Warning, mengandung konten dewasa! Dalam permainan penuh tipu daya, satu hasrat terlarang bisa mengubah segalanya. Dipaksa menikah dalam perjodohan dengan seorang pewaris kaya yang tidak ia cintai, Lena bertekad untuk melarikan diri. Rencananya? Menyamar sebagai wanita yang tidak menarik agar suaminya muak dan segera menceraikannya. Namun segalanya tak berjalan sesuai rencana. Neil River—paman dari suaminya yang misterius—adalah pria kejam dan berbahaya yang tahu jauh lebih banyak daripada yang seharusnya. Bukan hanya menyadari penyamaran Lena, ia juga mengetahui kehidupan gandanya sebagai pemilik misterius klub karaoke elite yang dibicarakan para pria secara diam-diam. Alih-alih membongkarnya, Neil justru tertarik. Ia menggoda Lena, hingga wanita itu terjebak dalam permainan berbahaya—di mana batas antara moral, nafsu, dan cinta mulai kabur. Bisakah Lena melepaskan diri dari pesona pria yang seharusnya tak pernah ia cintai—paman dari suaminya sendiri? “Jadi? Kau berhasil merayu suamimu hari ini?” “Tidak, Om. Aku sudah dandan cantik sejak subuh tadi, tapi… dia tetap saja jijik melihatku.” “Lalu bagaimana kalau… aku yang tergoda?” “Om… bercanda, kan?”
Lihat lebih banyakSuara detak jam di ruangan kerja Lena terdengar jelas di antara keheningan yang tegang. Ia masih terpaku di tempat, menatap sosok yang berdiri beberapa meter darinya—sosok yang selama ini hanya hidup dalam kenangan, dalam doa, dan dalam mimpinya yang paling dalam.“Se–Selena…?” suara Lena bergetar, nyaris tak percaya.Perempuan di hadapannya tersenyum lembut. Wajahnya sama persis, hanya saja rambutnya lebih pendek, dipotong seleher dengan poni tipis yang membuatnya terlihat lebih segar dan muda.“Elena,” ucapnya pelan, “kenapa? Kau tidak senang melihat aku?”Lena menitikkan air mata. Tubuhnya gemetar, dadanya terasa sesak oleh rindu yang menahun.Tanpa menjawab, ia langsung berlari memeluk saudara kembarnya itu erat-erat.Tangisnya pecah, sesenggukan memenuhi ruangan.“Selena… Tuhan… aku pikir kau sudah—”“Ssst…” Selena mengusap punggung Lena lembut, “aku tahu. Aku tahu semua orang pikir aku sudah mati. Tapi aku di sini, Lena. Aku hidup.”Pelukan itu berlangsung lama, seolah mereka me
Siang itu, denting sendok bertemu dinding cangkir jadi latar kecil yang tak putus-putus. Lena—dengan wig cokelat madu dan kacamata tipis yang membuatnya tampak seperti “Selena”—mengetuk-ngetukkan jari ke meja marmer, mengukur detik dengan sabarnya. Aroma kopi panggang memenuhi ruang; lampu gantung kristal menumpahkan cahaya hangat ke sofa beludru. Di balik senyum yang ia latih, dadanya tetap berdegup lebih cepat dari biasanya. Pintu kaca berdering pelan. Axel menjejak masuk, tergesa, napasnya sedikit memburu. Jasnya kebesaran setengah nomor, mungkin dipinjam dari kursi kantor, bukan dari hanger. Ia melihat sekeliling, menemukan Lena, dan melangkah cepat. “Selena, sayang… maafkan aku telat,” katanya, langsung duduk di hadapannya. “Ada rapat dadakan. Aku—” Lena mengangkat tangan, senyum manis di bibirnya. “Tidak begitu lama, kok. Aku mengerti.” Seorang barista datang dengan buku menu, menunduk sopan. “Selamat siang. Bolehkah saya ambil pesanan minumannya?” “Americano panas,” ujar A
Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang. Namun suasana meja makan keluarga itu justru penuh ketegangan yang nyaris bisa dipotong dengan pisau.Cahaya matahari masuk dari jendela besar ruang makan, menimpa meja panjang berlapis taplak putih. Aroma roti panggang dan kopi hangat menguar, tapi tidak ada yang menyentuhnya dengan riang seperti biasanya.Axel duduk di ujung meja, menunduk pada piringnya. Sendok di tangannya hanya berputar tanpa arah di dalam sup yang sudah hampir dingin.Neil duduk di seberangnya, membaca koran tanpa benar-benar membacanya. Matanya tajam, tapi kosong.Lena duduk di antara mereka berdua, matanya berpindah-pindah seperti bola pingpong, menatap Axel lalu Neil, berharap salah satu dari mereka berbicara.Namun tak ada yang membuka mulut.“Ehm...” Elizabeth berdehem pelan, mencoba memecah suasana. “Supnya hari ini agak asin ya, mungkin aku kebanyakan garam.”Tak ada respons. Hanya dentingan sendok Axel yang pelan menabrak mangkuk, dan suara Neil melipat koran
Lampu-lampu kristal di lobi hotel masih berpendar lembut, memantulkan cahaya dari gaun-gaun mewah yang lewat. Musik pesta yang tadinya hingar bingar kini tinggal gema samar. Lena berdiri anggun di depan pintu kaca besar yang terbuka otomatis setiap kali tamu lewat. Senyumnya masih tersisa, lembut dan tenang — seolah pesta belum benar-benar berakhir baginya. “Sayang, kau tunggu di sini ya. Aku ambil mobil dulu di parkiran.” Suara Axel terdengar di telinganya, penuh kasih dan sedikit lelah. Lena mengangguk sambil tersenyum. “Oke, jangan lama-lama, ya. Tumitku sudah menjerit.” Axel terkekeh kecil. “Sepatu itu terlalu tinggi, aku sudah bilang.” “Dan kau juga yang bilang, aku tampak cantik dengan sepatu ini.” “Ya, memang begitu,” ucap Axel sebelum berlari kecil menuju lift. Senyum Lena melebar melihatnya, pria itu selalu punya cara membuatnya merasa istimewa. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiba-tiba, sebuah tangan kuat menariknya dari sisi kanan. Lena nyaris kehila
Aroma kopi baru diseduh menari dari ujung meja. Sinar matahari menyusup lewat tirai tipis, memecah warna di atas piring porselen yang berkilau. Di meja makan keluarga itu, percakapan dimulai oleh satu suara yang paling percaya diri. “Aku bilang apa? Akhirnya mereka luluh,” ujar Axel seraya menepuk ringan ponsel di meja, dagunya terangkat. “Klien New York itu keras kepala, tapi aku bikin mereka lihat nilai jangka panjang. Closing. Hitam di atas putih.” Richard melirik istrinya, Elizabeth, lalu mengangguk bangga. “Kerja bagus, Nak. Kau menepati target.” Elizabeth tersenyum lembut. “Mamanya bangga. Kau tumbuh jadi pria yang tahu peluang.” Axel menyandar, menatap seluruh meja. “Kelak, aku akan jadi pewaris Ayah. Aku ini hebat, kan?” Di ujung meja, Lena menunduk, memecah roti panggangnya kecil-kecil. Ia tidak menanggapi. Pipinya hangat—bukan karena bangga pada suaminya, melainkan karena tatapan seorang pria di seberang: Neil. Setiap kali Lena tanpa sengaja melirik, Neil sudah lebih
Neil terdiam, menatap miliknya yang “terbangun”. Sementara Lena menelan ludahnya memandang “barang” yang masih tertutupi celana itu.Astaga.. besar sekali, dalam hati Lena berkata takjub. “Neil.. kau tidak apa-apa?” tanya Lena.Neil menghela napas pelan. “Tidak apa-apa, biarkan saja.” Neil lalu kembali berbaring di samping Lena dan memandang Lena dengan penuh arti.“Ta-tapi… itu…” Lena menunjuk milik Neil lagi.Neil terkekeh pelan. “Sudah, biarkan saja!” lalu lelucon gila terlintas di otaknya, “atau kau mau membantuku?” godanya sambil tersenyum jahil. Lena terdiam sejenak hingga ia berkata. “Kau sudah melakukannya padaku, dan aku merasa harus membalasnya.”Wajah Neil mendadak menjadi serius. Ia mengubah posisinya menjadi duduk tegak. “Kau jangan merasa terpaksa begitu! Lebih baik tidak usah,” ucapnya.“Tapi… aku… tak ingin puas sendiri. Aku akan merasa bersalah jika tak membuatmu “keluar”. Lagipula.. aku hanya memegangnya, kan?Neil terhenyak sejenak hingga ia mengerti seperti apa p
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen