Lahat ng Kabanata ng Aku Istri Pertama, Tapi Hanya Jadi Simpanannya : Kabanata 41 - Kabanata 50

Melati baru saja memarkirkan sepeda motornya ketika Sira memasuki gerbang sekolah. Tak ingin kehilangan kesempatan, Sira langsung saja berlari menghampiri dan menghentikan langkahnya yang sudah akan berjalan pergi menuju kantor, selama ini Melati selalu menghindarinya dan Sira tidak mungkin membicarakan masalah mereka di kantor. Sementara nomor teleponnya sepertinya juga di blok oleh MelatiHari ini Sira ingin menjelaskan semua kepada Melati dan menyelesaikan kesalahpahaman mereka."Mel, tolong kasih aku kesempatan ngomong kali ini aja!" Ucap Sira mengiba dengan nafas sedikit tersengal akibat berlari. Maklum saja, Sira yang hampir tak pernah olah raga membuat lari sejauh lima meter saja sudah cukup untuk membuatnya ngos-ngosan."Maaf, Ra, aku sibuk. Aku masih mau menyelesaikan untuk ngoreksi tugas anak-anak yang belum selesai." Kata Melati dengan nada dingin yang masih sama seperti sebelumnya."Mel, aku tahu kamu marah gara-gara kak Arwan, jadi biar aku jelaskan. Itu semua salah pah

Lonceng istirahat pertama berbunyi nyaring. Usai menyampaikan materi pada jam pelajaran kedua, hari ini Sira memutuskan untuk mencoba mendekati Bintang lagi, setelah memberi gadis itu waktu sendiri untuk menenangan diri tanpa ia ganggu. Rasanya ada banyak hal yang harus ia selesaikan sebelum memutuskan untuk benar-benar mengundurkan diri dari sekolah ini.Sira melangkah cepat menuju area gudang belakang sekolah. Sejenak mengalihkan pandangannya ke dalam ruangan kepala sekolah bergitu melewati tempat itu. Luka di tangan Gavin masih sedikit mengusik pikirannya. Tapi laki-laki itu sepertinya sedang tidak ada diruangnnya. Sira melanjutkan langkahnya dan menepis pikiran tentang Gavin, kali ini ia perlu fokus untuk memperbaiki hubungannya dengan Bintang. Karena dalam sudut pandang Bintang saat ini, Sira sepertinya adalah pengkhianat. Sira menjadi satu-satunya guru baik yang mencoba mendekatinya, mencoba mengerti keadaannya dan selalu membantunya. Tapi dalam sekejap guru baik itu ternyata

Gavin terdiam untuk beberapa saat, memegang kemudi sambil mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya pada setir mobil.Sira menghela nafas, memilih menyerah dan menepis rasa penasaran akan kisah pernikahan mereka. Ia mengalihkan pandangan ke luar jendela mobil, melihat pepohonan di tepi jalan yang seakan berlarian dengan cepat melewatinya."Tidak. Pernikahanku dan Raina sedang tidak baik-baik saja." Ucap Gavin memecah keheningan tiba-tiba, membuat Sira terkejut karena akhirnya ia mau buka suara soal pernikahan keduanya.Sira mengangkat alisnya, bingung. Tak tahu harus merespon apa pada pernyataan Gavin dengan wajah tanpa ekspresinya itu."Maaf." Ucap Sira menyesal, entah untuk apa."Kenapa kamu minta maaf?" Tanya Gavin bingung menatap Sira sambil mengerutkan keningnya."Entahlah.""Kamu gak perlu merasa bersalah, Ra. Ini semua gak ada hubungannya sama kamu." Ucap Gavin berusaha menenangkannya, meski Sira tetep ragu Gavin tidak berbohong. Apalagi jika mengingat Raina yang dulu pernah tiba-t

Sekali lagi Sira memandangi plaster luka berwarna biru dengan motif buah stroberi berwarna merah muda yang tiba-tiba telah bertengger di jari telunjuknya, begitu ia membuka mata pagi ini. Dan tiba-tiba jantungnya berdebar tanpa alasan yang pasti. Usai makam malam dengan sayur lodeh dan ayam goreng malam tadi Rita akhirnya pamit pulang setelah diancam untuk tidak diberi uang belanja. Jadi tak mungkin Rita yang diam-diam memakaikannya plaster luka ini malam tadi saat ia tertidur. Satu-satunya hipotesis yang bisa ia buat saat ini adalah Gavin yang tadi malam memakaikannya saat ia tertidur, meski Sira juga tak yakin karena Gavin pun telah pamit pulang diwaktu yang bersamaan dengan Tantenya. Tapi tentu tak mungkin ada hantu yang datang dan mengobati lukanya, bukan? Sira tersenyum sendiri tanpa ia sadari sambil mengelus lembut plaster luka lucu di jari telunjuknya, lalu melangkah memasuki gerbang sekolah seperti biasa. Tak seperti biasa, pagi ini banyak siswa yang sudah hadir

"Bu..., Ibu kenapa?" Panggil Bagas.Sira tertegun untuk beberapa saat. Otaknya seakan berpikir keras sementara jantungnya berdebar semakin kencang hingga suara detaknya bisa ia dengar sendiri."Bu?" Kini Aldo juga ikut memanggil, khawatir melihat wajah gurunya yang kini terlihat pucat.Bel tanda masuk kelas berbunyi, menyadarkan Sira dari pikirannya sendiri."Iya, ibu gakpapa. Kaget aja baca surat ancaman tadi." Sira mengembalikan handphone Bagas dengan memaksakan seulas senyum. Berpura-pura semuanya baik-baik saja. "Udah sana kalian masuk kelas dulu." Bagas dan Aldo mengangguk disaat yang bersamaan lalu menuruti perintahnya, meski sempat ragu untuk beranjak meninggalkan Sira yang tampak tidak baik-baik saja."Kamu gak masuk kelas, Bi?" Tanya Aldo melihat Bintang masih duduk diam di samping Sira."Kalian duluan aja, masih ada yang mau aku bahas sama ibu Sira." Sahut Bintang."Ok. Kita duluan." Ucap Aldo lalu berjalan menjauh beriringan dengan Bagas."Ada apa, Bi?" Tanya Sira begitu