Mag-log inFajar menyingsing lembut di atas langit pondok pesantren. Kabut tipis menari di antara pepohonan, sementara burung-burung melantunkan dzikir pagi mereka. Di halaman depan, beberapa santri sibuk membersihkan area pendopo, menggantung janur kuning dan kain putih yang melambai tertiup angin. Semua terasa damai, namun di balik ketenangan itu, ada rasa haru dan ketakjuban yang tak bisa dijelaskan.
Kiai Hasan berdiri di serambi utama, ditemani oleh ayah dan ibu Amara. Wajah mereka terlihat campur aduk antara cemas dan pasrah.Ayah Amara memecah keheningan dengan suara pelan namun berat, “Kiai, saya masih saja merasa ini seperti mimpi. Anak saya... menikah dengan makhluk dari dunia lain. Bagaimana mungkin manusia bisa bersatu dengan siluman tanpa melanggar kodrat?”Kiai Hasan menatapnya penuh kebijaksanaan. “Pak, tidak semua hal di dunia ini dapat dijelaskan dengan logika semata. Ada hal-hal yang Allah izinkan terjadi sebagai bentuk rahasia-Nya. Pernikahan ini... bukaFajar merambat pelan di ufuk timur, menyingkap lembayung pucat yang menari di langit pesantren. Cahaya keemasan menembus kisi-kisi jendela, menimpa wajah Amara yang masih terbaring lemah. Udara pagi berembun, seolah bumi ikut bernafas lega setelah malam panjang yang tak biasa. Suara burung-burung berkicau lembut di luar kamar kecil itu, menandai awal hari baru. Namun di dalam, suasananya jauh dari biasa tenang, tapi sarat dengan energi yang tak kasatmata. Amara menggeliat pelan. Napasnya berat, tapi hatinya terasa ringan. Ia seperti baru saja menempuh perjalanan jauh melewati cahaya dan bayangan, namun entah bagaimana, tubuhnya kini kembali di pondok. Perlahan, matanya terbuka. Dan yang pertama ia lihat adalah sosok Ibu Nyai istri kiai Hasan, duduk di sisi ranjang sambil menggenggam tangannya erat. Wajah lembut itu tampak kelelahan, tapi senyum syukurnya tetap hangat. “Alhamdulillah, Amara… kau sadar juga, Nak.” Amara menatap sekeliling kamar sederhana pondok, aroma kayu da
Langit dunia siluman malam itu tak lagi berwarna biru atau hitam. Ia berubah menjadi kanvas hidup dari cahaya semburat ungu, biru muda, dan emas berputar membentuk pusaran aurora yang menari di atas Istana Macan Putih. Dari puncak gunung hingga lembah terdalam, ribuan cahaya roh berterbangan membawa bunga-bunga bercahaya yang mekar di udara, lalu luruh menjadi hujan cahaya lembut yang jatuh seperti serpihan bintang.Pesta kerajaan dimulai.Di pelataran luas istana, yang lantainya terbuat dari batu giok berkilau, ribuan siluman dari berbagai suku dan ras berdiri berjajar dengan penuh hormat. Ada siluman burung berwujud manusia, siluman naga air dari danau barat, siluman rusa bermahkota kristal, hingga para roh hutan yang menyerupai cahaya. Mereka semua berkumpul, memadati halaman istana menyambut Raja Leondaru dan Ratu Amara Sarasvati, penghubung dua dunia.Dari kejauhan, lonceng kristal suci berdentang, menandakan raja dan ratu telah tiba.Dua gerbang raksasa terbuka
Fajar menyingsing lembut di atas langit pondok pesantren. Kabut tipis menari di antara pepohonan, sementara burung-burung melantunkan dzikir pagi mereka. Di halaman depan, beberapa santri sibuk membersihkan area pendopo, menggantung janur kuning dan kain putih yang melambai tertiup angin. Semua terasa damai, namun di balik ketenangan itu, ada rasa haru dan ketakjuban yang tak bisa dijelaskan.Kiai Hasan berdiri di serambi utama, ditemani oleh ayah dan ibu Amara. Wajah mereka terlihat campur aduk antara cemas dan pasrah.Ayah Amara memecah keheningan dengan suara pelan namun berat, “Kiai, saya masih saja merasa ini seperti mimpi. Anak saya... menikah dengan makhluk dari dunia lain. Bagaimana mungkin manusia bisa bersatu dengan siluman tanpa melanggar kodrat?”Kiai Hasan menatapnya penuh kebijaksanaan. “Pak, tidak semua hal di dunia ini dapat dijelaskan dengan logika semata. Ada hal-hal yang Allah izinkan terjadi sebagai bentuk rahasia-Nya. Pernikahan ini... buka
