Langkah Zhiya menggema di koridor batu sayap utara istana. Semakin ia mendekat, udara semakin berat, seolah Qingzhou sendiri menahan napas. Lentera-lentera di dinding meredup satu per satu, apinya bergetar tidak stabil, bereaksi pada denyut segel yang kian liar. Di depan Aula Segel, dua pilar kuno menjulang, dipenuhi ukiran sumpah dan darah yang telah mengering berabad-abad lalu. Pintu batu besar tertutup rapat—namun dari baliknya, cahaya merah keunguan merembes keluar melalui celah-celah tipis, berdenyut seirama dengan sesuatu yang hidup. Zhiya berhenti sejenak. Ia menutup mata, mengatur napas. Resonansi, teringatnya pada kata-kata di buku. Berdiri sejajar. Tidak sendiri. Ia mengangkat tangan. Simbol di pergelangan tangannya menyala lembut, berbeda dari cahaya segel di dalam—lebih hangat, lebih tenang. Begitu telapak tangannya menyentuh pintu batu, ukiran di permukaan itu bergetar, lalu perlahan membuka diri dengan bunyi rendah, seperti geraman yang ditahan. Aula Segel terb
Last Updated : 2025-12-19 Read more