Fajar merambat pelan di ufuk timur, menyingkap lembayung pucat yang menari di langit pesantren. Cahaya keemasan menembus kisi-kisi jendela, menimpa wajah Amara yang masih terbaring lemah. Udara pagi berembun, seolah bumi ikut bernafas lega setelah malam panjang yang tak biasa. Suara burung-burung berkicau lembut di luar kamar kecil itu, menandai awal hari baru. Namun di dalam, suasananya jauh dari biasa tenang, tapi sarat dengan energi yang tak kasatmata. Amara menggeliat pelan. Napasnya berat, tapi hatinya terasa ringan. Ia seperti baru saja menempuh perjalanan jauh melewati cahaya dan bayangan, namun entah bagaimana, tubuhnya kini kembali di pondok. Perlahan, matanya terbuka. Dan yang pertama ia lihat adalah sosok Ibu Nyai istri kiai Hasan, duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangannya erat. Wajah lembut itu tampak kelelahan, tapi senyum syukurnya tetap hangat. “Alhamdulillah, Amara… kau sadar juga, Nak.” Amara menatap sekeliling kamar sederhana pondok, aroma kayu da
Terakhir Diperbarui : 2025-10-31 Baca selengkapnya