Tak pernah terbayangkan oleh Jenna, bahwa masa mudanya harus dihadapkan dengan berbagai hal rumit yang cukup merepotkan. Dimulai dari seorang laki-laki yang kerap membuat onar—yang entah bagaimana nyatanya mampu memikat hatinya, hingga sebuah kenyataan pahit masa lalu yang membuatnya harus dihadapkan pada dua pilihan sulit. Ia mulai dirundung berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya semenjak insiden penculikan yang terjadi padanya, terlebih ia tahu bahwa itu ada kaitannya dengan mendiang sang Ayah. Lantas sebuah kenyataan yang cukup menghantam emosinya membuatnya terjebak dalam kebimbangan yang seolah tak berujung. Mampukah Jenna mengatasi semua permasalahan hidupnya dan menemukan kebahagiaan utuh pada akhirnya? Ini adalah sebuah kisah mainstream yang dialami oleh sekelompok remaja, dibalut oleh indahnya cinta dan persahabatan serta kejenakaan yang menjadi bumbu manis mengiringi perjalanan kisah hidup mereka.
View MoreAda begitu banyak jenis kisah hidup di dunia ini. Dimulai dari hal kecil hingga hal yang begitu rumit, yang seolah mampu memecahkan tulang tengkorak bila memikirkannya.
Tapi tidak, kisah yang akan kuceritakan ini bukanlah kisah yang begitu rumit, setidaknya tulang tengkorakku masih sanggup menampungnya meski terkadang sejumlah asap tak kasat mata siap mengepul kapan saja dari sana.
Dan semuanya bermula saat aku masih berusia belia, tepatnya ketika aku masih berada di tingkat kedua sekolah menengah atas—Golden High School di London.
"Saya mohon.. Tolong jangan rusak dagangan saya.."
Langkahku terhenti sejenak mendengar suara itu. Dengan penasaran, aku menoleh ke asal suara dan melihat pria paruh baya—salah seorang pedagang yang berjualan di pasar tengah berlutut memohon pada seorang bocah lelaki yang masih berseragam sekolah lengkap. Ah tidak, bocah itu tidak sendirian, melainkan bersama tiga kawannya.
Siang itu aku memang meminta ijin pulang sekolah lebih awal, sebab mendapat pesan dari Kak Sarah bahwa Ibu sedang sakit sehingga harus dibawa ke rumah sakit lagi. Ya, ini memang bukan kali pertamanya Ibu masuk rumah sakit. Itulah kenapa aku sengaja mengambil jalan pintas melalui pasar agar lebih cepat sampai ke rumah sakit.
Namun, siapa sangka aku justru mendapati empat siswa berandalan yang tengah berbuat onar dengan mengganggu dan merusak dagangan orang lain di pasar.
Keempat pelajar berandal itu sangat kukenal, sebab mereka bersekolah di tempat yang sama denganku. Dan kurasa mungkin bahkan mereka sudah terkenal di daerah kami.
Sammy, Martin, Yoshua dan Harry.
Mereka memang sering berbuat onar di pasar dengan berbagai macam alasan. Namun tak ada seorang pun yang berani mengusik mereka karena Jonathan, Ayah Sammy adalah seseorang yang sangat berpengaruh di daerah kami dan tak ada yang berani berurusan dengannya. Terlebih setahuku tanah pasar ini memang milik Ayah Sammy.
Mungkin itulah sebabnya kenapa perbuatan keempat anak itu sama sekali tak ada yang berani menghalangi.
"Paman, sudah kubilang bukan, kau harus membayar pajak pasar padaku untuk hari ini. Semua pedagang sudah memberikan uang mereka padaku dan hanya kau yang tidak mau membayar. Cepat! Berikan uangmu!" Sammy terdengar membentak.
"Maaf.. Tapi saya benar-benar masih belum mendapatkan hasil untuk hari ini. Tolong biarkan saya untuk sekali ini saja.." pria itu kembali menghiba.
"Apa? Membiarkanmu? Cih.. Yang benar saja.." desis Sammy, lantas setelahnya aku melihat ia memberikan isyarat pada ketiga kawannya.
