All Chapters of Usai Tidur Panjang, Aku Menjadi Istrinya: Chapter 31 - Chapter 40

Saat akhirnya taksi yang ia kendarai tiba, Sophie memasuki rumah dengan dibantu dua orang pelayan. Tubuhnya yang nyaris terasa tak berdaya, hanya bertahan karena lengan mereka menopang dari kanan dan kiri.Keadaannya kacau. Lututnya terluka akibat terjatuh ketika ia berlari menjauh dari Ryan. Pakaiannya menempel erat pada tubuhnya, basah oleh hujan. Wajahnya sembab, matanya merah bengkak oleh air mata yang terus jatuh sejak tadi.Pikirannya yang kacau sudah tidak mampu memikirkan mobil milik Lucas yang ia tinggalkan begitu saja di parkiran apartemen Maya. Yang ia khawatirkan hanyalah bagaimana menghadapi amarah Lucas jika ia mengetahuinya nanti.Melihat Sophie begitu sulit berjalan, kedua pelayan itu akhirnya memilih untuk mendudukkannya di sofa ruang keluarga. Tak lama, seorang pelayan lain berlari tergopoh-gopoh sambil membawa kotak P3K di tangannya.“Nyonya, apa yang terjadi pada Anda?” suara Emma, pelayan yang paling dekat dengannya, terdengar bergetar oleh rasa khawatir.Sophie h

Saat Sophie membuka matanya keesokan hari, kepalanya terasa berat. Matanya membengkak karena tangisannya semalam, dan rasa sakit di kakinya kembali mengingatkan apa yang telah terjadi kemarin malam.Sophie menundukkan pandangannya dan menemukan pakaiannya yang kemarin basah dengan air hujan sudah diganti dengan pakaian tidur yang lebih nyaman. Luka di lututnya juga sudah ditutup perban putih dengan rapi. Apakah pelayan yang melakukan semuanya? Dan yang membawanya ke kamar…?Pipi Sophie mendadak memanas. Kemarin itu… Lucas memeluknya, kan? Apa pria itu juga yang membawanya ke kamar?Sophie menoleh ketika ia mendengar suara pintu yang dibuka. Maya masuk dengan wajah khawatir dan berlari menuju Sophie yang masih duduk di tempat tidur.“Sophie…” Maya memeluknya erat. “Aku mendengar ada keributan di tempat parkir waktu aku keluar, aan aku melihat mobilmu ditinggal begitu saja. Apa kamu nggak apa-apa?”Sophie membalas pelukan Maya, ingatannya akan perlakuan Ryan kemarin malam kembali. “Rya

“Mobilnya sudah dibawa kembali oleh orang suruhan Tuan Lucas, Nyonya.”Sophie terdiam saat mendengar jawaban Emma. Ia baru saja bertanya apakah ada yang bisa ia mintai tolong untuk menjemput mobil Lucas yang masih tertinggal di apartemen Maya.Menurut Maya, security sudah mengamankan kunci mobil itu.“Oh…” Sophie mengusap belakang lehernya dengan gerakan canggung. “Apa Lucas… marah?”Emma buru-buru menggeleng cepat. “Tidak, Tuan Lucas sepertinya hanya khawatir dengan keadaan Anda.”Sophie menunduk, bibirnya terangkat membentuk senyum sinis. Lucas? Khawatir pada keadaannya? Bahkan di dalam mimpi pun hal itu terasa mustahil baginya.Maya yang sejak tadi duduk di samping Sophie melirik sekilas ke arah wanita itu.Ada sesuatu yang berdesir dalam dirinya, rasa iri bercampur kesal. Betapa tidak adilnya hidup. Menyebalkan sekali melihat Sophie tampak seolah memiliki segalanya begitu mudah.“Bukankah kamu beruntung?” Maya bersuara pelan, dagunya bertopang di telapak tangan, senyumannya tipis

Sophie mengangkat wajahnya, menatap Lucas yang berdiri di sampingnya. Tangan pria itu merangkul bahunya, namun ekspresinya tetap datar, sulit terbaca.“Apa kamu baik-baik saja?” Lucas kembali bertanya, kali ini terdengar seperti sebuah tuntutan.“Oh… iya.” Sophie menjawab canggung, tak tahu harus bereaksi bagaimana. Sentuhan Lucas di bahunya terasa asing, tapi di saat bersamaan justru menjadi satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan.Tatapan orang-orang yang tadinya menyudutkan kini berubah menjadi pandangan penasaran. Bahkan ketiga sepupu Sophie yang sejak tadi sibuk memojokkannya hanya bisa saling melirik tanpa kata.“Lucas!” suara ayah Sophie memecah keheningan. Ia dan istrinya berjalan mendekat dengan senyum lebar terpampang di wajah.“Tuan Elman.” Lucas mengangguk sopan.“Bukankah itu terlalu formal?” Ayah Sophie terkekeh kecil. “Kamu seharusnya memanggilku ayah.”Sophie merasa mual mendengar nada kebanggaan itu. Apakah ayahnya sungguh bangga karena berhasil menjual anakny

Suara musik bar yang memekakkan telinga membuat lantai dansa penuh dengan orang-orang yang berdesakan, tubuh mereka bergerak mengikuti dentuman music. Namun Kevin, yang duduk di Bar Stool, sama sekali tidak tertarik dengan keramaian itu. Tatapannya tajam, menyapu satu per satu wajah yang muncul di antara kerumunan, seakan mencari sesuatu di tengah hiruk pikuk malam.“Mencari seseorang?” suara seorang bartender wanita terdengar di telinganya, penuh nada ramah yang dibungkus dengan senyuman menggoda.Kevin menoleh sekilas, lalu membalas senyum tipis sebelum meneguk minuman di depannya. “Ya,” Jawabannya terdengar tenang, nada suaranya seperti basa-basi biasa. “Sudah lama aku tidak ke tempat ini, jadi aku berharap bisa bertemu orang yang kukenal.”“Oh ya? Siapa orang yang kau cari?” Bartender itu mencondongkan tubuhnya ke meja bar, membuat jarak di antara mereka semakin dekat.Kevin menirukan gerakannya, sengaja menyesuaikan irama permainan halus itu. “Kalau aku memberitahumu, apa mungk