All Chapters of Tunangan Kontrak Sang CEO: Chapter 191 - Chapter 200

Pukul 06.10, aula hotel yang disewa khusus untuk RUPS sudah berdenyut pelan seperti mesin besar yang baru dipanaskan. Di depan pintu registrasi, meja panjang dipenuhi proxy card berwarna gading, beberapa dengan sudut yang sedikit lecak seolah semalam berpindah tangan terlalu sering. Naya tidak duduk di baris depan; ia berada di ruang ops kecil di samping aula, bersama Inez, Sinta, Rendra, dan Bagas—mengelola arus informasi tanpa menuntut sorot lampu. “Kita tidak di panggung, tapi kita di mesin,” katanya.Tim registrasi perusahaan bekerja seperti kasir yang sabar: memeriksa identitas, menyocokkan nomor kepemilikan, memindai barcode, dan—bila perlu—mencocokkan power of attorney untuk yang datang mewakili. Di layar monitor, angka kuorum memanjat seperti air raksa pada termometer pagi. Ticker internal memperlihatkan komposisi: investor ritel, institusional, dan dua kelompok yang selama ini menjadi perhatian—swing pertama yang sudah memberi sinyal mendukung, dan swing kedua yang

USB diletakkan di atas meja panitia seperti benda kecil yang ingin menjadi palu godam. Notaris, sesuai prosedur, memastikan tidak ada autorun dan memindai cepat untuk mendeteksi macro berbahaya. “Materi akan diputar dari komputer panitia,” tegasnya. Laila mengangkat tangan: “Keberatan dicatat—materi ini telah dinyatakan termampatkan dan termanipulasi oleh lab independen. Mohon penanda ditampilkan.” Moderator mengangguk; Rendra menekan overlay: “Media Dimanipulasi—lihat klarifikasi forensik” muncul sebagai lower‑third.Lampu diredupkan. Video mulai seperti selimut dingin yang ditarik ke dada. Bukan teriakan, melainkan bisik yang konsisten—LUT lembut, room tone yang menyambung celah, potongan wawancara lama yang dirangkai untuk menekan bagian kepala yang tidak menghitung. Di baris tengah, beberapa wajah menegang; di baris depan, seorang pemegang saham ritel menggenggam map lebih erat. Inez, bahkan dalam gelap, melihat kilatan kecil di spectrogram bayangannya sendiri: punch‑in

Arga berdiri, bukan untuk pidato panjang, melainkan untuk tiga kalimat—setiap kalimat adalah pagar yang menutup lubang yang baru saja dibuka lawan. Ia merapikan mikrofon yang sebenarnya tidak perlu dirapikan, agar jeda pertama terasa sengaja.“Pertama,” katanya, “tata kelola kita berjalan: recusal dipaksa sistem, pengawas independen aktif, dan signatory matrix sementara mengikat setiap rupiah. Kontrol adalah cara kami menjaga kepercayaan.” Ia tidak menatap kamera; ia menatap notaris—saksi paling dingin yang diinginkan perusahaan.“Kedua,” ia melanjutkan, “hasil kita nyata: uptime, SLA, arus kas—semua ada di layar dan bisa diaudit siapa pun. Angka tidak membaca caption; angka membaca log.” Satu detik jeda, cukup untuk membuat orang yang memotret layar menekan tombol.“Ketiga,” ia menutup, “jalur hukum berjalan. Materi yang Anda lihat tadi berada di meja regulator dan penegak hukum. Di sini, di RUPS, kita memutus metode dan arah. Kami menolak menukar proses

Pemungutan dimulai item by item. Notaris membacakan judul, menyebut dasar, memberi ruang bagi keberatan tertulis, lalu mempersilakan perangkat suara elektronik menyala. Suara beep kecil menari seperti hujan jarum di lantai marmer. Di layar besar, tidak ada angka real‑time—hanya indikator “tercatat” untuk menjaga ruangan dari olahraga jantung yang tidak perlu. Namun di ops room, panel internal memperlihatkan jarum detik yang bergerak; angka melompat sepersepuluh, lalu kembali rata, lalu melompat lagi. “Begini seharusnya mesin bekerja,” kata Acting CFO. “Tanpa drama, dengan catatan.”Di luar ruangan, drama tetap mengasah pedangnya. Bot farm yang sejak dua hari diredam oleh rate‑limit kembali mencari celah: mereka menarget hashtags investor ritel dan akun financial influencer yang gemar mengutip ketegangan. Sinta memeriksa dashboard eksternal: ritme metronom muncul lebih lembut, tetapi tetap metronom—pukul 12.10, 15.10, 21.10. “Mereka menabuh genta di luar ketika kita menghitu

Pembacaan per blok dimulai. Notaris menyebut nama kustodian, jumlah suara, dan arah pilihan—suara mengalun datar, seperti bacaan kitab pada hari yang tidak punya upacara. Ruangan menahan napas dalam cara yang hanya dimengerti orang yang pernah menunggu hasil laboratorium: Anda tidak ingin berharap, tapi tubuh Anda mengerjakan harapannya sendiri.Blok pertama: pro mempertahankan. Blok kedua: pro. Blok ketiga: kontra—bahasa formal untuk “ingin pergantian”. Sinta memberi tanda kecil pada dashboard: ⬆︎, ⬆︎, ⬇︎. Rendra menyalin ke papan kertas sebagai cadangan manual; ia selalu percaya pada pena ketika listrik padam. Inez memantau log sinkronisasi; tidak ada loncatan mencurigakan, checksum catatan cocok dengan mirror konsol.Di baris paling belakang, dua sosok duduk tenang: Kenan dan A.C. Kenan menautkan jari, seperti orang yang sudah selesai menyerahkan affidavit dan kini menunggu dunia memilih apakah akan percaya pada kalimat atau pada kebisingan. A.C.—yang pernah men