Tanpa menunggu perintah untuk yang kedua kalinya, ketiga kawannya pun sontak mengobrak abrik seluruh dagangan milik pria tersebut.
"J-jangan! Saya mohon jangan rusak dagangan saya! Saya janji saya akan bayar besok.. Tolong jangan rusak dagangan saya.."
"Paman, aku tidak butuh janjimu! Tapi uangmu!!" sekali lagi bocah sombong itu membentak dan kali ini ia mendorong tubuh pria pedagang tersebut yang semula memegangi kakinya.
Tentu saja aku terkejut dibuatnya. Tanpa pikir panjang, aku pun bergegas mendekat.
"Hei, Sammy! Hentikan!" teriakku pula.
Tepat seperti dugaanku, keempat berandalan itu menghentikan aksi mereka sejenak dan beralih menoleh ke arahku.
Sial. Waktuku terpaksa harus tersita untuk keempat berandal ini.
"Kalian sudah gila, ya? Tak bisakah bersikap lebih sopan pada orang yang lebih tua kalian, huh?" aku kembali berteriak.
"Jenna?"
Atensiku beralih sejenak pada laki-laki yang baru saja menyebut namaku itu.
Ah, benar. Aku lupa bilang kalau salah satu dari mereka itu sebenarnya adalah tetanggaku, Yoshua.
Ck! Bocah bodoh itu bahkan tidak pernah mau mendengarkan ucapanku agar tidak bergaul dengan mereka bertiga.
"Jenna?" laki-laki lainnya yang mengenakan kacamata bundar turut memandangku bingung sekaligus terkejut. Martin.
Sayang sekali, padahal dia murid yang cukup pandai di sekolah tapi harus ikut terjerumus ke dalam aliran sesat yang dianut Sammy.
"Heh! Kenapa kau kemari?" aku melihat kekhawatiran pada raut wajah Yoshua padaku. Ia pasti takut kalau Sammy akan marah dan menghajarku karena aku ikut campur.
Baiklah, meski aku belum pernah mendengar ataupun melihat ia menghajar seorang gadis, tapi tak ada yang tidak mungkin di dunia ini, bukan? Terlebih itu adalah Sammy, seorang laki-laki berandal yang tak pernah main-main.
"Kubilang jangan ganggu Paman itu lagi. Apa kalian tidak merasa kasihan melihatnya menderita seperti itu?" sekali lagi aku mencoba menyadarkan mereka, lebih tepatnya pada Sammy selaku pimpinan mereka. Meski kutahu itu mungkin hanya sia-sia, paling tidak aku tidak hanya tinggal diam menyaksikan perbuatan mereka.
Dengan tajam tatapanku mengarah pada Sammy yang kini balas menatap tajam pula padaku. Namun, ia sama sekali tak terlihat ingin mengatakan apapun untuk membalas ucapanku.
Kenapa dengannya? Apa jangan-jangan dia sedang memikirkan kata-kata yang manis dan indah untuk membalasku? Haha, kurasa tidak.
"Apa sebaiknya kuberi pelajaran saja dia sekalian?" aku sedikit membelalak mendengar ucapan laki-laki yang bertubuh paling gempal di antara mereka. Harry.
Apa katanya? Apa laki-laki gempal itu berencana ingin menghajarku? Wah, sepertinya ini akan menjadi sangat serius.
"A-apa katamu? Hei, jangan! Nanti kalau sesuatu yang buruk terjadi padanya, aku bisa dihajar Kak Sarah.."
Aku terpaksa menahan tawa geli mendengar ucapan Yoshua itu. Dia memang takut pada Kak Sarah lantaran biasa mendapatkan pukulan darinya gara-gara terlalu sering menumpang kamar mandi di rumah kami setiap pagi dan itu membuat Kak Sarah merasa terganggu.
