Dengan gerakan yang terasa lebih lambat dari biasanya, Ilham meraih ponsel itu. Ia berdeham, seolah membersihkan tenggorokannya dari sisa-sisa tawa.“Sebentar ya, Sayang,” katanya pada Anya, suaranya sedikit dipaksakan.Ia bangkit dan berjalan menjauh ke arah balkon, sebuah jarak fisik yang ia ciptakan untuk melindungi gelembung mereka. Anya menatap punggung suaminya yang tegap. Punggung yang sama yang selalu melindunginya, kini terlihat seperti membawa beban yang tak kasat mata.***“Halo, Bu. Assalamualaikum.”“Waalaikumsalam, Ham.” Suara Elia di seberang sana terdengar lemah, diselingi tarikan napas yang berat. “Lagi sibuk, ya?”Rasa bersalah yang dingin langsung merayap di punggung Ilham. “Enggak, Bu. Santai aja. Ibu kenapa? Kok suaranya begitu?”“Nggak apa-apa,” jawab Elia, sebuah jawaban yang Ilham tahu persis artinya adalah ‘ada apa-apa’. “Cuma dadanya sesak lagi dari kemarin. Mau ke puskesmas, tapi nggak ada yang antar. Mas Didik lagi pulang kampung ke kampung istrinya, mengun
Zuletzt aktualisiert : 2025-11-06 Mehr lesen