All Chapters of Pembalasan Dendam Racun Sang Tabib: Chapter 41 - Chapter 50

Paman Liu mengangguk. "Baiklah. Kalau begitu, untuk ramuan yang kalian pilih, kalian bisa membelinya. Ini juga bagian dari penilaian. Siapa yang ramuannya paling laku dengan harga tertinggi, dia pemenangnya." Dia menatap Angga. "Berapa harga ramuan mu?" Angga berpikir sejenak. "Dengan bahan-bahan yang kupakai, harga sebenarnya sekitar 2 juta per botol. Tapi karena ini lomba, aku beri harga 1 juta saja. Diskon 50 persen." "Wah, mahal juga," gumam salah satu pasien. "Tapi kualitasnya terjamin, Paman. Lihat saja bahannya," ujar Angga meyakinkan. Akhirnya, lima pasien membeli ramuan Angga dengan harga 1 juta per botol kecil. Rudi menjual ramuannya seharga 500 ribu per gelas. Tiga pasien membelinya. Yanto menjual ramuannya seharga 300 ribu. Dua pasien membelinya karena harganya paling murah. Semua ramuan ludes. Kecuali milik Bima. Tidak ada satu pun yang mendekati meja Bima. Angga terkekeh. "Lihat? Tidak ada yang mau ramuan mu, Bima. Mungkin karena tampilannya biasa s

Setelah Kevin dan Santoso pergi dengan membawa ramuan seharga 1 miliar, suasana di toko Paman Liu masih dipenuhi bisik-bisik takjub dari para pasien dan pengunjung. Mereka memandang Bima dengan tatapan berbeda, campuran kagum, iri, dan penasaran. Bima sendiri berdiri tenang di sudut ruangan, menatap tas kecilnya. Ginseng emas seribu tahun itu hampir habis terpakai. Dia menghela napas pelan. 'Nenek pasti akan mengamuk jika tahu,' batinnya sambil membayangkan wajah galak Nenek Badar. 'Tapi setidaknya aku dapat uang 1 miliar. Cukup untuk tambahan modal awal hidupku di sini.' Paman Liu menghampiri dengan senyum lebar. "Bima, kamu luar biasa! Aku tidak menyangka kamu bisa menjual ramuan semahal itu!" "Harganya sesuai kualitas, Paman," jawab Bima datar. "Tentu saja!" Paman Liu menepuk bahu Bima dengan bangga. "Dengan ini, kamu sudah membuktikan kemampuanmu. Besok kita akan mengumumkan pemenang kompetisi secara resmi." Bima mengangguk pelan. Matanya melirik ke arah Angga yang ber

Yanto tidak memberikan waktu untuk Bima berpikir. Dia kembali menyerang dengan kombinasi pukulan dan tendangan yang tidak teratur, gerakan orang yang putus asa dan tidak terlatih dalam pertarungan sungguhan. Bima mengelak setiap serangan dengan mudah. Gerakannya tenang dan efisien, tidak ada yang berlebihan. Tapi matanya terus mengamati perampok di hadapannya dengan seksama. 'Postur tubuhnya, cara bergeraknya, gerakan kaki itu.' Bima mengerutkan kening. Yanto mulai kehabisan napas. Serangannya semakin lambat dan tidak terkoordinasi. Tapi matanya, mata yang terlihat melalui celah masker, penuh dengan keputusasaan yang mendalam. "Kumohon," bisiknya tiba-tiba dengan suara bergetar yang hampir tidak terdengar. "Kumohon ...." Bima terdiam. Ada sesuatu di suara itu. Sesuatu yang sangat tidak asing. Dalam satu gerakan terakhir yang penuh keputusasaan, Yanto melemparkan dirinya ke depan dan meraih tali tas Bima dengan kedua tangannya. Dia menarik dengan kuat, menggunakan seluruh

Kevin tersenyum saat melihat balasan itu. 'Bagus. Setidaknya dia mau memberi kesempatan.' Dia mengetik balasan cepat. [Jam 7 malam. Di restoran Golden Dragon. Aku yang traktir.] Bima membaca pesan itu dan mengangguk pelan. 'Baiklah. Mari kita lihat apa yang sebenarnya dia inginkan. Tapi di mana Golden Dragon?' ~~~~ Malam itu, di restoran Golden Dragon yang mewah, Bima duduk berhadapan dengan Kevin di meja pribadi. Ruangan itu terpisah dari area utama restoran, memberikan privasi penuh. Beruntung dia tidak menemukan kendala begitu sampai di sana. Kevin tersenyum ramah. "Terima kasih sudah mau datang, Bima." "Langsung saja ke intinya," jawab Bima datar. "Aku tidak suka basa-basi." Kevin tertawa pelan. "Aku suka gaya bicaramu. Jujur dan langsung." Dia bersandar di kursinya. "Baik, aku akan langsung ke intinya. Tuan Santoso sangat tertarik dengan kemampuanmu. Dia ingin menawarkan kerja sama dengan Black Panther." "Kerja sama seperti apa?" tanya Bima sambil menatap Kevi

Yanto baru saja kembali dari ruang administrasi rumah sakit, ia baru saja membayar biaya pengobatan saudara laki-lakinya. Hari ini Andi terlihat semakin lemah, tangan Yanto masih bergetar karena pencurian itu. Ia sudah siap menerima resiko jika nanti Bima melaporkannya pada polisi dan menangkapnya. Setidaknya Andi akan baik-baik saja. "Kenapa wajahmu pucat?" tanya Andi. Saat ini saudara laki-lakinya itu masih memasang wajah tersenyum, meski keadaannya sedang menahan sakit. "Ada banyak pekerjaan di toko, jadi aku belum sempat makan. Jangan khawatir, aku membawa makan ke sini. Apa kamu mau, Kak?" goda Yanto agar Andi tidak menyadari sikapnya. Andi memasang wajah serius, "jangan terlalu lelah, kamu harus menjaga tubuhmu. Kesehatan itu nomer satu, tak ada duanya." Yanto tersenyum, 'Kamu selalu begini kak, padahal kamu sakit karena dulu selalu bekerja keras untuk menjamin hidupku layak.' Setetes airmata mengalir begitu Yanto ingat bagaimana pengorbanan Andi, saudara laki-lakin