Sammy masih tak mengatakan apapun, hingga sesaat setelahnya ia mulai melangkah mendekatiku. Jujur, seperti halnya Yoshua, sebenarnya aku pun sedikit was-was begitu laki-laki itu mendekat ke arahku. Dengan sedikit paksa kuteguk salivaku yang seakan tersangkut di tenggorokan.
Tap.. Tap..
Semakin lama ia semakin dekat padaku. Dan begitu jarak kami hanya tinggal sejengkal, ia menghentikan langkahnya, membuat kedua manik mata kami saling bertatapan dalam diam.
Ck. Laki-laki ini memang terkenal kejam tapi sialnya juga sangat tampan. Aku nyaris terpana oleh tatapannya yang setajam mata elang. Rahangnya begitu tegas dengan hidung mancung dan bibir tipis miliknya. Sesekali surai hitam kecokelatan miliknya bergerak karena tertiup angin, membuat kadar ketampanannya bertambah berkali-kali lipat.
Ya, saat ini aku hanya bisa berdoa dalam hati, berharap dia tidak menghajarku. Bagaimanapun aku masih terlalu cantik untuk masuk rumah sakit.
Eh, apa? Tunggu dulu! Rumah sakit? Astaga! Aku nyaris lupa bahwa tujuanku semula adalah mengunjungi Ibu yang berada di rumah sakit.
Lantas tanpa menunggu ucapan ataupun aksi dari Sammy selanjutnya, aku pun segera berbalik dan berlari pergi begitu saja dari hadapannya.
"Hei! Mau kemana kau? Aku bahkan belum bilang apa-apa! Hei!"
Aku tak menghiraukan teriakan Sammy melainkan terus berlari menjauh. Masa bodoh jika dia marah karena aku mengabaikannya. Ah tidak, bahkan bisa jadi dia malah berpikir kalau aku lari karena takut padanya? Ck, Pasti dia sudah mengecap aku sebagai seorang pengecut. Yah, biar sajalah, memangnya siapa yang peduli?
BRUK!!
Aku nyaris jatuh karena menabrak seseorang, tapi secepat kilat ia segera menopang tubuhku.
"Kau baik-baik saja?"
Kudongakkan kepalaku untuk melihat siapa oramg itu hingga detik berikutnya aku pun dibuat sedikit terkejut.
"Kak Jason?" kataku.
"Oh, Jenna? Mau kemana? Sepertinya kau tergesa-gesa?"
Ya, laki-laki itu, aku mengenalnya cukup baik. Dia adalah teman sekantor Kak Sarah—Jason namanya.
"Iya.. Aku mau ke rumah sakit." aku pun menjawab.
"Apa Ibumu sakit lagi?"
"Iya, Kak. Kalau begitu aku pergi dulu. Sampai nanti!"
"Tunggu! Biar aku mengantarmu."
"Tidak perlu, Kak. Lebih baik Kak Jason sekarang ke pasar saja. Ada keributan di sana. Dan saranku, kalau bisa tolong hajar laki-laki yang bernama Sammy. Sikapnya sangat tidak sopan pada orang yang lebih tua."
"Huh?"
"Terima kasih, Kak. Sampai nanti!"
Tanpa menunggu sahutan darinya lagi, aku segera kembali berlari meninggalkannya.
Ibu.. Putrimu segera datang. Bertahanlah..
***
Sammy POV
Aku hanya bisa mengumpat dalam hati. Aku sudah berhasil dipermalukan oleh gadis itu dengan kepergiannya yang tanpa diduga seolah meremehkan keberadaanku di sana. Oke, mungkin aku masih bisa mentolerirnya, tapi nyatanya kesialanku tidak hanya sampai di situ. Entah dari mana asalnya tiba-tiba saja kakakku muncul begitu saja dan langsung menarik telingaku di depan ketiga kawanku.
Sekali lagi, di depan ketiga temanku. Tuhan! Mimpi apa aku semalam hingga harus dipermalukan seperti itu di depan mereka, bahkan hampir seisi pasar melihat kejadian itu. Sial.
Lebih parahnya lagi, kini bahkan Kak Jason sudah mengetahui rahasia yang selama ini kusimpan dengan rapi. Membuat onar di pasar.
