บททั้งหมดของ Dosenku Penyembuh Lukaku: บทที่ 91 - บทที่ 100

Beberapa hari kemudian, keadaan William sudah semakin membaik. Mereka akhirnya bisa kembali ke kampus lagi dan menjalankan aktivitasnya seperti biasa. Eva bertemu dengan Clara di depan gerbang kampus, mereka masuk ke dalam bersama-sama."Sepertinya keadaan pak William sudah membaik ya? Ku lihat wajahnya hari ini full senyum deh."Eva tertawa kecil. "Begitulah, katanya dia hari ini lagi semangat banget buat kerja.""Serius?? Pak William bisa gitu ya? Oh, aku juga sempat lihat tadi jam tangan yang kamu beli buat pak William, ternyata cocok juga ya ...""Iya dong. Orang setampan pak William mah mau pakai aksesoris apa pun pasti kelihatan cocok."Saat mereka berdua sedang asyik mengobrol, datanglah seorang laki-laki yang menghampiri mereka berdua sambil membawa sebuah buku Psikologi."Pe-permisi kak, kakak yang bernama Eva 'kan ya?"Eva mengangguk. "Iya, benar. Ada apa ya?""Saya mahasiswa Psikologi semester 1, ada beberapa materi

Setelah berdebat dengan seorang dosen, Eva dan Clara masuk kembali ke dalam kelas, dikarenakan waktu istirahatnya sudah usai. Mereka melanjutkan perkuliahan tanpa istirahat sedikit pun, sehingga hal ini membuat Eva sulit berkonsentrasi. "Eva ..."Eva menoleh ke arah Clara. "Hm?""Aku lapar ..." bisik Clara.Eva ingin mengucapkan sesuatu tetapi terdengar suara gemuruh dari perutnya. Eva berbisik kepada Clara. "Sama, aku juga ...""Kenapa sih ibu itu ngajak berdebat di waktu yang nggak tepat? Kalau tahu begini, mending kita abaikan saja tadi."Eva termenung. Entah mengapa dirinya tadi ikut terpancing, padahal ia bisa saja mengabaikan dosen itu dan pergi ke kantin bersama Clara. Perdebatan tadi membuat Eva merasa ia seperti bukan dirinya yang seperti biasa ... apakah karena faktor tekanan?Eva mengeluarkan ponselnya, lalu menatap obrolan chat dengan William. Eva berpikir sejenak, apakah William masih punya sisa makanan atau tidak?

Setelah hari pertama ujian selesai, Eva merasa lega dan bersyukur dikarenakan ia bisa melewatinya dengan lancar tanpa adanya drama, masalah atau pun keributan yang dapat mengganggu proses pengerjaan ujian. Apakah hari kedua ini juga bisa dilewati dengan lancar? Eva tidak mempedulikan hal itu, ia masih terus berusaha untuk fokus belajar walau pun teman-teman sekelasnya mengeluh, karena betapa sulitnya ujian di hari pertama. Beberapa menit sebelum ujian dimulai, Eva seperti biasa duduk manis sambil membaca buku, sehingga bisa menarik perhatian temannya yang lain dan melirik ke arahnya."Eh, lihat dia deh ... apa menurutmu dia kemarin bisa jawab semua soal nya ya?""Kayaknya sih iya, soalnya 'kan dia yang ngumpulin paling pertama ... Nggak nyangka ya, orang cacat sepertinya ternyata lebih pintar dari kita.""Iya. Tapi setahu aku, sebelum dia jadi cacat, dia termasuk salah satu mahasiswa yang bisa meraih beasiswa penuh, lho. Nggak heran sih kalau nilain

William perlahan-lahan mengulurkan tangannya dan menyentuh kening Eva. Eva langsung berbalik, kedua tangannya menggenggam kepalanya."Jangan sentuh aku! Aku ... aku tidak salah ... bu-bukan aku yang melakukannya. Aku tidak salah ... kumohon ..." suara terdengar bergetar.William menatap Eva dengan sedih, ia tak menyangka reaksinya sampai separah ini. William mengulurkan tangannya lagi dan berniat mengusapnya, begitu tangan itu menyentuhnya, seluruh tubuhnya langsung menegang."Nak ... tenang ya. Bapak ada di sini, jadi kamu nggak usah takut lagi," ucapnya sambil mengelus kepala Eva perlahan.Setelah mendengar suara yang sangat familiar itu, Eva menoleh perlahan-lahan ke arah William. Air mata mengalir di wajahnya. "Pak ... William ..."William mengangguk perlahan. Eva pelahan-lahan mulai tenang kembali, tetapi pandangannya menyapu ke sekitarnya, ia melihat orang-orang yang ada di sekitarnya sedang menatapnya dengan sinis. Sehingga membuat Eva merasa terintimidasi.Mulut Eva terbuka, j

Eva mengedipkan matanya. "Aku?"William mengangguk. "Iya, katamu tadi, setelah ujian selesai kamu mau bicarakan sesuatu padaku, 'kan?"Eva diam sejenak lalu ia melirik ke atas. "Oh, iya ada ... sebenarnya mengenai masalahku hari ini sih. Tadi aku ngerasa kalau masalah ini sepertinya nggak sesimple yang aku kira deh ...""Hm? Kenapa kamu bisa bilang begitu?""Karena bola kertas."William menyipitkan matanya. "Bola kertas? Maksudmu?""Waktu aku lagi kerjain ujian, tiba-tiba ada bola kertas di atas mejaku. Aku nggak tahu itu kertas dari mana, tapi isinya itu ada tulisanku. Makanya dosenku bersikeras untuk menyuruhku mengaku."William diam sejenak, dagunya bertumpu pada telapak tangannya. Ia menggoyangkan kakinya, pandangannya lurus ke depan. Ia merasa sangat aneh dengan kejadian ini, apalagi ia sudah melihat dengan mata dan kepalanya sendiri, seberapa fokusnya Eva saat mengerjakan soal. Sangat tidak mungkin kalau Eva yang mengeluarkan bo