All Chapters of Tunangan Kontrak Sang CEO: Chapter 171 - Chapter 180

Pagi itu tidak dimulai dengan rumor, melainkan dengan formulir. Laila memimpin penanganan formal atas ancaman yang ditujukan ke Naya malam sebelumnya. “Kita tidak membalas pesan; kita membalas lewat prosedur,” katanya. Laporan resmi dikirim ke unit polisi siber, melampirkan header surel, fingerprint perangkat pengirim, URL redirect yang dipakai dalam pesan, dan pola bahasa yang sama dengan playbook bot farm: kalimat pendek, emotikon kaku, ritme jam ganjil. HR menyalakan protokol dukungan karyawan—rute aman pulang‑pergi, panic word keluarga, check‑in berkala, dan nomor cepat penghubung keamanan gedung. Rania menekankan: “Ini bukan menakut‑nakuti. Ini menyiapkan pintu yang bisa ditutup dan dibuka ketika perlu.”Di konsol Bagas, feed dari bank mitra dan threat‑intel lokal berdering pelan: unit anti‑fraud memetakan rekening micro‑payment baru dengan transaksi pecahan yang berulang seperti titik hujan di kaca. Nilai per transaksi kecil—Rp19.000, Rp23.000, Rp27.000—tetapi pola ja

“Ini bukan kebetulan,” ujar Inez tanpa dramatis, menatap grafik monitoring yang mendadak tenggelam seperti lifter yang kehilangan beban. Server pusat Aurelia turun serentak. Bukan mati listrik; heartbeat jaringan masih terdeteksi stabil, namun indeks repositori proyek kosong—seolah-olah perpustakaan tetap berdiri tapi raknya sudah dipereteli. “Pola wipe selektif,” simpul Bagas, jari telunjuknya menelusuri dashboard. “Direktori proyek hilang, journal sistem penuh entri rotate, dan log akses dipangkas di perbatasan lima menit terakhir. Mereka membiarkan dinding berdiri, tapi menukar bata.”Laila mengangkat telepon ke kontak regulator. “Kami minta tindakan preservasi segera,” katanya. “Ada risiko spoliation of evidence mengingat sinkron memo A.DL‑EP yang baru kami temukan.” Ia membaca cepat daftar rute yang sudah disiapkan Inez: nomor seri NAS, mount point yang relevan, hash pembanding dari cut beredar, serta watchpoint yang berpotensi menyimpan autosave. Kontak di seberang me

Pagi itu, aula pertemuan industri terasa seperti kamar kelas yang ditingkatkan: panggung sederhana, layar besar, dan kopi yang tidak pernah benar‑benar hangat. Tema panel: “Transparansi Pasar dan Integritas Data”. Arga duduk di kursi tengah, diapit dua akademisi dan satu perwakilan asosiasi. Di baris ketiga, swing kedua terlihat mencatat. Arga tidak menyebut RUPS; ia menyebut 12 bulan ke depan—kerangka kerja yang tak lain adalah paket tata kelola yang kemarin dikirim dalam bentuk ringkas.“Transparansi pasar bukan poster,” kata Arga. “Ia kalender.” Ia memaparkan rencana board refresh bertahap, mekanisme recusal yang dipaksakan sistem (bukan janji lisan), dan kalender transparansi: tanggal audit triwulanan, townhall prosedural, dashboard dampak CSR yang bisa diverifikasi. Ia menyisipkan pelajaran dari sting operation—tanpa detail yang merusak perkara—untuk menunjukkan why di balik how: read‑only checksum, air‑gap, dan disclosure ke regulator. “Kami memilih dokumen, bahkan ke

Booster itu dibedah di bawah lampu yang terlalu putih. Inez mengekstrak firmware dan mengamati header—build yang sama dengan modul DIR‑BOARD‑02 yang dulu mereka lihat di dokumen vendor logistik. “Bukan produk rakitan sembarang,” ujarnya. “Ini batch yang lewat tangan yang sama.” Bagas menarik napas, mengeluarkan map cokelat dari laci: invoice yang dulu ia simpan—bukti pembelian modul booster untuk field test resmi beberapa bulan lalu.“Kenapa kamu simpan?” tanya Laila. Bagas mengangkat bahu. “Kebiasaan buruk dari masa jadi sysadmin: selalu simpan kwitansi.” Ia membentangkan lembar: pengirimnya perusahaan shell yang beralamat di gedung perkantoran yang sama dengan salah satu kantor Adela. Nama dagang—bukan nama publik—tampil di kop surat. “Kita perlu konfirmasi lintasan,” kata Naya. “Apakah shell ini punya relay ke Aurelia atau ke Seraphine?”Rendra menautkan nomor seri booster yang disita dengan nomor seri yang pernah dipinjam resmi untuk field test. Ada irisan: dua

Keesokan harinya, sesuatu yang jarang terjadi muncul beruntun di timeline: rangkaian liputan panjang dari jurnalis muda yang memutuskan menulis proses alih‑alih poster wajah. Judulnya tidak mencolok—“Bagaimana Hash, Checksum, dan Autosave Bekerja di Sengketa Publik”—tetapi isinya bergerigi tepat: flowchart jalur bukti, ilustrasi air‑gap yang membandingkan komputer “bernapas” dan “ditutup rapat”, serta penjelasan mirror imaging yang tidak merampas data non‑terkait. Dua portal bisnis ikut menyusul dengan explainer ringan tentang kalender transparansi dan bagaimana recusal dipaksakan lewat sistem access control. “Mereka memilih peta, bukan panggung,” kata Sinta, membacakannya di ops room.Dampaknya tidak meledak, tetapi menambat: time‑on‑page naik pada jam kerja (bukan jam bot), pertanyaan publik bergeser dari “siapa bersalah” menjadi “bagaimana chain‑of‑custody dibuat,” dan newsletter analis pasar menyisipkan catatan bahwa volatilitas menurun seiring pergeseran narasi dari mo