Oh! Aku hanya bisa berharap semoga ia tidak mengadu pada Ayah mengenai itu. Bagaimanapun mereka bahkan tidak tahu alasanku melakukannya.
Ck, entah kenapa aku merasa bahwa ini semua bermula dari gadis itu. Ya, gadis bernama Jenna itu. Tunggu saja, aku pasti akan membalasnya nanti.
***
Jenna POV
Sesampainya di rumah sakit, aku langsung membuka pintu kamar yang ditempati oleh Ibu.
"Ibu!" ucapku seraya memeluknya yang terbaring di atas tempat tidur.
"Hei! Kenapa kau kemari? Kau bolos lagi, huh?" Kak Sarah sontak menegurku.
Bukan hal baru sebenarnya, sebab aku memang kerap meminta ijin pulang lebih awal hanya untuk menemani Ibu yang sedang sakit.
"Memangnya kenapa? Tentu saja aku kemari. Ibu sedang sakit mana mungkin aku diam saja di sekolah?" aku mencoba membela diri.
"Kakakmu benar, Jenna. Seharusnya kau tetap di sekolah dan tidak membolos seperti ini..."
Aku mendengus mendengar Ibu yang membela Kak Sarah, "Ibu.. Aku tidak membolos. Aku sudah meminta ijin pada Guru. Tak perlu cemas. Tapi, apa Ibu baik-baik saja? Apa ada yang sakit?"
"Tidak apa-apa.. Dr. Jimmy bilang Ibu hanya kelelahan. Sebentar lagi juga sembuh. Tidak perlu dirawat di rumah sakit."
Aku tak menjawab melainkan menatap Kak Sarah. Kulihat dia hanya mengangkat bahu.
Sudah kuduga. Pasti Ibu mencoba berbohong.
Aku tahu Ibu memang sering sakit-sakitan dan beberapa kali ke rumah sakit. Tapi setiap kali aku bertanya, mereka selalu mengatakan bahwa Ibu hanya kelelahan dan harus banyak beristirahat.
Aku juga tahu Ibu tidak menyukai rumah sakit. Ia acapkali merasa sedih sebab rumah sakit selalu mengingatkannya pada mendiang Ayah yang dulunya sempat dirawat selama beberapa bulan.
Tanpa sadar aku mendesah pelan.
"Kak.. Bagaimana ini? Ibu harus dirawat di rumah sakit.." kataku.
"Coba saja kau bujuk sendiri kalau kau bisa." Kak Sarah menyahut sedikit tak acuh.
Ya, aku tahu. Selalu saja begini. Mungkin sebaiknya aku bertanya langsung saja pada dr. Jimmy.
***
"Kak.. Tak bisakah Kak Jimmy membujuk Ibu agar mau dirawat di rumah sakit? Aku benar-benar tidak bisa melihat keadaan Ibu yang seperti itu." ucapku pada seorang dokter muda di hadapanku yang ber-name tag Jimmy Lee.
Aku memanggilnya Kakak sebab dia adalah teman Kak Sarah sekaligus kakak kandung dari laki-laki yang beberapa menit yang lalu sempat berencana ingin menghajarku—Harry.
"Ibumu hanya kelelahan. Tidak ada sesuatu hal buruk yang perlu dikhawatirkan. Jadi tidak perlu rawat inap. Dan juga, jangan panggil aku Kak saat di rumah sakit. Tidak enak kalau dokter lain mendengarnya. mengerti?" Kak Jimmy berkata setengah berbisik.
Aku mendengus mendengarnya.
"Ck.. Baiklah, Pak dokter. Tapi, Ibu benar-benar hanya kelelahan, bukan? Tak ada sesuatu yang buruk, bukan?" kataku lagi.
"Tentu saja.."
"Aku mengerti.. Tapi, kalau tiba-tiba sesuatu yang buruk terjadi pada Ibu, Pak dokter adalah orang pertama yang akan kudatangi."
"Heh? Kenapa aku?"
"Karena kau yang sudah membiarkan Ibu tidak dirawat secara khusus."
