บททั้งหมดของ Dibuang Keluarga, Dinikahi CEO Kaya: บทที่ 41 - บทที่ 50

Dan mobil mulai berjalan kembali. Alana menatap Arash dengan tatapan menyelidik, "Masih panas hatinya? Tapi kelihatannya udah baik-baik aja tuh." "No." Arash menyerong kearah Alana, matanya menatap Alana intens. "Aku tidak suka cara dia menatapmu. Rasanya ingin ku keluarkan biji matanya itu. Pokoknya saat berada diluar, jangan tebar pesona." "Aku gak tebar pesona," Alana langsung protes, boro-boro tebar pesona, memangnya siapa yang menyukainya? Berapa tahun duduk di bangku kuliah tidak ada yang mengejarnya. Iyakan? "Lagian mereka punya mata, wajar kalau lihat. Masa aku larang? Nanti dibilang sok kecantikan banget." Setiap kata yang keluar dari bibir kecil itu Arash perhatian, matanya tidak lepas pada wajah Alana. Di detik berikutnya, tangannya menarik tubuh gadis tersebut kedalam pelukan. Rasanya nyaman sekali..."Aku punya kejutan untukmu." Disela-sela pelukan Arash berujar pelan, aroma tubuh Alana membuatnya gila. Rasanya ia ingin memeluk tubuh itu semalaman. Apa terlalu be

"Hal—" [Aku ada didepan kampusmu.] Pupil Alana membelalak terkejut dalam seperkian detik, tangannya langsung mengambil tas diatas meja lalu bangkit dari kursi. "O-oke, tunggu sebentar, aku lagi ada di kantin." [Hmm.] Sambungan berakhir, Alana tidak tahu apa tujuan Arash menjemputnya sekarang tapi yang jelas ia harus segera kesana."Aku pergi dulu ya, bye!" Bill sudah dibayar, Resta hanya bisa menatap punggung temannya itu yang semakin jauh berjalan. "Yah... sorry, ya? Kayaknya gak bisa ikut kalian hangout." Ujar Resta pada Jackson dengan wajah tak enak, ia jelas tak mau jika sendirian.Disisi lain, Alana melangkah dengan cepat menuju gerbang kampus. Matanya menatap kanan-kiri sebelum menyebrang jalan.Setelah sampai didepan mobil sedan bewarna hitam tersebut, Alana langsung saja masuk. "Tiga menit aku menunggumu." Ujar Arash datar. "Cuma tiga menit. Lagian kamu ngabarinnya mendadak banget, aku mana tahu kalau kamu mau jemput. Resta ngajak ke kantin dulu, kebetulan aku juga

Tidak sampai lima belas menit, Arash sudah tiba dikantor polisi. Dua aparat langsung menuntunnya menuju ruang penyidik untuk dimintai keterangan. "Jadi, kasus ini sudah dari belasan tahun yang lalu?" Arash mulai diintrogasi, karena memang hanya ia saksi kunci kejadian saat itu. Sayangnya karena trauma dan ayahnya menjadi depresi, Arash baru bisa membuka kasus itu lagi sekarang. "Benar. Saya berumur sepuluh tahun saat itu, ibu saya meninggal ditempat sementara ayah saya langsung dilarikan ke rumah sakit. Dua tahun kebelakang saya baru menyelidiki kasus ini lagi, dan... banyak bukti yang mengarah pada Suryo dan istrinya." Arash menyerahkan beberapa bukti yang belum diserahkan pada pihak kepolisian. Bukti-bukti yang dibawa Arash sangat kuat, Suryo tidak bisa mengelak. Mungkin kalau dia masih berjaya, Suryo bisa menyuap pihak kepolisian agar kasusnya ditutup. Tapi sekarang tidak lagi. Jangankan uang, rumah pun Suryo tidak punya. Semua hartanya sudah habis untuk membayar hutang

Beberapa waktu kemudian ponselnya berdering, terlihat nomor tanpa nama dilayar pipih tersebut. Alana mengabaikan, tidak ia angkat panggilan itu. Satu notifikasi pesan masuk, +623178**** : Angkat bangsat! Udah masukin mama ke penjara, jangan harap hidup kamu bakal tenang!Ponsel itu kembali bergetar, dan lagi-lagi Alana hanya memandanginya tanpa minat.Nada ancaman seperti itu… terlalu familiar.Bella Alana menggumam pelan, senyum miringnya melebar.Sudah pasti gadis kurang ajar itu sedang meronta karena ibunya akhirnya merasakan balasan atas semua kelicikannya.Ia meletakkan ponselnya di meja, lalu menyandarkan tubuh sambil mengusap pelipis."Baru juga beberapa jam, udah ngamuk duluan," gumamnya. "Payah."Namun sebelum sempat ponsel itu benar-benar diam, notifikasi lain muncul bertubi-tubi.+623178****Lo pikir Arash bakal terus sama lo? Hah? Dia pasti bosen!+623178****Lo cuma numpang hidup dari laki-laki orang!+623178****Gue sumpahin hidup lo hancur!Alana mendecih."Katanya

Suryo menggebrak meja dengan keras, membuat seluruh ruangan kecil itu bergetar. Borgol di tangannya ikut berbunyi nyaring, memantul di dinding yang dingin.Tatapannya seperti binatang yang tersudut—liar, marah, tapi juga penuh ketakutan."Kamu kalau tidak bisa membantu, lebih baik pergi dari sini!"Bentaknya, wajah memerah karena emosi.Namun Alana tidak mundur.Tidak seperti dulu.Ia menatap balik dengan dingin—tatapan yang sama sekali tidak lagi melihat seorang ayah."Bantu?" Alana mendengus kecil, seolah kata itu sangat lucu."Sekarang Ayah baru ingat aku ini anak Ayah?"Suryo mengatupkan rahangnya kuat."Alana! Kamu tidak tahu apa yang ayah alami! Ayah bisa dibebaskan kalau kamu mau bantu sedikit saja! Kamu tinggal minta pacar kamu—""Jangan sebut dia."Suara Alana menegang, tajam.Suryo terdiam sejenak, lalu mendengus kesal."Jadi benar kamu sudah dicuci otak sama dia?! Alana! Aku ini ayahmu! Kamu wajib bantu!"Alana mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah, namun justru te