All Chapters of Simpanan Tuan Torres: Chapter 51 - Chapter 60

Oh ya, Julia. Ngomong-ngomong aku belum pernah melihat saudara perempuanmu. Di mana dia? Kalian tiga bersaudara, kan?" tanya Diego santai, meskipun di dalam hati dia sudah mengetahui jawabannya. Julia sedikit menegang mendengar pertanyaan itu, berusaha keras agar air mukanya tidak berubah. Ini adalah topik yang selalu ia hindari. "Laura," jawab Julia singkat, menyebut nama adiknya. Ia kemudian berbohong dengan nada cepat dan meyakinkan. "Dia sedang kuliah di luar kota. Kami memang jarang bertemu. Ya, kami tiga bersaudara.". Ia buru-buru mengalihkan pembicaraan, mengambil sabun cair dan menuangkannya sedikit ke bahu Diego. "Aku gosok punggungmu, ya?" Diego menghentikan gerakannya. Ia tidak menanggapi tawaran Julia untuk menggosok punggungnya. Mendengar kebohongan Julia yang tenang, Diego memutar tubuhnya perlahan di dalam air, kini sepenuhnya menghadap Julia. Ekspresinya yang santai mendadak menghilang, digantikan oleh tatapan ya

Napas Diego menderu di telinga Julia. Ia sedikit membungkuk, menyatukan kening mereka. "Apa kau menikmati permainan ini, sayang?" suaranya dalam penuh hasrat. "Ya, Diego, aku menikmatinya" suaranya parau. "Memohonlah, Julia," perintah Diego, suaranya parau, "Memohonlah, dan aku akan mengabulkan..." Julia, yang kini terseret dalam badai sensasi dan otoritas, menjadi bingung. "Maksudnya bagaimana?" tanyanya, suaranya terdengar polos, kepekaannya sudah tumpul di bawah kendali hasrat. Diego menghentikan gerakannya sesaat, hanya untuk menatap Julia dengan seringai predator. "Memohonlah padaku untuk dilepaskan, Julia," bisik Diego, suaranya mengandung tantangan. "Memohonlah agar aku membiarkanmu bergerak, biarkan kau menyentuhku. Akui bahwa kau berada di bawah kendaliku sepenuhnya, dan aku akan memberimu sedikit kebebasan dalam permainan kita ini." Cengkeraman di pergelangan tangan Julia sedikit mengendur, menawa

Tatapannya menajam, "kau memberiku kenyamanan itu dengan harga yang aku mampu dan rela bayar. Itu adalah investasi yang logis."Julia menarik selimut hingga ke dadanya, merasa getir. "Ya... ya... investasi." Julia tersenyum penuh makna dan mencondongkan tubuhnya ke arah Diego. Tangan mungilnya menyentuh rahang tegas Diego."Jika begitu, jangan ragu untuk mengucurkan dana segar padaku, dan aku akan memberikan kepatuhan, asalkan dengan satu syarat."Diego meraih tangan Julia yang menyentuh rahangnya, menjepitnya dengan lembut namun tegas. Ia menatap lurus ke mata Julia, senyumnya menghilang."Syarat?" ulang Diego, nadanya datar dan berbahaya. "Kau tidak berhak mengajukan syarat, Julia. Kepatuhan adalah kewajiban, bukan negosiasi. Kau sudah menerima penawaranku. Ingat, carina, aku yang menetapkan aturan mainnya. Katakan padaku, apa syarat konyol itu, dan aku akan memutuskan apakah itu pantas untuk didengar, atau hanya alasan untuk memberimu pelajaran

Mendengar nama Armand, rasa lega sesaat Julia akan promosi dan sepatu barunya langsung menguap, digantikan oleh kecemasan lama yang dingin. Ia tahu betul siapa yang bertanggung jawab atas pengusiran itu.Berjalan ke jendela, pura-pura melihat keluar. "Dia memang harus mencari pekerjaan. Sudah saatnya dia dewasa. Aku sibuk sekali, Bu, aku tidak punya waktu untuk mengurus masalahnya."Julia kembali menatap Carmen, matanya penuh tekad. "Lupakan Armand, Bu. Fokuslah pada kesehatan Ibu. Sekarang aku punya uang. Aku akan segera mencarikan apartemen baru di distrik yang aman. Setelah itu, kita bisa fokus pada terapi dan kesehatan Ibu."Ia memeluk ibunya, mencoba mengalihkan pembicaraan, menggunakan janji keamanan dan kemewahan Diego sebagai perisai terhadap masalah lama.Membalas pelukan Julia, sedikit terhibur. "Apartemen? Ya ampun, kamu harus pelan-pelan, Nak. Tapi... Ibu tidak akan menolak jika kita pindah ke tempat yang lebih aman. Terima kasih, mi h

Di kegelapan dini hari, di jalanan pinggiran kota yang sepi, sebuah van hitam berhenti di depan gudang tua yang tampak ditinggalkan. Pintu belakang terbuka dengan suara derit keras.Seorang pria dengan perawakan besar dan wajah keras hanya dikenal sebagai El Toro mendorong keluar sesosok tubuh yang terikat. Itu adalah Armand, tampak babak belur, matanya masih setengah sadar setelah perjalanan panjang yang mengguncang."Bangun, tikus," gerutu El Toro, menarik kerah baju Armand yang sudah kusam.Armand meringis saat kakinya menyentuh tanah. "Kalian membawaku kemana? Aku tidak punya apa-apa! Uangku sudah habis. Demi Tuhan, aku tidak mencuri!"El Toro tidak menjawab. Ia hanya menyerahkan sebuah ransel lusuh kepada Armand. "Semua sudah diurus. Ada sedikit, uang, makanan dan air. Sekarang dengarkan baik-baik."Dia mendorong Armand ke pinggir rel kereta api yang membentang di samping gudang. Udara dingin berbau minyak diesel dan karat.