All Chapters of Skandal Asmara Putri yang Terlarang: Chapter 221 - Chapter 230

POV Matilda Kami saling serang seolah-olah sedang berduel, hanya tombak kami yang merupakan pedang dan tujuan kami adalah membunuh. Namun di lapangan terbuka, kami menyerang lebih dekat dari yang seharusnya tanpa tombak. Kuda-kuda kami bertabrakan sebelum senjata kami, menghancurkan kaki kami di antara panggul dan pelana.Rasa sakit yang membakar meledak di kaki kananku, membuatku menjerit. Marguerite terhuyung-huyung karena benturan singkat itu, tersandung dan membuatku kehilangan keseimbangan. Aku terhuyung-huyung di pelana dengan hanya satu kaki untuk menyeimbangkan diri. Kurasa kakiku yang satu lagi patah. Aku tidak bisa menggerakkannya. Pria berkerudung itu juga tidak bernasib baik. Dia turun dari kudanya, memulihkan diri dari apa yang pasti merupakan jatuh yang keras.Aku menatapnya. Dia menungguku menyerang, memegang pedangnya di depannya seperti ular dalam posisi menyerang, siap melukaiku. Kakiku yang terluka adala

POV Dimitri Meskipun cobaan hari ini terasa berat, dunia terasa tak terlalu menakutkan dengan ia yang aman dan hidup di sampingku. Aku menempelkan dahiku ke dahinya, memejamkan mata, dan merasa tenang karena kehadirannya."Setidaknya kamu tak perlu khawatir lagi dengan para pemburu bayaran," bisiknya, secercah kebanggaan terpancar dari kelelahannya."Tidak, sekarang aku hanya bisa resah karena kau tak bertumpu pada kakimu selama berminggu-minggu—dan apakah kakimu sembuh dengan baik.""Tidakkah kamu akan tetap mencintaiku meskipun aku lumpuh?" tanyanya, mencoba bersikap ceria meskipun dia lemah. Aku menahan senyum."Itu tidak lucu.""Kamu benar," gumamnya, ibu jarinya menelusuri tulang pipiku. "Maaf. Aku tahu kamu khawatir."Aku tak perlu menyuruhnya beristirahat. Matanya segera terpejam perlahan.Aroma hujan masih melekat di udara, bercampur hangat kulitnya. Aku tetap di sisinya, me

POV Matilda  Sebelum aku sempat bereaksi, Leon bergerak dari posisinya bersama Gray dan para prajurit, mengulurkan tangannya kepadaku. Aku ragu sejenak, terkejut. Tangan kami belum bersentuhan sejak hari kami berpisah, dan pikiran untuk menggenggam tangannya sekarang memenuhiku dengan campuran kecemasan dan sesuatu yang tak terduga.Sebelum aku bisa memproses perasaanku, Lief dan Indie dengan lembut menyerahkanku, membuatku tak punya pilihan selain menggenggam tangan Leon saat mereka melepaskanku. Posisiku yang hanya berkaki satu membuatku tersandung, dan alih-alih sekadar meletakkan telapak tanganku di telapak tangannya dan memulihkan keseimbangan, aku terhuyung ke depan, tanganku mendarat rata di dadanya. Hidung kami bersentuhan, dan semua yang lain menghilang saat kami bertatapan.Tenggorokannya bergerak-gerak, tatapannya membuatku terpaku sejenak terlalu lama. Bahkan detak jantungnya, yang berdenyut di atas detak jantu

POV Matilda Alunan lembut denting harpa memenuhi ruang makan, memantul dari lengkungan tinggi dan dinding batu polos dengan sorak sorai yang teredam. Meja-meja terbentang, sebagian besar kosong kecuali meja kami dan meja dewan kerajaan. Anak-anak Raja Boles bergabung dengan kami. Seorang anak laki-laki berusia dua belas tahun yang khidmat membimbing adik perempuannya, tangan mungil adiknya digenggam erat.Anggur merah dituangkan ke dalam gelas kami sementara kami segera menikmati sup akar teratai dan kastanye yang dibawakan oleh sepasukan pelayan. Kami membersihkan mangkuk hingga berkilau di bawah cahaya lilin yang berkelap-kelip, lalu tibalah hidangan utama bebek panggang dan wortel bermentega.Dimitri, yang duduk di samping Raja Boles di sebelah kirinya, memuji aroma kompleks anggur dengan antusiasme yang fasih. Percakapan mereka beralih dari kecintaan raja yang unik terhadap burung rawa hingga keajaiban arsitektur Kasti

POV Dimitri Cahaya lilin oranye yang berkelap-kelip melukis bayangan di dinding, memancarkan cahaya hangat ke tulisan-tulisan kuno yang merayap di punggung buku-buku tua yang tertumpuk di sepanjang rak. Relik-relik inilah satu-satunya yang ada di ruangan ini yang biasanya kosong—seperti kastil itu sendiri.Aku terduduk di kursi tanpa hiasan di ruang kerja Boles. Kursi di sebelahku kosong melompong. Di sanalah seharusnya Matilda berada. Kesadaran akan ketidakhadirannya menggelitikku, seperti makhluk tak kenal ampun yang tak puas dengan pestanya di hati nuraniku. Aku hampir bisa melihat percikan di mata kuningnya saat dia berbicara tentang keberadaannya di sini, tentang perannya dalam membentuk masa depan kami.Kami seharusnya menjadi mitra, Matilda dan aku. Dan aku berani bertaruh kami cukup mahir dalam hal itu. Sejak hari kami berangkat untuk mengungkap mata-mata Otto di Kievan, kami tak terpisahkan. Kami telah mengh