LOGINMenikahi cinta pertama adalah impian setiap wanita… tapi tidak untukku. Aku menikahi Muhammad Gavin Rusdhan karena sebuah kondisi yang memojokkan ku demi memenuhi wasiat terakhir ayah. Masalahnya, dia sebentar lagi akan menikahi wanita lain—sementara aku terjebak sebagai istri pertama yang tak dianggap. Setiap hari harus bertemu dengannya di kantor, menahan rindu sekaligus sakit hati, membuatku semakin hancur. Apalagi ketika Arwan Kin Dhananjaya, sahabat yang sudah kuanggap kakak sendiri, tiba-tiba mengungkapkan cinta. Belum selesai dengan luka itu, aku kembali terjebak dalam permainan baru: menjadi calon istri pura-pura seorang duda karismatik, direktur utama perusahaan besar sekaligus ayah dari muridku sendiri. Cinta, pengkhianatan, dan rahasia… mampukah aku bertahan dalam pernikahan yang bahkan sejak awal bukan milikku?
View More"Kamu tidak berniat melarangku menikah besok, Raa?" Suara berat Gavin tiba-tiba terdengar menggema menyambut kedatangan Sira. Tepat ketika perempuan berkerudung hitam itu menyalakan lampu, setelah memasuki rumah sederhana pemberian suami rahasia yang baru dinikahinya dua minggu yang lalu.
"Astaghfirullah, ngapain kamu di sini, Vin? Kenapa gak nyalain lampu? Untung aku gak jantungan" Sira memegang dadanya yang tiba-tiba berdebar hebat karena terkejut.
"Kenapa pulang malam? Dari mana aja kamu? Pergi sama Arwan lagi?" Cecar Gavin sambil beranjak duduk setelah berbaring di sofa ruang tamu, tanpa memperdulikan Sira yang terkejut karenanya.
Sejenak mata Sira terpaku menatap Gavin yang terlihat berantakan namun tetap mempesona dimatanya. Kemeja putih yang dikenakannya tampak berantakan, dengan kedua lengan panjangnya yang digulung sekenanya dan dua kancing baju yang terlepas, memperlihatkan tangan berotot dan dada bidangnya.
"Raa...!" Gavin setengah berteriak.
Membuat Sira tersentak dan tersedak ludahnya sendiri karena kebodohannya yang justru mengagumi cinta pertama yang sudah menjadi suaminya itu.
Sira terbatuk sejenak, sebelum akhirnya kembali menguasi dirinya.
"Kenapa kamu peduli? Kamu bilang pernikahan kita hanya status di depan keluargaku. Di luar semua itu, kita bebas, kan?" Sira menjawab ketus sambil berlalu menuju kamar yang berada tepat di samping kanan ruang tamu.
Meski menyimpan cinta yang dalam untuk suaminya, Sira juga menyimpan kebencian yang sama dalamnya untuk laki-laki itu.
Gavin adalah cinta pertama di masa kuliahnya dan masih ia cintai hingga sekarang. Tapi bodohnya laki-laki itu tidak pernah tahu, sementara Sira tidak pernah berani untuk mengatakannya. Dan sekarang mereka justru terjebak dalam pernikahan rahasia demi memenuhi keinginan terakhir ayah Sira.
"Sira, kamu belum menjawab pertanyaanku." Gavin menyusul dan dengan cepat meraih tangan Sira tepat diambang pintu kamar.
Sejenak Sira menatap tangan Gavin yang untuk pertama kali menyentuh kulitnya. Setelah mengantar Sira pindah ke rumah ini satu minggu yang lalu, ini juga baru kali kedua Gavin menginjakkan kali lagi di rumah ini. Sungguh ironi, tidak ada cerita manis pengantin baru bagi Sira.
Andai bisa memilih, ia lebih ingin diceraikan oleh Gavin dari pada harus berpura-pura dalam hubungan pernikahan siri yang tidak jelas ini. Tapi entah apa yang ada dipikiran laki-laki itu, hingga tidak mau menceraikannya tapi sering kali selalu mengabaikannya.
"Pertanyaan mana yang harus ku jawab, Vin? Kenapa aku pulang malam, dari mana aja aku, pergi sama siapa aku, atau niatku untuk melarang kamu menikah besok?" Sira menatap tajam ke arah mata suaminya.
Perasannya bercampur antara marah, sedih dan cemburu.
