Semua Bab Terlahir Kembali: Balas Dendam Putri Yang Terbuang : Bab 71 - Bab 80

Hari keempat Perburuan berlangsung dengan penuh tekanan. Sejak matahari menyembul dari balik pegunungan, beberapa suar merah sudah melesat ke langit. Duarr! Setiap suar yang meledak seperti bunga api itu menandakan ada murid yang menyerah dan harus segera diselamatkan.Guru-guru medis bergegas menyusuri hutan sesuai tempat jatuhnya suar. Ketika para murid dibawa keluar, tubuh mereka penuh luka cakaran, gigitan hewan liar, dan lebam akibat pertarungan sengit. Tetua Senopati segera memerintahkan para murid yang selamat untuk dipulihkan di tenda medis.“Selamatkan murid-murid yang terluka! Bawa mereka ke tenda medis!” seru tetua Senopati. Tak lama, dua sosok berjalan terpincang dari arah pepohonan. Rangga dan Ringga. Keduanya tampak lusuh, pakaian mereka robek dan dipenuhi darah kering. Adipati Dirgantara dan Nyonya Andini segera menghampiri putra kembar mereka dengan wajah cemas.Adipati Dirgantara bertanya cepat, “Bagaimana kondisi kalian?”Rangga menggeleng pelan. “Kami tidak men

Tetua Arwana berucap penuh ketidakpercayaan, “Pembunuh bayaran masuk ke area ujian?! Ini tidak masuk akal!”Adipati Dirgantara mencondongkan tubuh, bertanya dengan nada lebih tajam, “Kanaya, apakah kau mengingat ciri-ciri mereka? Atau identitas apa pun?”Kanaya menggeleng perlahan. “Tidak, Ayah. Mereka memakai penutup wajah. Hanya suara mereka yang berbeda seperti bukan berasal dari ranah ini.”Putra Mahkota Daniel menambahkan pelan, “Mereka menyerang dengan tujuan membunuh. Mereka bukan hanya ingin mengusir kami.”Tetua Senopati menghela napas panjang dengan wajah sangat serius. “Ini… masalah besar.”Kanaya ingin melanjutkan penjelasannya, namun sebelum ia sempat berbicara, suara dari luar tenda tiba-tiba terdengar memanggil.“Kanaya!”Dua sosok masuk dengan langkah limbung Arvina dan Jasmine. Pakaian mereka compang-camping, wajah penuh kotoran, dan tubuh mereka penuh goresan. Jelas keduanya baru saja selamat dari ujian yang sangat berat.Kanaya tersenyum lega melihat mereka. “Syukur

Di luar Hutan Tengkorak, suasana mulai menghangat meski udara pagi masih lembap. Satu per satu murid yang selamat keluar dari gerbang batu besar, wajah mereka tampak lelah, tubuh penuh luka, namun tatapan mereka dipenuhi kebanggaan. Hari keenam seleksi hampir berakhir.Tetua Senopati berdiri di depan barisan para pengawas dengan wajah tegas. Tangannya terangkat, memberi instruksi."Kalian, urus murid-murid yang gugur. Pastikan mayatnya dibawa pulang dengan hormat. Keluarga mereka harus diberi kabar hari ini juga."Beberapa guru mengangguk, langsung bergerak cepat. Suasana berubah berat saat tandu demi tandu diangkat keluar dari tenda medis. Beberapa murid menundukkan kepala, menyadari bahwa seleksi kali ini lebih mematikan dari yang mereka bayangkan.Semua murid telah keluar. Setidaknya hampir semua.Tetua Senopati memandang daftar nama di tangannya. Alisnya menurun."Masih empat orang," gumamnya. "Elena, Lily, Rando dan Caspian."Salah satu guru menatapnya. "Apa perlu kita kirim tim

Di sisi lain, Elena berdiri di depan gerbang lapisan keenam Pagoda Roh Abadi. Nafasnya berat, tubuhnya penuh goresan, namun matanya tetap bersinar tajam. Setelah bertahan hidup di gurun pasir tanpa akhir bertarung melawan para penjaga bayangan di lantai tiga, menghancurkan mental demon di lantai empat, dan monster semut raksasa di lantai lima, lalu melewati gunung lava yang suhunya seakan membakar jiwa kini ia dihadapkan pada ujian yang jauh lebih berbahaya.Kabut tebal berwarna ungu menggulung pelan di hadapannya. Kabut itu tampak seperti hidup, seolah memanggil namanya.Elena melangkah masuk.Langit berubah. Tanah di bawah kakinya berganti menjadi jalan batu istana. Suara tawa terdengar dari kejauhan. Aroma bunga kerajaan memenuhi udara.Elena terpaku ditempatnya.Itu kehidupan pertamanya. Dulu ia dimanjakan dan disayangi sepenuh hati. Tapi semua berubah saat ia berusia lima tahun di mana Kanaya masuk di hidupnya. Kasoh sayang itu berubah dan mereka menyayangi Kanaya yang hanya se

Terlihat Cani mondar-mandir di depan tenda milik Elena, langkahnya gelisah dan napasnya tak beraturan. Suara dentingan senjata dari kejauhan, percakapan para peserta ujian, dan bisik-bisik yang menyudutkan Elena terus menusuk telinganya. Semakin banyak orang membicarakan bahwa Elena adalah pelaku yang telah mencelakai Kanaya dan Putra Mahkota Daniel.Cani menggigit bibirnya keras. Di dalam hati ia berkata, ‘Nona Elena bukan orang seperti itu. Dia sudah berubah. Dia hanya ingin hidup tenang dan bebas dari keluarga Adipati Dirgantara. Mana mungkin dia mencelakai Kanaya, apalagi putra mahkota.’Cani mengepalkan tangan. “Aku harus menemukan nona. Dia pasti sendirian. Pasti bingung atau mungkin takut.”Tiba-tiba sebuah ide melintas. Tanpa pikir panjang, Cani masuk ke dalam tenda milik Elena. Ia menyingkap tirai kain dan menutup pintu tenda rapat-rapat sebelum berlutut di depan peti barang bawaan Elena.Tangan mungilnya sedikit gemetar saat mengambil sebuah belati pendek dengan gagang hita