Kak Jimmy hanya tersenyum mendengar ucapanku, lantas menyentil jidatku pelan.
"Dasar bocah. Cepat sana kembali ke sekolah. Aku sibuk, masih ada pasien yang harus kutangani." ucapnya.
"Aku tahu.. Ah, tunggu dulu." ucapku.
"Apa lagi?"
"Kau tahu? Harry lagi-lagi berbuat onar. Aku bahkan tadi nyaris dihajarnya." aduku.
"Huh? Benarkah? Wah.. Pasti seru sekali kalau seandainya itu benar-benar terjadi."
"Kakak! Aku tidak bercanda!"
"Ya, ya, baiklah.. Nanti biar aku yang urus Harry. Sekarang kau keluar dulu. okay? Sampai nanti!"
Kak Jimmy menggiringku keluar dari ruangannya dan langsung menutup pintu. Akhirnya dengan sedikit mendengus, aku pun berjalan untuk menemui Ibu dan Kak Sarah kembali.
***
Author's POV"Bagaimana ini? Kita sudah mencari seharian, tapi Jenna benar-benar tak bisa kita temukan. Dia pasti—dia pasti benar-benar diculik.." Jessie terlihat panik sembari terus menggigiti kuku jarinya lantaran bingung harus mencari Jenna di mana lagi.Sementara Kristy dan Maggie hanya diam karena merasakan hal yang sama."Hiks.. Jenna, kenapa dia bernasib semalang ini? Apa sebenarnya salahnya? Kenapa dia harus mengalami hal seperti ini? Apa dia baik-baik saja di luar sana? Apa penculiknya bersikap baik padanya?" lagi-lagi Jessie meracau, membuat kedua temannya semakin merasa cemas. Ya, walau bagaimanapun juga mereka tahu bahwa tidak ada seorang penculik pun yang akan bersikap baik terhadap sanderanya."Hei, sudahlah. Jangan menangis lagi. Kau hanya membuatku semakin gelisah." Kristy menimpali."Maaf.. Aku—hanya khawatir..""Kak Sarah bilang mereka juga belum menemukan Jenna. Ck.. Jenna, di mana kau sebenarnya?" Maggie turut
Author's POV"Lalu.. Apa rencanamu sekarang? Apa kau ingin ikut mencari Jenna?" lagi-lagi Harry melontarkan pertanyaan yang membuat Sammy membeku.Laki-laki itu tak segera menjawab. Ia masih bimbang. Ia hanya merasa tak memiliki hubungan apa-apa dengan Jenna, jadi ia berpikir untuk apa ia harus repot-repot mencarinya? Toh juga sudah ada banyak teman-teman sekaligus orang terdekat gadis itu yang pergi mencari.Dan juga, Jason pun pastinya juga ikut mencari gadis itu. Ah, benar juga. Jason. Sammy mendadak memiliki perasan tak enak begitu teringat dengan kakaknya itu. Kedekatan Jason dengan Jenna, terasa begitu mengganjal di dadanya."Sammy!"Panggilan itu sontak membuyarkan lamunan Sammy. Ketiga pemuda tampan itu menoleh ke sumber suara dan mendapati seorang gadis cantik tampak tersenyum riang kini tengah berjalan mendekat."Nancy?" ucap Sammy sedikit kaget."Aku baru dari rumahmu. Bibi pembantu bilang kau sedang pergi keluar
Jenna's POV"Apa katamu?" tanyaku tak mengerti.Pria itu tak segera menjawab. Walau aku tak melihat wajahnya, tapi aku yakin saat itu ia tengah menyeringai mengejekku."Dia sudah menjadikan hidup keluarga kami menderita seperti ini. Dia adalah orang paling jahat yang pernah kutemui. Cih.. Aku sangat senang saat mendengarnya mati. Walaupun aku sedikit menyesal, karena seharusnya akulah yang menghilangkan nyawa bajingan itu."Darahku terasa mendidih mendengar ucapan laki-laki itu, "Hei, jaga ucapanmu! Ayah bukan orang seperti itu! Lebih baik kau cabut kata-katamu itu atau kau akan menyesal, sialan!" bentakku padanya.Rasa takut yang semula menjalari hatiku benar-benar seperti lenyap ditelan emosi sekaligus rasa penasaranku.Akan tetapi pria tersebut mendekatiku dan mencengkeram kedua pipiku dengan kasar. Meski terasa sakit, aku berusaha keras menahannya agar aku tidak tampak lemah di depan mereka."Kau—sama bajingannya dengan Ayahmu i