"Sekarang aku suami kamu, Raa. Aku berhak tahu kamu dari mana dan dengan siapa kamu pergi!" Gavin membalas dengan tatapan tajam dan genggaman tangan yang semakin erat.
Sira mendengus. Tertawa getir sambil mengalihkan pandangannya, tidak mengerti dengan sikap Gavin yang tiba-tiba berubah. Padahal setelah pernikahan mereka, Gavin selalu mengabaikan dan tidak mempedulikannya.
"Suami? Setelah semua yang kamu bilang di malam aku pindah ke rumah ini, sekarang kamu bilang kamu berhak atas aku, Vin?"
Sira berusaha melepaskan genggaman tangan Gavin yang semakin lama semakin erat. Tapi seakan sia-sia karena tenaga dan tubuh sira tidak sebanding dengan Gavin. Semakin keras ia berusaha melepaskan, semakin erat dan semakin sakit pula genggaman tangan Gavin.
"Kamu lupa, Vin? Tiga hal yang kamu minta setelah menikahiku? Kamu bilang status kita adalah rahasia, tidak ada yang boleh tahu kecuali keluargaku. Kita tidak punya hak dan kewajiban, kamu dan aku bebas melakukan apa saja. Dan tidak boleh sampai ada cinta diantara kita"
Sira meringis menahan sakit di pergelangan tangan, sekaligus perih menahan luka di hatinya karena harus berbohong berpura-pura tidak mencintai suami rahasianya.
Sementara Gavin sejak tadi hanya bisa menatap kearah Sira dengan tatapan marah sekaligus penuh sesal dan kesedihan.
"Muhammad Gavin Rusdhan! Lepasin tangan aku. Sakit." Teriak Sira dengan memanggil nama lengkap suaminya sambil menghempaskan tangannya dengan keras. Air matanya sudah mengambang di pelupuk mata. Entah karena sakit di tangannya atau kecemburuan mengingat pernikahan suaminya besok.
"jadi kamu rela aku menikah lagi besok, Raa?" Ucap gavin lemah, menyerah dan melepaskan tangan istrinya.
Sira terdiam, sejenak terpaku mendengar pertanyaan yang sebenarnya ingin sekali ia jawab "TIDAK" sebelum akhirnya tersadar, ia harus melupakan dan tetap merahasiakan perasaannya pada Gavin."Punya hak apa aku buat ngelarang kamu, Vin?" Sira melepas tas yang sejak tadi masih menggantung di lengannya, lalu duduk di kasur dengan lemas.
"Sebelum kita menikah, kita adalah teman, Vin. Dan sebagai seorang teman, aku akan bahagia melihat temanku bahagia menikah dengan orang yang dicintainya." Lanjut Sira sambil mengalihkan wajahnya dan menghapus sebulir air mata yang akhirnya jatuh karena kebohongannya.
"Raa..." Panggil Gavin dengan suara lemah yang hampir tidak bertenaga.
"Berhenti memanggil namaku, Vin. jangan buat aku bingung dengan sikapmu." Sira beranjak dari tempat duduk, setelah mampu menguatkan hati dan pikirannya. Kemudian kembali berjalan ke arah Gavin.
"Aku menyakitimu lagi, Raa...?" Ucap Gavin dengan tatapan mata nanar melihat Sira berjalan ke arahnya.
"Pulanglah, Vin. Ini malam pernikahanmu, kamu harus istirahat." jawab Sira sambil meraih gagang pintu dan menutupnya tepat di hadapan Gavin, berusaha untuk tidak memperdulikan lagi lelaki yang dicintainya itu.
Entah apa yang dipikirkannya. Bukankah Gavin akan menikahi gadis yang dicintainya? Kenapa dia justru sekalut itu di malam pernikahannya?
Sabtu. Hari perjanjian itu tiba.Tepat pukul dua siang, ponsel Sira berdering. Nama Orang Tua Bintang terpampang di layarnya."Halo?" Sira menjawab dengan suara sedikit bergetar, ada keraguan dan ketakutan dalam dirinya untuk menghadapi pesta malam ini."Aku sudah di depan," suara bariton Prabu terdengar tenang. "Sekarang? Tapi aku belum siap! Kenapa tidak memberi tahu dari tadi?" nada suara Sira berubah menjadi bingung dan terkejut dengan kehadiran Prabu yang tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya."Tenang, Sira!" Prabu terkekeh mendengar kehebohan suara Sira."Bagaimana aku bisa tenang? Aku bahkan belum tahu harus mengenakan apa dan berdandan seperti apa? Bagaimana kalau aku mempermalukanmu? Bagaimana—""Hei, tenang!" Prabu buru-buru memotong kalimat Sira, sebelum perempuan itu semakin bingung dengan ketakutan di pikirannya sendiri. "Tenang, dan dengarkan aku bicara!"Sira menghela napas, mencoba menenangkan dirinya dan menunggu Prabu melanjutkan bicaranya."Aku di sini untuk memban
Tantangan Sira menggema di seluruh ruang tamu. Kalimat-kalimat yang menyinggung pernikahan tanpa hak dan kewajiban mereka menusuk jantung Gavin, namun tidak seperti yang Sira harapkan, Gavin tidak gentar.Gavin menatap Sira lurus, wajahnya keras dan menahan emosi. "Jangan bercanda, Sira," ujar Gavin, suaranya kembali sedingin es. "Aku tidak bisa menceraikanmu semudah itu.""Kenapa? Bukankah itu yang kamu inginkan sejak awal?" Sira balas menuntut, air matanya masih mengalir deras. "Kamu tidak mencintaiku, dan kamu sendiri yang bilang kita tidak punya hak dan kewajiban! Jadi apa lagi yang menahanmu, Gavin?"Gavin melangkah mundur sedikit, seolah ingin menghindari pertanyaan dan tuntutan Sira yang penuh amarah.Tepat di saat yang sama, ponsel Gavin yang tergeletak di meja berdering nyaring. Nama My Wife dengan emoticon love merah muncul di layar. Suara dering itu bagai alarm yang mengingatkan Gavin akan kenyataan lain. Ia mendadak terlihat lelah, seluruh emosi yang memuncak tadi seketik
Pukul menunjukkan jam tujuh malam lebih ketika Sira akhirnya tiba di rumah. Matahari telah lama tenggelam, meninggalkan langit dalam nuansa hitam dan abu-abu. Sira berjalan gontai, kelelahan fisik dan emosional setelah seharian menghadapi berbagai masalah dan mengambil keputusan terbesar dalam hidupnya.Lampu ruang tamu menyala. Sira menoleh dan jantungnya langsung mencelos. Gavin telah duduk tegak dengan kemeja kantor yang masih rapi, tapi raut wajahnya sama sekali tidak santai. Ia menatap Sira dengan tatapan mata yang keras, penuh ketegangan, seperti menahan emosi yang siap meledak.Sira menelan ludah. Sebelumnya ia berharap laki-laki itu akan menghawatirkannya dan berempati padanya. Tapi sekarang sepertinya dia hanya akan menambah beban mental dan emosinya."Dari mana?" tanya Gavin dingin, tanpa mengucapkan salam, tanpa sedikit pun keramahan. Suaranya rendah, tetapi menusuk.Sira berjalan mendekat, meletakkan tas dan ponselnya yang sebelumnya ia genggam di atas meja. "Ada urusan,"
Sira kehabisan akal. Otaknya buntu tak menemukan jalan keluar, kecuali ide gila yang akhirnya membawanya untuk bertemu Prabu sore ini.Seharian terjebak di sekolah dengan kisah pelakor yang masih menjadi topik hangat di sekolah benar-benar membuatnya jengah. Apalagi ketika ia dimintai pendapat oleh salah seorang guru yang mengatai pelakor dalam surat ancaman itu."Sira, menurut kamu pelakor itu benar-benar ada apa gak di sekolah kita? Kalau menurut aku nih, ya.... Pasti ada, gak mungkin lah orang itu iseng dengan membuat ancaman kayak gitu. Masalahnya kan ini ancaman buat guru, bukan buat anak-anak yang cuma sakit hati karena cinta monyet." Bisik Bu Tuti memulai perghibahannya siang itu ketika jalan beriringan dengan Sira usai keluar dari kelas yang meraka ajar menuju kantor.Sementara Sira hanya bisa menggigit bibir bawahnya, menahan malu sambil menggeleng pelan, tak ingin menanggapi guru sejarah yang terkenal dengan 'lambe turah' nya karena senang sekali membicarakan orang lain."Ja












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews