All Chapters of Jodoh Wasiat Istri : Chapter 71 - Chapter 80

71Haikal memerhatikan istrinya yang tengah menerangkan tentang rencana bisnis barunya dengan Santi. Haikal senang, karena Lula mulai berani ekspansi di luar bisnis yang dikuasainya.Haikal sangat mendukung rencana itu. Dia bahkan bersedia untuk menambah modal, supaya bisnis itu bisa segera dilaksanakan. Namun, niat Haikal ditolak Lula. "Uangku cukup, Bang," ujar Lula. "Tambahan dari Abang, bisa dipakai buat biaya operasional selama 3 bulan pertama," jelas Haikal."Yang itu, aku sudah dapat solusinya.""Apa?" "Rumah Ayah mau aku jual. Tetangga sebelah kanan berminat beli." Haikal seketika menggeleng. "Jangan. Itu satu-satunya peninggalan beliau." "Masih ada rumah yang di Bekasi." "Menurut Abang, justru itu yang dijual. Nggak pernah ditinggali ini." "Ya, itu bisa juga, tapi, mungkin akan lama lakunya." "Mau dijual berapa?" "Ehm, aku nggak paham harga di sana." Haikal berpikir sesaat. "Gini aja, nanti Abang omongin ke Satrio. Adiknya kerja di broker perumahan area Bekasi. Mung

73Jalinan waktu terus bergulir. Pagi itu, Lula berangkat ke ruko yang akan disewanya. Rita yang sudah cukup mahir menyetir, mengemudikan mobil MPV biru itu dengan hati-hati. Setibanya di tempat tujuan, seorang pria membukakan pintu buat Lula. Dia mengambil alih Zefa dari sang mama, lalu menggendong bayi bergaun kuning muda menuju area dalam ruko.Seruan oh dan ah bergema di ruangan luas itu. Dian dan para pegawainya berebutan untuk menggendong bayi montok bertopi kuning. Sedangkan Edwin mengajak Lula dan Rita untuk duduk di kursi dekat meja kasir toko kain. "Ada 3 toko yang masih kosong. Posisinya di deretan ujung kiri," terang Edwin sembari menunjukkan gambar ruko itu pada Lula. "Luasnya, sama, Bang?" tanya Lula sembari mengamati foto-foto itu."Yang dua, sama dengan toko sebelah. Yang ujung, luasnya sama dengan toko ini," jelas Edwin."Harganya, bisa nego lagi?" "Gampanglah itu. Buat tim PBK pasti ada diskon." "Aku mau lihat ke sana. Bisa?" "Oke. Tapi nanti balik ke sini. Ada

75Hari berganti. Mediasi yang diadakan di ruang kepala sekolah, dihadiri banyak orang. Bariq, Haikal dan Lula datang bersama Firman, kuasa hukum mereka. Begitu pula dengan Andi dan kedua orang tuanya, yang didampingi seorang perempuan tua, yang merupakan Kakak tertua Ayah Andi, sekaligus pengacara mereka. Keempat pelaku pengeroyokan terhadap Andi dan Bariq, tertunduk lesu di dekat orang tua masing-masing, yang juga terlihat tegang. Kedelapan orang dewasa itu tidak bisa berkutik dan tetap diam, ketika Haikal dan Ayah Andi bergantian memaparkan rencana mereka ke depannya, jika mediasi itu tidak berjalan baik.Selama puluhan menit berikutnya, kedelapan orang tua pelaku, diminta membaca surat perjanjian perdamaian yang diberikan Firman. Orang tua pelaku utama terlihat bingung, karena ada klausul jika anak mereka diharapkan untuk mengikuti konseling. Pada awalnya, Ayah Andi bersikeras agar keempat pelaku dikeluarkan dari sekolah. Namun, setelah berdiskusi dengan kepala sekolah, akhirnya

77Suasana hening melingkupi sekitar vila berarsitektur khas Jepang, di pinggir Kota Osaka. Tidak ada bunyi apa pun. Termasuk percakapan orang-orang di dalam tiga bangunan di sana.Mereka tengah berkonsentrasi penuh mengawasi sekitar. Terutama setelah mendapat informasi dari mata-mata, jika polisi tengah bergerak ke tempat itu.Detik berganti menjadi menit. Jam berputar terus hingga malam hampir habis. Orang-orang itu mulai tenang, karena menduga tidak ada penyergapan. Ketegangan perlahan berkurang. Sebagian orang memutuskan untuk beristirahat, dan sisanya meneruskan bersiaga secara bergantian.Seorang pria tua berbaring di kasur dalam kamar tersembunyi. Dia memejamkan mata, lalu mengatur napas. Perlahan sukmanya melayang dan dia terlelap. Mentari pagi menyeruak di garis langit. Burung-burung berkicau dan menciptakan kedamaian. Angin musim semi berembus lembut membelai dedaunan yang bergoyang di dahan pepohonan. Seunit mobil van putih muncul dari jalan raya. Petugas gerbang depan m

79Teriakan berpadu dengan bunyi senjata beradu, terdengar dari area dalam. Jauhari berlari sembari mengarahkan ponselnya ke depan. Lazuardi dan Fikri menyusul sambil sekali-sekali berhenti untuk memberi tanda di dinding, dengan pita putih kecil yang ditancapkan bersama paku.Bentuk dinding yang berupa semen kasar, menjadikan paku bisa menempel. Kedua ajudan tersebut melalukan itu sebagai antisipasi, jika mereka harus kembali melewati lorong itu.Banyaknya cabang lorong menjadikan keenam orang itu harus bersiaga penuh. Mereka mempercepat langkah ketika mendengar pekikan Zulfi, yang tengah beradu bicara dengan seseorang, menggunakan bahasa Indonesia. "Felix Saptaji!" seru Wisnu, sesaat setelah tiba di tempat kedua sahabatnya berada. "Interpol sudah datang. Lebih baik kamu menyerah, Felix," cakap Zulfi. "Aku tidak mau!" sentak Felix."Saranku, menyerah. Sebelum belati sahabatku itu menusuk leher pacarmu," ungkap Zulfi. "W, tahan," pinta Wisnu sembari maju sedikit demi sedikit hingga