Author's POV"Iya, Ibu. Aku sudah berada di jalan. Aku tahu, Ibu tak perlu menungguku. Hm, baiklah...."Seorang pemuda yang kini tengah mengendarai mobil miliknya itu menarik napas sejenak dan kembali berkonsentrasi menyetir. Terlihat kepenatan pada raut wajahnya yang tampan.Sesekali ia meneguk air mineral yang berada pada dashboard mobilnya. Kedua matanya lurus menatap jalan raya yang tampak lebih lengang dari biasanya.Namun, beberapa saat kemudian ia sedikit tertegun ketika melewati depan sebuah rumah yang tak asing lagi baginya. Rumah keluarga Jenna. Ia melihat dua orang laki-laki tak dikenal baru saja keluar dari rumah Jenna dan memasukkan sesuatu ke dalam mobil.Kening pemuda itu mengernyit.'Siapa mereka? Apa yang sedang mereka lakukan malam-malam di rumah Bibi Anna?' pikirnya heran.Pemuda itu bermaksud berhenti untuk melihat, akan tetapi mobil yang semula berada di depan rumah Jenna itu t
Author's POV"Kalian—sungguh.. Aku benar-benar tidak percaya dengan ini semua. Kalian benar-benar—" Jessie tak sanggup lagi mengeluarkan kalimatnya pada ketiga laki-laki yang kini tengah duduk berjejer di dalam kamar Yoshua.Ya, begitu ketiga gadis itu masuk, dengan cepat Yoshua mencabut kabel televisinya. Namun terlambat, sebab ketiga gadis itu telah sempat melihatnya."Sungguh.. Kami tidak bermaksud begitu. Itu tadi hanya—hanya—" Yoshua kebingungan mencari alasan yang tepat.Sementara Sammy dan Harry hanya diam. Harry terdiam karena cemas, sebab ia takut Yoshua akan membocorkan bahwa kaset DVD tersebut adalah miliknya.Sedangkan Sammy diam bukan karena malu ketahuan, tapi terkejut karena tak menyangka ketiga gadis itu, terutama Jenna—akan masuk ke kamar Yoshua sebebas itu bahkan tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Padahal sebenarnya ia hanya tidak mendengar saat ketiga gadis itu mengetuk pintu, sebab terlalu fokus dengan apa yang ditontonnya.
Author's POVBaru saja kedua kakinya sampai di depan gerbang rumah Yoshua, Martin si pemuda berkacamata itu berpapasan dengan Jenna, Maggie dan Jessie."Oh, Martin. Mau kemana?" tanya Jenna."Ah, Jenna, kebetulan sekali. Ngomong-ngomong, apa boleh aku meminjam toilet di rumahmu? Aku sudah tak tahan lagi." ucap Martin."Tentu, pakai saja. Tapi, di mana teman-temanmu yang lain?""Ah, itu—mereka—" Martin tak melanjutkan ucapannya.Tak mungkin ia memberitahu ketiga gadis ini. Bagaimana jika mereka memergoki ketiga temannya yang sedang asyik menonton 'ritual beng-beng' itu?"Hei, ada apa? Di mana mereka? Apa mereka di kamar Yoshua?" ulang Jenna."Y-ya.. Tapi—" lagi-lagi ucapan Martin menggantung. Ia masih ragu."Baiklah, lebih baik kita masuk saja." potong Jessie tak sabar, "Jenna, di mana letak kamar Yoshua? Kau pasti sudah sering kemari, bukan? Cepatlah, aku sudah tak sabar ingin bertemu
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments