Senyum Kevin kembali merekah saat melihat wajah kebingungan Anna. “Kartu namaku.”“Untuk apa anda memberikan kartu nama pada saya?” Suara Anna terdengar kaku, berusaha menyembunyikan ketidaksenangannya.“Entahlah. Aku hanya memiliki firasat bahwa mungkin nantinya kita akan bertemu lagi.” Kevin mencondongkan tubuhnya, membuat jarak antara dirinya dan Anna menipis. “Tapi sebagai saran, akan lebih baik kalau anda menghubungi saya lebih dulu sebelum pertemuan itu.”Itu adalah ancaman. Anna tahu jelas itu adalah sebuah ancaman. Matanya melirik ke bawah, ke arah kartu nama yang berada di meja counternya.Tulisan berwarna emas di ujungnya membuat Anna membulatkan wajahnya. Campbell Industries.Campbell Industries? Tuannya? Apa Sophie Elman… menikahi ‘sang Lucas’?Bagaimana bisa? Terakhir kali, wanita itu bahkan tidak pernah bertemu langsung dengan Lucas Campbell.“Dilihat dari ekspresimu, sepertinya kamu tidak terlalu asing dengan tempatku bekerja.” Anna kembali mengalihkan tatapan ke arah K
Anna sedang membersihkan gelas di cafenya yang sepi. Sudah beberapa minggu ini pengunjung jarang datang, membuatnya kerap bertanya-tanya apakah ia sebaiknya menutup café kecil di pinggiran kota ini dan kembali mencari pekerjaan.Lagipula ia memiliki cukup kemampuan dan pengalaman untuk mendapatkan pekerjaan yang cukup bagus.Namun bayangan masa lalu segera menghantam pikirannya. Jemarinya meremas cangkir yang ia pegang dengan kuat.Tidak. Apapun alasannya, kembali bekerja pada seseorang bisa jadi hanya akan membuatnya kembali menjadi bulan-bulanan. Bahkan jika café ini tidak memiliki pelanggan lagi, itu tetap lebih baik daripada menjejakkan kakinya lebih dekat dengan masa lalu yang ingin ia lupakan.Bel pintu berbunyi. Membuat Anna tersentak dari lamunannya dan segera berdiri di depan counter.Seorang pria tinggi dengan setelan rapi masuk. Tatapan Anna sempat terhenti pada pria itu, wajahnya yang terlihat ramah cukup membuat wajah Anna memerah hanya karena melihatnya.Begitu melewati
Sophie pulang dengan langkah berat, pikirannya masih dipenuhi bayangan Anna. Begitu sampai di rumah, ia langsung meraih ponselnya. Jemarinya bergetar saat menekan nomor Anna yang masih ia hafal di luar kepala.Tapi yang ia dapatkan hanyalah jawaban mesin di seberang telfon. Sophie tercekat. Nomor itu sudah tidak aktif.Sophie terdiam lama, ponsel di tangannya bergetar bersama nafasnya yang semakin cepat. Rasa frustasi meluap begitu saja, ia melempar ponselnya ke atas tempat tidur.“Semua orang meninggalkanku…” gumamnya dengan suara pecah. Tangannya mengepal, air mata jatuh bukan karena sedih, melainkan karena rasa dikhianati yang muncul secara mendadak. “Mereka semua membuangku begitu saja.”Sophie berjongkok di lantai, Tangisannya mulai pecah, suara isakannya terdengar seperti teriakan yang coba ia tahan. Bahunya naik turun, tubuhnya bergetar hebat karena amarah.Pintu kamar tiba-tiba terbuka. Lucas masuk, wajahnya tenang tapi sorot matanya tajam.“Apa lagi yang kau tangisi sekarang,
Sophie menghentikan langkahnya saat melewati bagian keuangan. Ia sempat ragu selama beberapa saat hingga akhirnya Sophie menolehkan wajahnya.Di sana, Kevin masih berdiri. Pria itu ikut berhenti, seolah telah mengikuti Sophie dengan sengaja. Senyuman yang selalu terpampang di wajahnya kali ini terasa berbeda di mata Sophie, senyumnya yang selalu tenang dan konsisten membuat Sophie merasa merinding..“Tidakkah seharusnya kita berpisah di sini?” suara Sophie terdengar pelan namun tegas, mencoba memberikan jarak lebih di antara mereka. “Bukannya kamu ke sini karena ada urusan?”“Benar.” Kevin mengangguk singkat, senyumannya tetap terjaga. “Tapi apa yang lebih penting dibanding menjaga istri dari bos saya sendiri? Saya yakin, Tuan Lucas akan sangat memahaminya.”Ucapan itu membuat Sophie tercekat sesaat. Lucas tidak akan peduli… pikirnya lirih dalam hati. Namun Sophie tetap mecoba menampilkan senyum tipis, berusaha terlihat tenang.“Aku ada sedikit urusan lagi di sini,” ujarnya, mencoba
Sophie mematung mendengar perkataan Matthew. Seluruh tubuhnya bergetar perlahan, jika ia tidak duduk di kursinya, ia mungkin sudah terduduk di lantai ruang kerja Matthew..Dirinya… sengaja menabrakkan dirinya sendiri?Kata-kata itu terus berulang di kepalanya. Nafasnya tersengal, dadanya terasa sesak.“Pe… pembohong…” Sophie mendesis, suaranya nyaris tak terdengar. Ada sedikit keyakinan yang masih tersisa di dalam dirinya, meski samar. Ia tahu, siapa pun dirinya, apa pun yang orang-orang katakan, ia bukanlah orang seperti itu.Matthew menundukkan wajahnya, menatap Sophie yang memandangnya tak percaya dengan seringai puas. “Pembohong? Kau bisa bilang begitu sepuasmu, Sophie. Tapi coba tanyakan sendiri pada orang-orang yang tahu. Semua saksi kecelakaan itu mengatakan hal yang sama.”Sophie mengangkat wajahnya dengan sulit, menatap Matthew dengan sorot mata bingung sekaligus takut. “Saksi…?”“Ya. Ryan. Maya. Bahkan Anna, asistenmu sendiri. Mereka semua bilang kau melakukannya dengan sen
Sophie tidak menjawab pertanyaan Lucas. Ia memalingkan wajahnya, tidak tahu harus melakukan apa. Kedua tangannya terkepal di depan dadanya sendiri. Sementara kedua matanya ia pejamkan dengan erat. Lucas yang melihatnya tersenyum sinis, lebih menertawakan dirinya sendiri. Istrinya sendiri bersikap seolah Lucas akan menyakitinya setiap kali ia mendekat.Kenyataan itu akhirnya membuat Lucas menjauhkan dirinya dari Sophie. Sophie yang merasakan jarak yang mulai terbentuk diantara mereka berdua akhirnya membuka mata.Lucas sudah berdiri tegak di hadapannya. Menatapnya dengan tatapan yang tidak bisa Sophie mengerti.“Lain kali...” Lucas berkata sambil menatap Sophie dalam-dalam. “Berpikirlah sebelum kau mengatakan hal seperti itu.”Setelah mengatakannya, Lucas berjalan menuju kamar mandi, melewati Sophie yang masih terpaku di tempatnya.Saat pintu kamar mandi itu akhirnya ditutup, Sophie baru menyadari bahwa sejak tadi ia telah menahan nafasnya. Ia menghela nafasnya panjang dan menoleh ke