamu saling menatap. Selena yang berdiri di samping Ferdinand ikut menengok, bingung. Neil menundukkan kepala sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan tekad. “Ini… murni kesalahanku. Karena aku mencintai seorang wanita… dan mengorbankan perasaan orang lain.” Riuh rendah muncul. Beberapa tamu menutup mulutnya, beberapa lainnya berbisik. “Ne—Neil… apa maksudmu?” suara Emely terdengar pecah, meski ia berusaha kuat. Neil menatapnya dengan sedih, bukan dengan rasa bersalah yang ringan—melainkan sebuah penyesalan yang sudah lama ia pendam. “Maafkan aku, Emely…” katanya lirih. “Aku… mencin

Lampu ruang tamu itu hanya satu, menggantung di sudut, sinarnya redup kekuningan. Sebagian ruangan tertelan bayangan; jam dinding berdetak pelan, seakan ikut menegaskan hening yang mencekik di antara mereka. Lena berdiri tak jauh dari jendela. Di balik kaca, langit malam tampak muram, masih menyisakan sisa hujan yang menempel di permukaannya. Tangan Lena mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan gemetar yang merambat pelan. Di hadapannya, Neil berdiri dengan rahang mengeras, kedua tangannya bersedekap di depan dada. Mata pria itu tajam, tapi kalau diperhatikan baik-baik, ada kegelisahan yang berputar di balik tatapannya. Lena menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Suaranya keluar lirih, hampir bergetar. “Neil…” panggilnya pelan. “Kalau kau begini terus… mencurigaiku terus…” Ia berhenti sejenak, menelan ludah. “Bisa-bisa kita… tak akan melanjutkan pernikahan kita.” Kata-kata itu menggantung berat di udara. Sesaat, bahkan jam dinding seolah ikut berhenti berdetak

“Membawamu menjauh dari ruang tamu yang kebanyakan bayangan dan terlalu banyak energi negatif,” jawab Neil santai. “Kita pindahkan diskusi ke tempat yang lebih hangat.” “Neil, turunkan aku. Aku bisa jalan sendiri,” protes Lena, tapi pipinya merona. “Aku tahu kau bisa jalan,” balas Neil. “Tapi izinkan aku malam ini… merasa punya hak untuk ‘memeluk’ keputusanku sendiri.” Lena berkedip bingung. “Memeluk… keputusan?” Neil tersenyum kecil, menatapnya dari jarak dekat. “Keputusanmu memilihku. Aku ingin mengingat betul rasanya. Supaya kalau nanti aku mulai bodoh lagi, aku ingat moment-moment seperti ini.” Lena terdiam sesaat, lalu bibirnya melunak dalam senyum kecil yang tulus. “Kau ini…” gumamnya, suaranya melembut. “Aneh. Menyebalkan. Tapi… menyentuh juga.” “Ambil yang terakhir saja,” sahut Neil cepat. Dia melangkah pelan menyusuri ruangan, melewati meja kopi, sofa yang menjadi saksi pertengkaran mereka, lalu menuju koridor menuju kamar. Lampu di corridor menyala redup, n

Aroma kopi dan wangi parfum mahal bercampur di lobby perusahaan itu saat jam makan siang usai. Suasana sibuk, namun terasa hangat ketika Neil dan Lena berjalan berdampingan keluar lift. Senyum Lena masih tersisa setelah makan siang barusan—momen sederhana yang terasa seperti jeda damai dari hidupnya yang berantakan belakangan ini.Neil menyadari senyum itu, lalu bertanya pelan,“Yakin tidak mau aku antar pulang?”Lena menggeleng sambil memeluk tas di lengannya.“Tidak usah, aku bawa mobil sendiri kok.”Nada suaranya lembut, namun tegas. Ia tidak ingin merepotkan Neil, meski jauh di dalam hatinya, ia selalu merasa aman saat pria itu berada di dekatnya.Neil mengangguk. Tatapannya penuh sayang—yang selalu membuat Lena merasa salah karena pernah menjadi bagian keluarga yang kini membencinya.Tiba-tiba sebuah suara memecah ketenangan.“Neil!”Mereka serempak menoleh.Dan di sana berdiri seseorang yang membuat kaki Lena terasa lemas—Richard River, mantan mertua Lena, sekaligus kakak dari N

Apartemen terasa jauh lebih sunyi ketika Lena menutup pintu terakhir kali. Langkah Elizabeth perlahan hilang di balik lorong apartemen, menyisakan ruang tamu yang kini terasa dingin.Lena masih berdiri di sana beberapa detik, menenangkan diri, sebelum akhirnya ia beranjak merapikan cangkir teh yang masih hangat.Beberapa jam kemudian, pintu apartemen kembali terdengar terbuka. Lena menoleh.Neil masuk sambil menggosok lehernya yang pegal. Jaketnya setengah terbuka, wajahnya terlihat lelah setelah seharian bekerja. Namun begitu melihat Lena, laki-laki itu tersenyum kecil.“Hai, sayang.”Ia mendekat mencium kening Lena ringan.Lena membalas senyum, tapi bukan senyum penuh seperti biasanya.Neil langsung menyadarinya.Mata itu—selalu bisa membaca Lena tanpa kata.“Ada apa?”Suara Neil merendah. Serius.Lena menghela napas. Ia meletakkan gelas-gelas di meja, lalu menatap Neil dengan hati-hati.“Mama datang tadi.”Neil terdiam.Sedetik. Dua detik. Tiga.Sorot matanya berubah. Hangat yang t