Arga tidak pernah menyukai keheningan, tapi keheningan yang menggantung setelah Lingga menghilang itu… menyiksa. Zhiya berdiri memunggunginya, bahunya bergetar halus. Air mata menetes membasahi lantai, satu per satu. Arga menggenggam jemarinya sendiri—menahan rasa yang mencengkeram dadanya seperti besi panas. Ia ingin mendekat. Tapi ia takut menyentuh luka yang masih terbuka. “Zhiya…” Suaranya serak, pelan, hati-hati, seakan jika ia bicara terlalu keras, Zhiya bisa hancur. Zhiya tidak menjawab. Hanya suara isakan yang ia coba tahan namun gagal. Arga akhirnya melangkah perlahan, tanpa suara, lalu berdiri satu langkah di belakangnya. Ia menunduk sedikit, mencoba menangkap tatapan Zhiya yang tersembunyi di balik rambut dan kedua tangannya. “Jangan dipendam sendiri,” ucap Arga, lembut. “Biarkan aku di sini.” Zhiya menggeleng pelan. “Aku tidak… tidak apa-apa.” “Kamu tidak baik-baik saja,” jawab Arga, lebih tegas namun tetap lembut. “Aku bisa lihat itu.” Zhiya menarik napas
Terakhir Diperbarui : 2025-12-12 Baca selengkapnya