Senja turun perlahan di atas langit pesantren. Cahaya oranye keemasan menembus sela dedaunan, menimpa halaman pondok yang kini terasa begitu tenang setelah masa-masa kelam itu berlalu. Dari kejauhan, suara adzan magrib terdengar lembut, menggema bersama desir angin yang membawa aroma tanah basah.Di dalam kamar sederhana itu, Amara sedang menimang Ardhanara. Bayi itu tersenyum, matanya yang perak lembut memantulkan cahaya senja dan di balik tatapan polosnya, seolah ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang tidak seluruhnya berasal dari dunia manusia.Amara menatapnya penuh cinta, lalu berbisik,“Seandainya ayahmu di sini, Nak… dia pasti bahagia sekali melihatmu.”Namun sebelum air matanya sempat jatuh, udara di sekelilingnya bergetar lembut. Cahaya putih keperakan muncul di sudut ruangan, membentuk siluet yang lama-kelamaan semakin jelas. Wangi khas gaharu tercium pekat di udara.Leondaru.Dengan pakaian putih sederhana bukan jubah perang, bukan wujud siluman ia berdiri di ambang pin
Langit dunia siluman perlahan kembali biru pucat. Asap hitam sirna, meninggalkan keheningan yang menegangkan.Di tanah yang retak dan terbakar, hanya satu sosok berdiri tegak di tengahnya Leondaru Dewantara, Raja Macan Putih, penjaga dunia siluman.Pendar cahaya suci di dadanya masih berkilau lembut tempat di mana roh kecil Ardhanara tadi singgah sebelum kembali ke dunia manusia.Cahaya itu berdenyut pelan seperti jantung kedua, seolah mengikat dua dunia dalam satu napas yang sama.Leon menatap langit."Kau sudah menuntun cahaya itu padaku, Amara…”“Aku bersumpah aku akan menjaganya, bahkan jika seluruh dunia ini harus runtuh.”Hening.Namun di balik ketenangan itu, angin yang berhembus membawa bisikan samar, suara tua dan dalam, berasal dari retakan dunia yang belum sepenuhnya tertutup. “Kau menang kali ini, Macan Putih…”“Tapi darah cahaya yang lahir dari rahimmu akan membuka pintu yang lebih besar dari yang bisa kau bayangkan…”Leon memejamkan mata. Ia tahu Rhaz’athar belum lenyap
Pagi itu, matahari terbit dengan cahaya keemasan yang lembut.Udara di sekitar pondok pesantren terasa berbeda lebih damai, lebih hidup. Seakan setiap hembusan angin membawa berkah dari langit. Burung-burung yang biasanya beterbangan di sawah sekitar pondok kini hinggap di atap dan pepohonan, seolah ingin ikut menjaga bayi yang baru lahir malam tadi.Di dalam kamar kecil yang sederhana, Amara duduk bersandar di dipan kayu. Wajahnya pucat tapi matanya berbinar, menatap bayi mungil di pelukannya yang tengah tertidur dengan damai.Ibu Amara duduk di sampingnya, membelai lembut rambut anaknya sambil menahan air mata.“Cantik sekali… eh, bukan, tampan sekali,” ucap sang ibu dengan suara bergetar, lalu tersenyum. “Lihat, Pak… cucu kita.”Ayah Amara berdiri di dekat pintu, kedua tangannya gemetar menahan haru. Ia tak sanggup bicara hanya menatap bayi itu dengan pandangan seorang ayah yang dulu begitu takut kehilangan putrinya, dan kini menyaksikan keajaiban di depan mat







