Udara malam begitu dingin ketika mobil tua itu berhenti di depan sebuah rumah panggung kecil di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan sudah padam, hanya cahaya bulan yang menembus celah pepohonan, menyoroti wajah pucat Ardi di kursi penumpang. Luka di bahunya masih basah, darahnya menembus perban seadanya yang dibuat Alya dari robekan bajunya. Alya bergegas turun, membuka pintu mobil, dan memapah Ardi dengan hati-hati. Tubuh lelaki itu berat, setiap langkahnya menimbulkan desahan kesakitan. “Sedikit lagi, Ardi. Tahan, ya…” ucap Alya lirih, matanya basah oleh air mata yang terus ia tahan sejak tadi. Mereka akhirnya masuk ke rumah itu—tempat persembunyian milik sahabat lama Alya, Dina, yang kini sedang bekerja di luar kota. Tempat itu sepi, aman, dan jauh dari radar siapa pun. Ardi dijatuhkan perlahan di atas ranjang reyot, dan untuk pertama kalinya sejak kejadian malam itu, Alya benar-benar bisa melihat luka-luka di tubuhnya. Bukan hanya luka fisik—lebam, goresan, darah—tetapi juga lu
Last Updated : 2025-10-05 Read more